Fiction
Kanal [1]

25 May 2013



Liz tak heran, di Paris hujan bisa turun kapan saja di sepanjang musim, sepanjang tahun. Di musim panas, terkadang hujan turun bagai sebuah kejutan yang dipersembahkan langit untuk jalan-jalan yang sepanjang siang tak henti-henti dijangkiti fatamorgana.

Sedangkan di musim dingin seperti sekarang ini, hujan datang serupa kabut yang kian memperburuk keadaan. Lebih-lebih pada bulan Januari seperti sekarang ini, rasanya setiap orang harus mengenakan mantel jika keluar rumah, kecuali ia ingin membeku.

Tapi, bagi Liz tidak demikian. Hujan tetaplah hujan yang akan selalu indah manakala diintai dari balik jendela. Musim tetaplah musim yang bergeming oleh keluh kesah anak manusia. Bagi Liz, musim tak ubahnya sebuah ornamen yang sangat indah yang dipahat khusus untuk mengatasi keterpurukan anak manusia di balik atap-atap rumah dan kaca jendela. Meski—tentu saja, musim tak pernah peduli pada mereka.

Jadi, pagi itu, meski enggan beranjak dari ranjangnya, Liz tetap membuka mata dan memulai harinya dengan seuntai senyum. Entah di dalam hatinya.
Seperti biasa, pagi-pagi Liz sudah membuka lemari es, mengeluarkan susu botol, keju, dan beberapa apel merah. Liz menuang susu botol dingin itu ke panci kecil dan menghangatkannya di atas kompor. Sembari menunggu susu mendidih, Liz menyiapkan beberapa potong roti tawar dan memarut keju. Liz memanggangnya sebentar, secara manual di atas teflon, dengan sedikit olesan mentega. Menurut Liz, roti panggang yang dipanggang secara manual di atas teflon rasanya lebih lezat ketimbang pakai open listrik.

“Kalau kau ingin sarapan, sarapannya sudah siap, Matt!” seru Liz, setelah semua hidangan tersaji di atas meja. Matt masih asyik di depan teve memelototi koran paginya.
“Kalau tevenya tidak ditonton, dimatikan saja!” seru Liz lagi. “Roti dan susunya keburu dingin, nih.”
Lekas-lekas Matt melipat koran paginya dan menghambur ke meja makan. Liz memicingkan mata, menyadari Matt belum mengenakan pakaian kerjanya. Tapi, Liz tidak berkomentar apa pun, setidaknya sampai mereka selesai sarapan.
 “Mengapa kau belum mengenakan seragammu? Kau tidak berangkat kerja hari ini?” Liz menelan potongan roti keju terakhir di piringnya sambil melirik jam dinding yang jarum pendeknya sudah mengacung ke angka sembilan.

“Di luar masih hujan.” Matt mengelap mulutnya dengan tisu.
“Jadi kau belum mandi?” Lis memotong apel merah menjadi enam potongan kecil.
“Dingin, rasanya malas sekali….”
“Tapi kau harus mandi. Apelnya,” Liz menyodorkan apel merah yang sudah ia potong ke hadapan Matt.
“Makasih.” Matt mengambil sepotong.
Liz memperhatikan mulut Matt yang mengeremus potongan apel merah itu sekaligus. Selanjutnya ia memperhatikan meja makan di hadapannya sambil menghela napas ringan. Begitulah,  usai sarapan, meja makan akan selalu tampak selengkatan, piring-piring, sendok, gelas, bekas tisu....
Setelah menenggak susunya sampai tandas, Liz beranjak, membereskan sisa-sisa sarapan di atas meja, “Sudah? Tidak kau habiskan susunya? Biar kucuci sekalian gelasnya.”
“Ya, sebentar.” Setelah mengelap bibirnya dengan tisu sekali lagi, Matt segera meneguk susunya yang tinggal separuh dan bersendawa keras-keras, hingga membuat Liz mengernyitkan dahi.
“Oh, maaf.” Matt menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Liz membawa setumpuk piring kotor ke belakang sambil menggerundel, “Sudah kuduga, Matt memang tak pernah mengingatnya.” Liz meletakkan piring-piring kotor itu di wastafel dan mulai menggosoknya dengan sabun satu per satu. Wajahnya sedikit murung.
Liz terkadang menyesalkan kebiasaan Matt yang selalu lupa pada banyak hal, bahkan pada hari ulang tahun istrinya. Malah George, sahabatnya, yang pagi-pagi sudah menelepon dan mengucapkan selamat ulang tahun. Untung sepagi itu Matt masih mendengkur di ranjangnya. Liz bisa menebak, nanti pukul sepuluh atau sebelas, George akan mampir ke rumah untuk mengantarkan sebuah kado dan sepotong kue. Dan biasanya Liz harus memancing ingatan Matt dengan menaruh kado dan kue itu di atas meja, agar Matt bisa melihatnya.

Dari dulu, George memang selalu jadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun. Dan tentu saja,  ketika Matt bertanya, “Kado dan kue dari siapa?”  Liz hanya akan menjawab bahwa itu kado dari sahabatnya. Ia tak pernah mengatakan kado itu dari George.

Barangkali, setelah melihat kado itu, Matt baru sadar bahwa hari itu adalah hari ulang tahun istrinya. Dan, setelah itu barulah Matt menyusulkan kadonya dengan ucapan yang hanya ia tulis ala kadarnya pada sesobek kertas, sesekali dengan gumaman ringan, “Selamat ulang tahun, Liz. Maaf agak terlambat….”

Matt memang keterlaluan. Dan Liz hanya menyimpan kekesalan itu seorang diri. Tapi, Liz sudah terbiasa dengan itu semua. Matt memang lelaki yang tak pernah mengingat apa pun, tak peduli pada apa pun. Di musim dingin begini, biasanya Matt bangun pukul delapan pagi, kemudian mandi, menunggu sarapan sambil membaca koran atau menonton televisi. Setelah sarapan matang, ia segera menghambur ke meja makan, menuntaskan sarapan dan menyisakan piring dan gelas kotor di atas meja.

Kemudian Matt beranjak dari duduknya dan berangkat ke tempat kerjanya dengan kata-kata yang sama, tanpa kecupan atau apa pun, “Aku berangkat dulu!” dan sesekali menambahi, “Kalau kau perlu sesuatu, telepon saja, sepulang kerja aku bisa mampir ke minimarket.”

Matt pulang petang hari, atau terkadang malam hari. Kalau makan malam sudah siap, Matt akan segera menyantapnya. Tapi, kalau belum, lagi-lagi ia akan memencet remote televisi dan berbaring di sofa sambil membaca koran tadi pagi. Begitulah keseharian Matt, tak ada hal baru.

Sementara Liz, seharian ia akan berkutat dengan pekerjaan rumah, yang  tiap hari ia kerjakan, tapi tak pernah ada habisnya. Terkadang itu membuat Liz sedikit bosan. Bila kebosanan mulai menggerayangi kepalanya, Liz hanya menangis diam-diam. Persoalan demi persoalan yang telah mengendap dalam kepalanya dan tak ingin ia bicarakan, tiba-tiba kembali bermunculan. Seperti ratusan folder  virus yang muncul begitu saja, merusak segalanya. Betapa melelahkan membayangkan ia harus men-scan virus itu satu per satu.

Menikah selama lima tahun dan tidak mempunyai keturunan  bagi Liz adalah virus yang mematikan dalam rumah tangganya. Matt yang bersikap datar, seperti tak lagi mencintainya, itu juga sebuah virus, George, sahabat lelakinya yang suka datang diam-diam saat Matt sedang bekerja, juga sebuah virus baginya.

Liz tak tahu harus berkata apa, sudah berkali-kali Liz mengingatkan George bahwa ia sudah menikah, dan mendatangi perempuan yang sudah menikah saat suaminya tidak ada di rumah bukanlah ide bagus. Dan George tak pernah paham, Liz tahu maksud George baik, ingin menyambung persaudaraan, menghibur, melihat Liz tersenyum, atau sekadar mendengarkan keluh kesah hatinya, tapi semua sudah berbeda.

“Sebaiknya kau tidak datang-datang lagi, George, kecuali Matt sudah ada di rumah,” Liz pernah mengingatkan seperti itu. Dan apa kata George.

“Kita kan tak melakukan apa-apa, Liz, jadi mengapa kita musti takut. Aku hanya mengantarkan kue, untukmu, dan untuk Matt, tak lebih. Dan ini karena ibu yang menyuruhku. Kau tahu kan, ibuku. Ia begitu perhatian padamu. Ibu hanya ingin kekerabatan kita terus tersambung, meski kau sudah berkeluarga. Dan karena hari ini hari ulang tahunmu, ibu juga membuatkan kue tart untukmu. Kuharap kau mau menerimanya.”
“Terima kasih George atas semua ini. Terima kasih sekali…. Tapi,  tidak bisakah kau mengantarkan ini ketika Matt ada di rumah?”
“Kau tahu sendiri, aku tak mungkin datang sepagi itu, dan petang atau malam, saat Matt ada di rumah, aku yang tak bisa. Kau tahu sendiri, kan, aku berangkat kerja pukul berapa dan pulang pukul berapa, waktu luangku hanya siang, malam aku sibuk.”
“Kalau begitu, kau tak usah datang-datang lagi. Aku akan menelepon bibi dan berterima kasih atas maksud baiknya, dan aku akan menjelaskan padanya, bahwa sekarang aku sudah menikah, dan….”
“Kupikir kau tahu ibuku, Liz. Ia perempuan perasa. Kau mau menyakitinya? Dan mungkin kau lupa, bahwa ibuku punya penyakit darah tinggi.”
“Lalu bagaimana?”
“Semua orang tahu Liz, kita sudah seperti saudara, jadi mana mungkin….”
“Bukan itu masalahnya. Whatever, kau laki-laki dan aku perempuan, memangnya apa yang orang pikirkan saat mereka melihat seorang laki-laki mendatangi perempuan yang sudah menikah saat suaminya tak ada di rumah.”
“Kau terlalu khawatir, Liz.  Lagi pula, aku tidak melakukannya sepanjang hari, ‘kan? Hanya sesekali.”
“Tentu aku khawatir.”
“Bagaimana kalau aku menelepon Matt, dan meminta izin untuk mampir ke rumahnya saat ia bekerja.”
“Kau gila?”

“Setidaknya Matt tahu bahwa aku datang bukan untuk maksud yang macam-macam, aku datang dengan maksud baik, hanya mungkin waktuku yang sedikit rumpil.”
“Tidak, tidak. Jangan pernah menelepon Matt atau apa pun.”
“Jadi?”
“Bibi tak mungkin datang sendiri, ya? Atau menyuruh seseorang, mungkin. Asal jangan kau, George,” Liz merendahkan suaranya.
“Entahlah.”
“Apa kau marah?”
“Kau lupa, Ibu hanya tinggal denganku.”
“Maksudku anak tetangga atau siapa?”
“Kau pikir rumahmu ada di seberang jalan yang cukup ditempuh dengan berjalan kaki?”
“Well, kalau begitu, terserah kau mau datang kapan saja, tapi lebih baik jangan. Kalaupun kau terpaksa datang, saranku segeralah pergi. Kau tak perlu berlama-lama, bukan?”
“Mengapa kau tidak menyuruhku untuk memencet bel saja, meletakkan kuenya di depan pintu, lalu pergi.”
“Bagaimanapun, aku bukan orang yang tak bisa menghargai orang lain, George.”
“Aku tahu.”
“Ah, bagaimana menjelaskan ini padamu, George. Maksudku, sekarang semua sudah berbeda. Aku sudah menjadi tuan putri yang tak bisa dikunjungi sembarang lelaki.”
“Kalau begitu, sebelum aku pamit, maukah kau meniup lilinnya? Aku ingin mengambil gambarmu dan menunjukkannya pada Ibu.”

Liz tersenyum, “Tentu. Maaf, kalau kata-kataku tadi terlalu kasar.”
“Kumaafkan, asalkan aku boleh memelukku sebentar.”
Liz melambaikan tangan, “Sampaikan salam hormat dan terima kasihku pada Bibi. Katakan kepadanya, aku dan Matt sangat menyukai kue buatannya.”
Dulu, sewaktu Liz masih lajang, George bisa menemuinya kapan saja ia mau. Semua orang tahu --termasuk orang tua Liz-- bahwa George dan Liz memang sudah bersahabat sedari kecil, bahkan sudah seperti saudara, nyaris tak terpisahkan. Tapi, apa pun itu, kini  semuanya sudah berbeda. Dan sayangnya, George mengalami sedikit kesulitan untuk memahami itu.
***
Virus demi virus bagai beranak pinak, menjangkiti pikiran Liz: bagaimana kalau Matt tahu dan beranggapan bahwa ia berselingkuh dengan George. Lagi pula, lambat laun Matt pasti bosan berumah tangga dengan perempuan yang mungkin mandul, bukan tak mungkin Matt punya simpanan di luar sana --faktanya Matt lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Dan, ujung-ujung dari virus-virus itu adalah  mungkin Matt akan menceraikannya. Titik.

Terkadang Liz sendiri sadar  bahwa ia sudah berpikir yang tidak-tidak dan terlalu jauh. Namun, Liz juga tidak bisa mencegah pikiran-pikiran konyol itu. Semua menghampiri kepalanya begitu saja, terlebih ketika ia merasa kesepian saat ditingal Matt bekerja.
Liz kerap bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah Matt masih mencintainya seperti dulu? Dan Liz tak pernah yakin. Beberapa tahun terakhir, sikap Matt memang berubah.

Dulu, awal-awal menikah, Matt adalah lelaki yang sangat romantis, meski sedikit pendiam.
Dulu, sepulang kerja, Matt kerap mengajaknya ke luar untuk sekadar jalan-jalan atau makan malam, atau sesekali mengisi teka-teki silang bersama sebelum tidur, atau terkadang nonton video jadul bersama sambil makan pop corn buatan sendiri. Dan sekarang, bahkan Liz tak ingat lagi, kapan terakhir kali ia melakukan agenda-agenda romantis itu bersama Matt. Mungkin setahun lalu, atau dua tahun lalu, atau tiga tahun lalu….  Entahlah, Liz benar-benar lupa.

Semenjak sikap Matt ia anggap berubah, Liz menjadi wanita yang selalu cemas pada banyak hal, bahkan hal yang sangat sepele. Seperti beberapa waktu lalu, ketika Matt menurunkan lukisan yang ada di ruang tengah dan meletakkannya di gudang. Lukisan itu bagi Liz adalah lukisan yang sangat berharga. Lukisan itu ia beli bersama Matt saat awal-awal mereka menikah. Sebuah lukisan minyak yang berkilap-kilap bila ditimpa cahaya.

Dalam lukisan itu terpajang sebuah kanal dengan airnya yang tenang dan biru. Di tepian kanal itu tumbuh bebungaan aneka warna. Mungkin bunga tulip, mungkin juga amarylis. Entahlah. Gambar bunga itu tidak terlalu jelas, hanya berupa tutul-tutul aneka warna.
Kata Matt, lukisan itu memang lebih baik ditaruh digudang. Dinding di ruang tengah sudah terlalu penuh dengan pernak-pernik, lagi pula lukisan itu sudah tampak usang. Maka, ketika Matt memboyong lukisan itu dan menggeletakkannya di gudang, Liz hanya bisa diam dan mengiyakan.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Liz jadi berpikir  bahwa rumah tangganya dengan Matt tak ubahnya seperti lukisan itu, terpajang bertahun-tahun di depan mata, tapi keberadaannya tak diperhatikan, tak dianggap ada, hingga ia berdebu dan akhirnya diturunkan menjadi barang gudang.

Liz membayangkan bahwa rumah tangganya dengan Matt bisa saja berakhir seperti lukisan itu, tersisih dan tak berarti apa-apa. Dan, dari sekian kecemasan yang menderanya, Liz selalu menarik benang merah bahwa rumah tangganya mulai goyah karena satu hal: Matt kecewa padanya, karena ia tak kunjung memberi momongan. Selalu virus itu yang muncul. Selalu dan selalu. Untuk membersihkan kecemasan itu sebenarnya Liz pernah meminta izin pada Matt untuk memeriksakan diri ke dokter, barangkali rahimnya bermasalah, tapi Matt malah menolak.

“Nanti, kalau Tuhan sudah waktunya ngasih, pasti dikasih, kok. Kita hanya butuh sedikit bersabar dan banyak berdoa,” begitu kata Matt.

Mendengar jawaban Matt yang demikian, Liz jadi berpikir atau jangan-jangan Matt yang takut, karena bukan tak mungkin, bahwa justru dirinyalah yang tidak bisa menghasilkan keturunan.

Pikiran Liz kacau, bagaimana ia harus menjelaskan, atau meminta penjelasan. Sejujurnya, kalaupun Matt adalah lelaki yang mandul, Liz masih tetap mencintainya, sangat mencintainya. Namun, jika dirinya yang mandul, Liz tak yakin Matt akan menerima kenyataan itu dengan lapang dada. Karena Matt seorang lelaki. Mungkin bagi Matt itu mudah, tapi bagi Liz, itu benar-benar sebuah virus yang harus dilenyapkan. Entahlah. Atau mungkin hati perempuan dan hati laki-laki memang berbeda. Pikiran Liz bercabang tak keruan.
***
Matt tak tahu bahwa wanita gampang sekali didera kecemasan. Seperti Liz yang selalu cemas pada hal-hal yang terkadang belum pasti. Dan jika Liz sudah mencemaskan banyak hal, Matt   lebih memilih untuk diam, supaya Liz tak bertambah cemas. Sebagai kepala keluarga,  Matt memang harus lebih banyak bertindak dan memutuskan mengenai apa-apa yang berhubungan dengan rumah tangga mereka. Maka, ketika Liz begitu risau --karena setelah menikah beberapa tahun tidak juga dikaruniai seorang bayi--  Matt cukup bersabar dengan tidak mengungkit-ungkit masalah yang sangat sensitif itu. Maka, ketika Liz mengusulkan untuk memeriksakan dirinya ke dokter, dengan tegas Matt tidak mengizinkan.

Matt punya alasan,  yang sesungguhnya sederhana namun cukup berbudi. Matt hanya tak mau kecemasan Liz bertambah-tambah setelah memeriksakan kandungannya nanti. Jadi rasanya lebih baik tidak usah mengungkit-ungkit masalah itu, karena sebenarnya letak permasalahannya adalah komitmen kesetiaan pada pasangan masing-masing.

Namun begitulah, selain gampang cemas, perempuan juga makhluk yang terkadang susah ditebak. Beberapa tahun lalu, setelah Liz meminta izin Matt untuk memeriksakan rahimnya dan Matt tidak mengizinkan, Liz berubah menjadi perempuan yang sedikit pendiam. Liz seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Dan mau tak mau, disadari atau tidak disadari, hal semacam itu telah menularkan benih-benih kecemasan bagi Matt. Benih kecemasan yang lambat laut berkembang menjadi kecurigaan.

Matt tak tahu pasti bagaimana perasaan Liz terhadapnya, apakah masih sama dengan awal-awal mereka menikah dulu. Karena tanpa ia sadari, dengan sangat perlahan, waktu telah mengubah semuanya. Kehangatan itu mulai pudar, nada bicara itu mulai goyah. Dan mereka, meski tinggal satu rumah, dan bahkan tidur satu ranjang, rasanya seperti dua sejoli yang baru dipertemukan. Dua sejoli yang merasa asing dan tidak mengenal satu sama lain.

Dan kecurigaan Matt akan sikap Liz terjawab tunai pada Rabu siang itu, tiga tahun lalu. Tentu saja Matt tak pernah bisa melupakan hari itu. Hari ketika Matt menyengaja pulang kerja lebih awal, karena hari itu hari ulang tahun Liz. Seperti biasa, Matt berangkat dan pulang kerja dengan mengendarai bus, karena baginya, itu lebih praktis ketimbang pakai mobil. Siang itu, ketika Matt pulang, ia melihat sebuah sedan silver milik George terpakir di depan rumahnya. Dan, dari balik kaca luar, di ruang tamu, Matt melihat Liz dan George tengah berbincang dengan jarak yang amat dekat.

Dari balik jendela, Matt sudah seperti penyusup di rumahnya sendiri. Matt terus menelisik. Perbincangan mereka tampak tegang, sesekali Liz tampak berbcara dengan nada tinggi dan kemudian menunduk seperti menyesal. Selanjutnya, Matt menyaksikan bagaimana George menyerahkan sepotong kue tart untuk Liz. Kue itu diletakkan George di hadapan Liz dengan hati-hati. Liz tersenyum dan meniup lilin kecil yang tersemat di atas kue, bahkan George mengambil gambar Liz ketika Liz meniup lilinnya. Mereka tetap tersenyum hingga kemudian saling berpelukan.

Ketika itu, kepala Matt seperti terpanggang, telinganya seperti terbakar, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Serta-merta ia berlari menjauh dari rumahnya sendiri. Kado yang sudah ia siapkan untuk Liz ia lempar begitu saja ke tong sampah. Selanjutnya, ia melanglang entah ke mana dan pulang jauh selepas malam.

Malam itu, ketika Liz membukakan pintu, untuk pertama kalinya Matt tidak mengecup kening Liz seperti biasanya. Mungkin Liz tak menyadari itu, mungkin Liz beranggapan bahwa malam itu Matt terlalu lelah. Malam itu, Matt langsung menghambur ke ranjang tanpa sepatah kata pun. Bahkan, jauh sampai tengah malam, Matt belum juga bisa memejamkan mata. Ia tidur memunggungi Liz, meski sesekali ia melirik ke arah istrinya yang sudah terlampau lelap.

Apa aku dikhianati? Apakah Liz dan George berselingkuh di belakangku? Apa yang mereka rencanakan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang kemudian muncul dalam kepala Matt selama bertahun-tahun dan tak pernah terjawab.(f)





************
Mashdar Zainal



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?