Fiction
Kanal [3]

25 May 2013



<<<<<<Cerita Sebelumnya


Kisah sebelumnya:

Kehidupan perkawinan Liz dengan Matt kian lama kian hambar. Liz merasa Matt yang dasarnya pendiam, kian dingin. Bahkan, Matt selalu lupa pada ulang tahun Liz. Liz kian gamang karena ada George yang sangat perhatian. Di sisi lain, Matt juga menyangka Liz lebih berbahagia dengan George. Karena prasangka pula, Matt membatalkan kejutan yang sudah ia siapkan untuk ulang tahun istrinya. Ia lebih memilih keluar rumah. Demikian dengan Liz yang kecewa dengan sikap Matt.



Liz berlari-lari kecil, menuju halte. Tangannya melambai-lambai ketika sebuah bus melintas cepat di hadapannya. Nyaris saja ia tertinggal. Liz menghela napas dan merapikan rambutnya. Bus mulai melaju. Liz sudah tidak sabar untuk sampai di tempat itu, tempat yang juga menorehkan kenangan indah baginya. Cinta pada pandangan pertama yang indah, ketika itu. Liz berpikir, mungkin ia akan merasa lebih baik setelah mendatangi tempat itu.
***

Bus terus melaju, melewati tempat kerja Matt. Sungguh tak mungkin ia kembali ke tempat kerja, ia sudah telanjur mengambil izin cuti. Matt mulai gelisah, ia tak tahu harus pergi ke mana. Matt mulai merangkai alternatif-alternatif tempat yang mungkin akan ia datangi. Mungkin ke rumah beberapa teman, tapi dalam rangka apa? Oh tidak, lagi pula, semua temannya mungkin tengah sibuk pada jam itu. Bagaimana kalau ke club untuk bermain biliar? Tapi tidak, pada jam itu club biliard belum buka. Atau ke bioskop? Ah, lucu sekali.
Matt berpikir keras, sementara bus terus melaju, membawanya entah ke mana. Tiba-tiba mata Matt terasa perih, mungkin beberapa penumpang lain sempat menilik bahwa kedua mata Matt berkilap-kilap, ada sesuatu yang bening menggenang di sana.

Sebelum genangan bening itu luruh, Matt segera menyekanya dengan lengan hem yang ia kenakan. Matanya mengerjap beberapa kali, seolah-olah usai tertimpa kelilip.
Memikirkan air matanya yang luruh tanpa ia sadari, mendadak Matt ingat kejadian bertahun-tahun silam. Ketika itu Matt tengah patah hati. Seorang gadis yang ia cintai dan mengaku mencintainya menikah diam-diam di belakangnya. Semula Matt dan gadis itu adalah sepasang kekasih yang bahagia. Hingga suatu ketika sang gadis harus pergi ke Amerika untuk melanjutkan studi. Janji saling setia pun terlafaz. Matt berjanji akan menjadi lelaki yang paling setia.

Namun, dalam hitungan bulan, ketika Matt mencoba menghubungi gadis itu, si gadis  seperti menghindar. “Kau tak perlu menghubungiku lagi, biar aku saja yang menghubungimu. Maaf, aku harus benar-benar konsentrasi pada studiku. Bukankah kau ingin aku cepat-cepat selesai?” begitu tutur gadis itu.

Berselang bulan dan tahun, Matt menunggu, tapi gadis itu tak pernah menghubunginya. Ketika Matt mencoba untuk menghubungi gadis itu lagi, Matt seperti telah kehilangan jejak. Nomor gadis itu sudah tidak aktif, alamat yang semula ia berikan pada Matt pun sudah lama kedaluwarsa. Namun begitulah, Matt adalah tipe  lelaki yang tidak mudah percaya pada perasaannya sendiri, hingga sebuah bukti nyata melenggang di depan mata kepalanya.

Siang itu, tanpa sengaja Matt bertemu gadisnya di sebuah pusat perbelanjaan, dan gadis itu telah menggendong seorang bayi mungil yang kira-kira berumur lima bulan. Di sebelahnya, seorang lelaki berkulit putih tersenyum.

“Matt, kenalkan, ini suamiku, Josh. Josh, ini Matt, temanku sekelas dulu,” kata gadis itu, dengan air muka gamang. Mungkin ia merasa bersalah. Matt tak tahu harus bersikap bagaimana. Tapi, ketika itu Matt masih bisa tersenyum dan mengangguk, bahkan Matt sanggup menjawil bayi mungil yang didekap gadis itu sembari bertanya, “Bayi yang manis, laki-laki atau perempuan?”

“Perempuan, Agatha namanya, kau bisa memanggilnya Aggie,” kata gadis itu. Gadis yang kini telah menjadi perempuan orang. Setelah suami-istri itu berlalu, kobaran api seperti lekas-lekas menyambar tubuh Matt. Mungkin jika Matt membawa cermin, ia akan bisa melihat betapa merah matang wajahnya ketika itu.

Detik itu, langkah Matt terasa gontai, bahkan ia tak sadar langkah kakinya membawanya ke mana. Tubuhnya terasa ringan. Ia bagai melayang, terombang-ambing oleh rasa sakit yang paripurna. Matt tersadar ketika tiba-tiba jemari kakinya terasa dingin. Rupanya, ia tengah terduduk di bibir kanal dengan kaki telah terjuntai ke muka air. Matt merasa, ia baru saja membuka mata dan tersadar dari mimpi buruk. Dan tanpa sadar, air matanya sudah berlinang. Sama seperti detik ini. Detik ketika ia merasa menjadi lelaki yang tak berguna dan selalu dikhianati.

Sekilas Matt tersenyum, meski tampak sedih. Kini ia tahu ke mana ia akan pergi dan menghabiskan waktu, setidaknya sampai petang nanti. Ya. Kanal itu. Matt akan ke sana. Dan mungkin ia juga akan menuntaskan tangisnya di sana.
***
Di dalam bus, Liz hanya diam memandangi gedung-gedung dan pepohonan di tepian jalan. Dari balik jendela kaca, semua tampak mengagumkan, bagai adegan sebuah film. Sekilas Liz tersenyum, sudah lama sekali ia tak tersenyum serupa itu. Senyum tulus yang bahkan tak ia sadari.

Mengingat kanal itu, mendadak Liz teringat pertemuan pertamanya dengan Matt. Bertahun-tahun silam. Pada suatu sore yang langut. Ketika Liz duduk-duduk seorang diri di tepian kanal itu, Liz tak sengaja menjatuhkan scarf kesayangannya ke air. Scarf berwarna maroon itu larung perlahan terbawa arus. Dari tepian kanal, Liz berlari-lari kecil mengejarnya, hingga tanpa sengaja scarf itu tersangkut pada kaki seorang lelaki yang tengah terduduk murung di tepian kanal.

Lelaki itu tampak kaget menyadari sehelai  kain tersangkut di kakinya, lantas ia menoleh, dan Liz sudah berada di sebelahnya.
“Oh, maaf, itu milik saya,” tutur Liz,  malu-malu.
“Oh….”
Lelaki itu meraih scarf maroon yang tersangkut di kakinya dan mengangkatnya, celana lelaki itu turut basah.
“Maaf, celana Anda jadi basah.” Liz mendekat. Lelaki itu masih tampak terkejut, meski wajahnya tetap murung. Liz menduga-duga bahwa lelaki itu baru saja menangis. Matanya terlihat lengket dan sembap.
“Bolehkah saya...,” kata Liz lagi.
“Oh, maaf,” lelaki itu memeras sebentar scarf   yang ia pegang sebelum akhirnya menyerahkannya kepada Liz.
“Terima kasih,” sambut Liz.
“Tak masalah.” Lelaki itu tersenyum. Dan Liz segera menyadari,  senyum lelaki itu teramat manis.

Melihat Liz yang masih berdiri kikuk di sebelahnya, lelaki itu berkata, “Anda mau duduk?”
Liz tersenyum, keramahan dan mata teduh lelaki itu membuat Liz benar-benar duduk tanpa rasa khawatir atau apa pun. Liz juga menyadari bahwa detak jantungnya mulai berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Liz merasa aneh, sebelumnya ia tak begitu karib dengan lelaki mana pun, kecuali George. Jangankan duduk di sebelah lelaki yang tak ia kenal, bercakap-cakap pun Liz merasa enggan.

“Apa yang Anda lakukan di sini?” pertanyaan bodoh itu terlompat dari mulut Liz, setelah ia duduk di bibir kanal dan mengayunkan kakinya ke muka air, persis yang dilakukan lelaki itu.
“Oh, aku?” Lelaki itu menoleh ke arah Liz, “ingin menghibur diri mungkin, mencari tempat yang tenang.”
“Maaf. Tampaknya Anda sedang bersedih, dan ingin sendiri. Jika keberadaan saya mengganggu, saya bisa pergi.”
“O, tidak. Jangan. Saya tak merasa terganggu. Mungkin justru saya butuh teman ngobrol.”
“Kalau begitu, jika Anda tak curiga pada saya, saya bersedia menjadi teman ngobrol Anda. Kedengarannya memang aneh, kita baru saja bertemu dan saya sudah bertingkah sok akrab.”
“Oh, tak masalah, saya suka gadis polos seperti Anda.”
“Saya? Polos? Polos apanya?” Liz tertawa kecil. Lelaki itu turut tertawa kecil. Ada kebekuan yang serta-merta mencair.

“Apakah Anda juga tak curiga atau khawatir berbicara dengan lelaki asing?” lelaki itu membalik pertanyaan Liz.
“Anda tampak seperti lelaki baik-baik,” jawab Liz apa adanya.
Lelaki itu tertawa, hampir terbahak. “Saya sendiri tak yakin kalau saya lelaki baik-baik,” kata lelaki itu selanjutnya.
“Jadi mengapa Anda di sini?” Liz mengulang pertanyaan bodohnya.
“Anda mengulang pertanyaan itu.” Lelaki itu melirik Liz dan tersenyum simpul.
“Oh, benar. Pertanyaan lain kalau begitu, Anda tampak bersedih, jadi apa yang membuat Anda demikian bersedih?”
Lelaki itu tersenyum sekali lagi, melemparkan pandangan ke arus air di hadapannya. “Anda pernah dikhianati?” tanya lelaki itu lebih seperti gumaman.
“Tentu saja, mengapa? Oh, jadi Anda bersedih karena dikhianati?”
Lelaki itu tak menjawab, tapi mukanya mengatakan, “Ya.”
“Anda sudah mengambil tindakan yang tepat,” kata Liz tiba-tiba, membuat lelaki itu mengernyitkan dahi.

“Maksud Anda?”
“Ketika saya sedang bersedih, kecewa, marah, entah karena dikhianati atau apa, saya selalu pergi ke tempat ini. Ke sepanjang tepian kanal ini. Persis yang Anda lakukan, saya terduduk di tepian kanal ini sampai hati saya menjadi lega. Terkadang saya membayangkan, air jernih yang mengalir di kanal ini telah membasuh rasa sakit dan kekecewaan saya dan melarungkannya ke antah berantah….”
Lelaki itu menoleh ke arah Liz, tapi Liz tak menyadarinya. Liz masih saja berceloteh seperti gadis yang lugu, “Sewaktu aku kecil, ibuku sering mengajakku ke tempat ini. Dan ibuku selalu berharap-harap bahwa jika aku dewasa, aku akan menjadi seperti air jernih yang mengalir di kanal ini. Mungkin sekarang aku paham apa yang ibuku  maksudkan.”
Lelaki itu masih tercengang, menyimak Liz bercerita.

“Kanal ini begitu jernih, begitu sejuk, begitu tenang, alangkah bahagianya jika kita bisa menjadi air jernih seperti yang mengalir di kanal ini. Ia tak menolak atau membenci ratusan daun yang jatuh dan mengapung di permukaannya. Meski daun itu membuat dirinya kotor, ia tak peduli, tanpa lelah ia membersihkan  tiap daun atau sampah yang mengotori dirinya,  tiap tahun, sepanjang musim. Ribuan ikan dan makhluk hidup lain bergantung hidup pada dirinya, hebat kan kanal ini?” Liz ganti menoleh ke lelaki di sebelahnya, lelaki yang tampak serius menyimak celoteh lugunya.

“Maaf, saya terlalu banyak bicara, ya?” kata Liz kemudian.
“Saya hanya tercekat, saya tak tahu kalau rasa sakit dan kekecewaan itu hilang karena air jernih yang mengalir di kanal ini. Saya benar-benar baru menyadarinya.”
“Jadi ini pertama kalinya Anda ke sini?”
Lelaki itu menggeleng, “Saya sering mencari angin di tempat ini, tapi saya tak pernah menyadari bahwa di balik kanal ini ada sesuatu yang bertuah, yang seperti Anda katakan.”
“Aku tak mengatakan kanal ini bertuah, mungkin aku hanya sedikit berfilosofi.”
“Filosofi yang keren kalau begitu, artinya Anda berbakat jadi seorang filosof. Keren.”
“Apa itu sebuah pujian?” Liz tersipu-sipu.

“Anggap saja begitu.”
Mereka kembali terdiam. Seperti menyelami pikiran masing-masing.
“Jadi Anda sering ke sini?” lelaki itu memulai kembali percakapan.
“Sangat.”
“Jadi, lain waktu, mungkin kita bisa bertemu lagi di sini.”
“Apa Anda sedang terburu-buru.”
“Tidak juga, saya hanya memastikan bahwa mungkin kita bisa berteman dan ngobrol-ngobrol lagi di lain waktu.”
“Oh, tentu. Sangat.”

“Ha?”
“Sangat bisa maksud saya. Biasanya saya ke sini sore hari di akhir pekan.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“By the way, apa kita tadi sudah berkenalan, ya?”
“Oh, ya, kita sudah ngobrol ke sana kemari, tapi belum tahu nama masing-masing. Saya Matt.” Lelaki itu melambaikan tangannya.
Liz menyambutnya dengan senyum. “Panggil saja saya Liz.”
“Okey, Liz, nama yang indah.”
“Dan Matt, nama yang tak terlalu buruk.”
Mereka saling tertawa. Dan mereka tak sadar, pada detik itulah Amor melesatkan panahnya. Panah merah jambu yang menghujam ke hati mereka dan sulit sekali untuk dilepaskan.
***
 Liz turun perlahan dari bus, angin musim dingin menerpa wajahnya, menyingkap sedikit rambutnya yang bergelombang. Ia merapikan scarf maroon yang melilit lehernya. Angin berembus, sekilas embus, menggugurkan sisa-sisa hujan yang meringkuk di dahan-dahan dan dedaunan kastanye yang berjajar di sepanjang jalan menuju kanal.

Liz mengayunkan langkah dengan   lincah/ Suara sepatunya mengetuk-ngetuk trotoar yang ia lalui. Ia tersenyum ketika secercah cahaya matahari menimpa wajahnya dari balik rerimbunan pohon kastanye. Alam memang tak pernah bisa ditebak, sebentar hujan, sebentar panas, sebentar berangin, sebentar cerah, persis seperti Matt. Mungkin sekarang ia tengah berkutat dengan pekerjaannya yang memang lebih penting dari ulang tahun istrinya yang cuma setahun sekali. Liz tersenyum pasrah. ‘Ah, masa bodoh’, begitu arti senyumnya.

Menjelang tepian kanal itu, tiba-tiba, jantung Liz berdenyar tak keruan. Lama sekali, sungguh sudah lama sekali. Liz mengarahkan pandangannya ke  tiap penjuru: aliran air yang masih selalu jernih, sebuah jembatan yang melengkung di atasnya, pohon-pohon yang menggigil, lalu lalang orang yang mencari angin, beberapa muda-mudi yang saling merapatkan tubuh, anak-anak kecil yang berlarian mengejar gelembung yang ia tiup sendiri….

Ah, Liz yakin, tempat itu akan segera melarungkan kesepiannya, membersihkan hatinya dari rasa kecewa yang selalu ia pendam sendiri. Dan di sana, di sebuah titik yang hendak ia tandangi, di sebuah tempat yang tak asing lagi, Liz melihat seorang lelaki tengah duduk menyendiri. Ia membiarkan kakinya terayun-ayun ke muka air, sepasang sepatu dan sebuah koper ia geletakkan di sebelahnya. Liz tak percaya. Lelaki itu, lelaki itu adalah lelaki yang sama, yang ia temui di tempat yang sama, beberapa tahun lalu.

Liz belum yakin, oleh karenanya ia belum berani mendekat. Ia hanya mengintai dari kejauhan. Liz menyaksikan lelaki itu tengah asyik dengan dirinya sendiri, kakinya bermain kecipak air, persis seorang bocah yang tak perlu memikirkan apa pun. Beberapa detik selanjutnya, lelaki itu membuka koper yang ia letakkan di sebelahnya. Ia membuka kotak kecil yang berisi kalung. Ia mencium kalung itu, mengembalikannya ke dalam kotak, dan memasukkannya ke koper.

Kini Liz yakin seyakin-yakinnya, bahwa lelaki yang ada di sana itu tak lain dan tak bukan adalah lelaki yang sama, lelaki yang kini telah menjadi suaminya.
“Apa yang Matt lakukan di sini?” Liz ingin mendekat tapi ragu. Liz kembali teringat adegan yang menggetarkan yang terjadi beberapa tahun silam, sehelai scarf maroon yang mengantarkan Liz pada lelaki yang amat ia cintai sampai detik ini. Lelaki yang kini tengah terduduk seorang diri di depan sana. Liz gamang. Haruskah aku menghampirinya?
***
Begitu turun dari bus, Matt segera menghambur ke tampat itu, tempat di mana ia dan Liz dipertemukan untuk pertama kalinya. Sekarang semuanya memang sudah berubah, tapi Matt tak peduli, Matt masih ingin mengenang kejadian lucu itu. Maka sesampainya di tepian kanal itu, Matt segera melepaskan sepatunya dan ia letakkan berjajar dengan kopernya, tepat di sebelah ia duduk. Lekas-lekas Matt melipat ujung celananya dan mengayunkan kedua kakinya sampai menyentuh air kanal yang sejuk itu.

Matt masa bodoh pada beberapa mata yang memandangnya aneh. Matt juga tak peduli pada angin musim dingin yang tak henti-henti meniupkannya ke tengkuknya. Di hati Matt ada sesuatu yang membara dan menyala-nyala, sesuatu yang tak dapat dilenyapkan oleh angin ataupun sekadar hawa dingin. Entah apa itu, Matt sendiri tak yakin.

Matt kembali mengepak-ngepakkan kedua kakinya ke muka air. Sejenak ia melirik kopernya yang tergeletak kedinginan. Ia membuka koper itu dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi kalung. Kalung yang sudah ia siapkan untuk Liz, namun harus berakhir menyedihkan. Kalung itu dikecupnya sekilas dan ia letakkan  kembali di tempatnya semula, di dalam kotak kecil, di dalam koper.

Matt masih saja mengepak-ngepakkan kedua kakinya. Pandangannya terlempar  ke arus air yang mengalir tenang di hadapannya.  Ia jadi teringat, seseorang pernah mengatakan, bahwa air jernih di kanal itu bisa menghilangkan segala macam rasa sakit dan kekecewaan. Dan sekarang, Matt tengah berupaya menghilangkan rasa sakit dan kekecewaan itu. Jadi ia merasa tak harus peduli pada siapa pun atau pada apa pun.

Ketika Matt masih asyik dengan dirinya sendiri, ia dikejutkan oleh suara yang sangat tidak asing baginya, suara yang bahkan tiap lekuknya sudah ia hafal.
“Apa yang kau lakukan di sini, Matt?”
Matt menoleh, kaget, serta-merta wajahnya memerah, tenggorokannya bagai tersedak, tak mampu membalas sepatah kata pun.

“Matt, apa kau baik-baik saja?” Liz bertanya lagi.
“Apa yang kau lakukan di sini, Liz?” Matt balas bertanya, dengan suara ragu.
“Maaf, aku tidak meminta izin padamu. Aku hanya ingin mencari angin, aku jenuh di rumah seharian,”
Liz mendekati Matt dan duduk pelan-pelan di sebelahnya. Matt masih utuh dengan muka kejutnya. Ia menoleh ke sana kemari, memastikan bahwa Liz datang hanya seorang diri.
“Kau… George mana?” suara Matt terbata.
“George? Mengapa kau bertanya padaku?”
“Jadi kau sendiri?”

“Seperti yang kau lihat. Jadi, mengapa kau membolos kerja dan malah bersantai di sini?”
“Sebenarnya…  sebenarnya hari ini aku sengaja mengambil cuti untuk hari ulang tahunmu.”
Liz menatap Matt, tatapan tak percaya.
“Jadi… kau ingat, hari ini hari ulang tahunku?”
“Sebenarnya  aku tak pernah lupa, tapi… tapi….”
“Tapi apa…?”
“Mengapa kau tak bersama George di hari ulang tahunmu?”
“Mengapa aku harus bersama George di hari ulang tahunku?”
“Bukankah….”

Liz menunggu sesuatu yang hendak muncul dari bibir Matt, tapi Matt malah terdiam, tak hendak meneruskan kata-katanya.
“Bukankah apa….”
“Sebenarnya aku hanya tak mau mengganggu pertemuanmu dengan George,” suara Matt bergetar. Ketika Liz hendak menjawab, Matt lekas-lekas mengangkat kembali suaranya, “Tak masalah, Liz. Sungguh, tak masalah. Aku sudah tahu semuanya, tentang hubunganmu dengan George, dan aku…  aku sudah merestuinya.”
Liz tertawa, tapi kedua matanya tiba-tiba berair. “Jadi…,” Liz bagai tak kuasa meneruskan kata-katanya, “jadi, kau mengira aku dan George berselingkuh?”
Matt tak menjawab. 

“Apa kau masih percaya padaku, Matt?” suara Liz turut bergetar.
Matt tetap tak menjawab.
“Kau gila, kau boleh membunuhku jika aku benar-benar melakukan itu padamu,” kata Liz lagi.
Matt tak berkutik.
“Tentang kedatangan George, tentang kado dan kue ulang tahun, tentang buah tangan yang selalu ia bawa…. Sepertinya aku harus menelepon George dan Bibi untuk menjelaskannya langsung kepadamu.”

“Tapi, waktu itu, aku melihat kalian berpelukan,” kata Matt lugu dan penuh keraguan.
Liz menghela napas lagi. “Sejak kapan berpelukan diartikan sebagai selingkuh. Berapa kali harus kukatakan bahwa George sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Entah bagaimana menjelaskannya padamu, Matt.”

Kini Liz menangis, tangis yang pasrah dan tidak dibuat-buat. Matt tak tahan menyaksikan itu, maka Matt segera meraih tubuh istrinya dan menenggelamkannya ke dalam pelukan. Matt tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Tapi, melihat Liz menangis, membuatnya ikut menangis.
“Maaf, Liz, maaf,” bibir Matt tak henti-henti menggumamkan kata itu.
“Sejak kapan kau tak memercayaiku?”
“Maafkan aku, Liz, maafkan aku. Aku percaya padamu. Aku percaya padamu. Kumohon jangan menangis.”

Liz menyeka air matanya.  “Aku tidak menangis, Matt. Aku hanya  bingung.”
Mereka saling diam, beberapa saat, hingga Matt kembali mengangkat suara, “Kau ingat Liz, saat pertama kali kita bertemu, di sini, di tempat ini?”
“Mana mungkin aku melupakannya.”

“Jadi, apakah mungkin semuanya kita mulai dari awal lagi?”
Liz menatap Matt, mungkin tak percaya, mungkin merasa aneh, tapi Liz tersenyum, “Aku tahu kau lelaki yang baik, Matt. Aku yang salah, seharusnya aku tak menyembunyikan apa pun darimu.”

“Tidak Liz, mungkin akulah yang terlalu curiga. Tapi sudahlah, menurutku, ini bukan saat yang tepat untuk saling merasa bersalah atau saling menyalahkan. Aku ingin semuanya kita mulai dari awal lagi. Dan yang harus kau tahu adalah, aku masih Matt yang dulu, tak berubah sedikit pun.”
Liz tersenyum. “Sebentar….”

“Kau mau ke mana?”
Liz berlari kecil menuju hulu. Ia berhenti di tepian yang lain, dan menjatuhkan scarf maroon-nya ke air. Ia biarkan scarf itu terbawa arus sampai ke tempat di mana Matt duduk, mengayunkan kakinya ke air. Liz kembali ke Matt, dan duduk di sebelahnya.
“Mengapa kau lakukan itu?”
“Katamu, kita harus memulai dari awal lagi.”
Dan mereka saling tertawa kecil. Tawa yang sangat jernih dan jujur. Seperti aliran air yang mengalir di sepanjang kanal. (Tamat)



************
Mashdar Zainal



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?