Fiction
Keinginan Sederhana [8]

23 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Dia pergi ke kamar, sedangkan aku tetap duduk di sofa ruang tamunya dengan perasaan tak enak. Jika dalam sepuluh menit dia tidak keluar, aku akan menyusulnya ke kamar dan meminta maaf atas apa yang sudah keluar dari mulutku.

Tapi, ternyata Melia segera keluar lagi dan duduk pelan-pelan di sebelahku. Dia melihat sekeliling kami sebelum membuka mulut.

“Aku rasa kau bukan seorang homophobia, benar, ’kan?” Suaranya rendah, nyaris berbisik.

Tentu saja aku bukan homophobia.

“Kau benar, Ros.”

Kini giliranku yang terenyak. Bagaimanapun, pengakuan itu mengejutkanku. Karena, ketika bertanya tadi aku cuma siap mendengar bantahannya, bukan sebaliknya.

“Tak perlu terkejut, Ros, aku kan sudah pernah bilang bahwa orang-orang seperti Permadi banyak, bahkan mungkin di lingkunganmu juga. Dan, sekarang kau menemukannya di lingkunganmu.”

Mungkin sebenarnya bukan terkejut, tapi lebih karena aku tak mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Bagaimanapun, aku lebih suka, jika dia membantah dan meyakinkanku bahwa dugaanku salah.

“Ibumu tahu tentang hal ini?”

“Entahlah. Mungkin tidak tahu sama sekali, mungkin juga tahu tapi tidak pernah membuat konfirmasi kepadaku, karena sudah beberapa lama beliau tidak lagi mengusikku mengenai pernikahan dan dengan gampang menyetujui niatku mengadopsi Chacha. Aku pikir ini satu indikasi bahwa beliau mengetahui dan mungkin sedang berusaha memahamiku. Aku berharap demikian. Karena, sebenarnya aku lebih suka beliau tahu, cuma aku tidak tahu cara yang tepat untuk memberi tahu tanpa membuatnya menderita.”

“Kenapa tidak mencoba menjelaskannya?” Sedetik kemudian aku merasa bodoh mengeluarkan pertanyaan seperti itu, karena aku tahu persis jawabannya.

Dia menggeleng. “Tidak berani. Semoga diam-diam beliau tahu dan tidak terlalu menderita karenanya. Aku rasa aku tidak akan pernah punya nyali untuk menjelaskannya. Semoga beliau terpuaskan dengan semua yang sudah ada.”

“Terpuaskan? Maksudmu?”

“Yaaa... semua kakak dan adikku kan sudah berkeluarga dan semuanya memberikan penerus keturunan. Jadi, aku harap beliau sudah puas dengan itu semua. Sehingga, jika aku akhirnya tidak dapat menikah pun, tidak akan banyak berpengaruh. Satu lagi, aku harap jika beliau memang tahu keadaanku, aku harap dengan aku tidak bertingkah macam-macam dan tidak menjalani kehidupan liar, bisa membuatnya merasa lebih baik.”

Aku terenyuh mendengar penuturan itu. Terenyuh karena apa yang diinginkannya terdengar begitu sederhana. Tak sengaja tanganku bergerak menggenggam jarinya. Serta-merta dia tersenyum. Aku tahu apa yang ada di benaknya.

“Sudah aku bilang kan bahwa aku bukan homophobia?”

Senyumnya makin lebar. “Kau tahu, Ros, aku selalu ingin membuat pengakuan kepada siapa pun yang aku kenal dan ingin mereka bersikap sepertimu sekarang. Pasti sangat menyenangkan. Tapi, aku tidak cukup berani melakukannya. Aku cuma pernah dua kali membuat pengakuan seperti ini. Satu padamu dan satu kali lagi sekitar delapan tahun yang lalu pada sahabat baikku. Dia bersikap sama sepertimu sekarang. Dia juga selalu memberiku semangat untuk terus berusaha. Dia membuatku bertekad untuk tidak akan pernah masuk ke dunia yang liar dan menjalani kehidupan yang bersih. Sayang, dia meninggal karena gagal ginjal setahun yang lalu. Dulu dia selalu ada, pada saat aku merasa begitu lelah dengan semuanya. Aku merasa seperti kehilangan separuh jiwaku, ketika dia pergi. Kau tahu, mengadopsi anak juga salah satu idenya.”

Aku langsung teringat Chacha.

“Waktu itu aku bilang, dengan punya anak aku jadi tidak akan terlalu kesepian. Perhatianku juga akan teralihkan pada anak tersebut, sehingga tidak akan ada waktu lagi untuk bertingkah macam-macam. Lagi pula, dengan menjadi ibu, dia bilang aku akan otomatis selalu ingin menjadi contoh yang baik bagi anakku.”

“Dan kau sudah menjadi ibu sekarang.”

“Ya, dan aku rasa dia benar. Hidupku terasa sangat lain ketika Chacha datang. Dan lagi aku sudah lelah menjaga hidupku dengan bermacam asuransi.”

“Asuransi?”

“Ya, aku ikut bermacam asuransi untuk menjaga hidupku. Aku selalu ketakutan akan jadi tua dan sendirian. Ketika kita muda dan sehat semuanya akan terasa lebih mudah. Lain halnya ketika tua, sakit-sakitan, dan sendirian. Menderita sekali. Dengan asuransi, aku harap paling tidak aku masih bisa membiayai hidup ketika renta dan tak cukup berdaya lagi. Tapi, tidak sesederhana itu, ’kan? Aku takut sendirian, Ros. Chacha adalah jawabannya. Sebagai gantinya, aku berjanji akan jadi ibu yang baik untuknya.”

Air mataku turun perlahan. Mata Melia juga tampak berkaca.

“Hei, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih.” Dia mengu­sap pipiku dengan jarinya. “Cuma satu pesanku, bersyukurlah karena hidupmu cukup lengkap. Kau punya perkawinan, hal sederhana yang orang lain susah untuk mendapatkannya. Soal anak, mungkin tinggal menunggu waktu. Yang penting, kalian berdua sudah ada bersama, untuk saling menjaga dan menyayangi. Sederhana, ’kan? Hal sederhana yang aku dan Fia bahkan tidak bisa lakukan.”

Sederhana memang, tapi cukup membuat air mataku turun makin deras. Melia pasti tidak tahu kepada siapa pikiranku tertuju sekarang.

Arman menggosok matanya, ketika aku masuk kamar dengan menyeret koperku. Sebenarnya aku berusaha untuk tidak membuat suara, karena memang biasanya baru setengah jam lagi dia bangun. Dia beranjak duduk. Di sekitarnya bertebaran beberapa lembar kertas dan notebook yang aku yakin belum di-shutdown sejak semalam.

“Ros? Kau pulang?”

“Ya.”

Arman menoleh ke arah weker, sebelum kembali memandangku dengan mata mendelik. “Ya, ampun, Ros, jadi kau menyetir sendiri tadi malam? Kenapa tidak menunggu pagi saja?”

Hatiku terasa cair karena kalimat itu. Dia mengkhawatirkanku. Rasanya kemarahanku kepadanya benar-benar telah menguap sekarang.

“Aku cuma ingin segera sampai di rumah.”

“Ya, tapi tidak seperti itu caranya, Ros. Menyetir sendiri ma­lam-malam seperti itu berbahaya! Syukur tidak terjadi apa-apa.” Dia bergerak meraih kepalaku, dan mencium lembut rambutku, hal yang biasa dilakukannya jika baru saja mengkhawatirkanku.

Lalu, dia sedikit beringsut dari tempatnya berdiri, sadar bah­wa masih ada ganjalan yang belum terselesaikan.

“Kau sudah pulang sekarang. Aku harap ini berarti semuanya kembali baik seperti semula. Maaf untuk masalah kemarin, Ros. Tapi, percayalah, tidak pernah terjadi apa-apa dan tidak separah yang kau pikirkan. Percayalah padaku, Ros. Aku tidak akan semudah itu bertindak bodoh. Kau dan perkawinan kita besar sekali artinya bagiku. Percayalah, Ros.”

“Tapi, tolong jangan terulang lagi. Aku tidak akan sanggup jika terjadi lagi....”

Dia merangkulku erat-erat. “Percayalah, kau sangat berarti bagiku.”

Bunyi weker mengagetkan kami.

“Kau sudah harus bangun sekarang.”

“Ya. Aku senang kau benar-benar sudah pulang sekarang.”

“Kubuatkan kau sarapan sekarang.” Aku beranjak ke dapur. Tapi, tangan Arman menahanku.

“Ros, tidak ada apa-apa di dapur. Mungkin cuma tinggal satu dua bungkus mi instan saja. Aku tidak berbelanja apa-apa selama kau tidak ada di rumah.” Dia tersenyum menyeringai. “Bagaimana kalau aku membolos saja hari ini dan kita pergi berbelanja bersama? Aku juga bisa membantumu membereskan rumah. Kau lihat, aku telah mengacaukannya. Bagaimana?”

Kulihat matanya begitu berbinar, sungguh berbeda sinarnya dengan ketika berusaha mencegahku pergi tempo hari.

“Pekerjaanmu? Tidak ada meeting hari ini?”

Dia menggeleng sambil memainkan tanganku. “Aku bisa mengirimkannya lewat e-mail.”

Aku segera keluar dari kamar.

“Hei, mau ke mana kau?”

“Mengunci pintu agar kau tidak bisa keluar rumah, jika sampai berubah pikiran nanti.”

“Aku tak akan berubah pikiran, Ros!”

Tanpa menoleh padanya, aku tahu dia sedang tersenyum sekarang. (Tamat)

Penulis: Ina B. Alasta


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?