Trending Topic
Kebangkitan Para Ayah

1 Oct 2014


Beberapa tahun belakangan ini para ayah mau terlibat secara aktif, turun tangan dalam berbagai pekerjaan domestik. Perubahan apa saja yang terjadi? Ketua jurusan psikologi dari Universitas Binus Jakarta, Raymond Goodwin, memberi contoh. Dalam beberapa tahun terakhir ini kita sama-sama menyaksikan berbagai acara masak yang melibatkan koki-koki yang berjenis kelamin pria. Ini membuat para pria berpikir lagi bahwa memasak juga bisa dilakukan oleh laki-laki, bukan hanya wanita. “Ditambah lagi, koki-koki yang dihadirkan itu bertampang rupawan alias ganteng. Asosiasi antara memasak dan kegantengan tentunya, sadar maupun tidak sadar, akan menjadi sangat kuat di dalam benak seseorang: ‘Laki-laki yang bisa masak itu ganteng, lho!’”

Selain memasak, menurut Raymond, perubahan peran pria di ranah domestik juga terlihat dalam pengasuhan anak, sampai hal yang sifatnya sebenarnya ‘sangat wanita’, yaitu menyusui. “Tentunya pria tidak bisa menggantikan ibu untuk menyusui anaknya, namun makin banyak ayah yang mau terlibat dalam proses menyusui anaknya. Bangun lebih pagi untuk bergantian menyiapkan ASI perah di dalam botol, menghibur sang ibu agar ASI-nya lebih lancar, dan menjaga kebersihan rumah agar proses menyusui tidak terganggu,” ungkap Raymond, yang mengatakan, keberadaan para ‘ayah ASI’ ini juga ramai di media sosial.

Raymond juga menyebut, masih banyak lagi  contoh lain yang pada intinya memperlihatkan bahwa pada beberapa tahun belakangan ini para ayah mau terlibat secara aktif, turun tangan dalam berbagai pekerjaan domestik.

Menurut survei tahun 2011 Lembaga Pew Research Center yang dilakukan terhadap 124.000 responden di AS, para pria melakukan lebih banyak pekerjaan domestik dan mengurus anak dibanding era sebelumnya. Sebagai perbandingan, jika di tahun 1965, rata-rata pria melakukan pekerjaan domestik ini hanya 4,4 jam dalam seminggu, maka di tahun 2011 bertambah menjadi 9,8 jam. Hal ini berlaku sebaliknya  dengan kaum wanita yang kini lebih sedikit waktu ‘domestiknya’, dari 32 jam seminggu di tahun 1965, menjadi (hanya) 17,8 jam per minggu di tahun 2011.

Makanya, tak heran jika para ayah sekarang juga merasakan sendiri betapa sulitnya menghadapi ‘beban ganda’ (antara tanggung jawab di karier dan mengurus keluarga) serta bagaimana harus jungkir balik menjalaninya. Dari survei berbeda yang dilakukan Pew Research tahun 2012 terhadap 2.511 responden, terungkap bahwa sebanyak 50% ayah merasakan sulitnya menyeimbangkan karier dan keluarga. Angka ini tak jauh berbeda dengan kaum ibu bekerja yang menjawab kesulitan ‘beban ganda’ tersebut, yakni sebanyak 56% responden.

Menurut Raymond, banyak pria kini lebih terlibat dalam perannya sebagai ayah. “Seorang pria yang hubungannya baik dengan istri, akan lebih memiliki keinginan yang kuat untuk juga menghabiskan waktu dengan anak. Selain itu, hubungan yang baik antara suami dan istri tentunya membuat keduanya akan memiliki pendapat yang serupa mengenai pola asuh yang akan mereka gunakan. Hal itu tentu saja dengan sendirinya akan membuat keduanya dapat berinteraksi bersama anak dengan baik, sehingga anaknya akan berkembang baik pula,” jelas Raymond.

Dari sisi psikologi, banyak sekali manfaat yang didapat dari interaksi seorang anak dengan ayahnya. Dari sejumlah penelitian dikatakan bahwa anak yang ayahnya aktif terlibat dalam pengasuhannya akan merasa aman secara emosional, memiliki kepercayaan diri dalam mengeksplorasi sekitarnya, dan ketika bertambah besar akan memiliki hubungan sosial yang baik serta dikatakan memiliki kecenderungan yang rendah untuk terlibat dalam tindak kenakalan remaja. Hal itu dapat dipahami mengingat bahwa dalam interaksinya dengan anak, seorang ayah juga banyak melibatkan aktivitas fisik yang frekuensinya lebih tinggi daripada ibu.

“Dari interaksi bersama ayahnya yang melibatkan aktivitas fisik, seorang anak akan belajar bagaimana mengontrol perilaku dan emosinya,” jelas Raymond.
  Rene menambahkan, salah satu peran yang dibutuhkan dari seorang pria (sebagai bapak maupun suami) di rumah adalah kehadiran. Hal ini dimaknai bukan sekadar ada di rumah, tapi juga bagaimana ia mengambil peran yang dia sadari. “Untuk itu, supaya ia bisa ‘hadir’ di rumah, tentu butuh perjuangan. And it’s a necessary struggle,” kata Rene. 

Ficky Yusrini




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?