Trending Topic
Jiwa Berbeda Golden Globe

5 Feb 2016


The Golden Globe Awards lahir di tahun 1944 dan dicetuskan oleh Hollywood Foreign Press Association, hanya sekitar 15 tahun setelah ajang Oscar pertama dimulai. Dengan memakai kekuatan media, Golden Globe muncul seolah sebagai sebuah ajang prediksi bagi siapa yang akan memenangkan Academy Awards dan membawa piala Oscar pulang. Faktanya, Ben Affleck yang sungguh dipuja oleh para jurnalis di Golden Globe 2013 dan ditasbihkan sebagai Sutradara Terbaik saat itu,   disebut pun tidak pada daftar nominator kategori yang sama di Academy Awards tahun yang sama.
 
The Academy Awards, disebut selalu memiliki nuansa politis yang kental. Konon, rasa sentimen adalah salah satu penyebab mengapa Ben Affleck sama sekali tak dinominasikan, padahal Argo  adalah yang terbaik di kategori film pada tahun 2013 itu. Demikian juga dengan Alfred Hitchcock, yang konon memang tidak terlalu disukai oleh para anggota Academy, sementara Golden Globe sempat menganugerahinya sebagai Sutradara Terbaik beberapa kali.
 
Sementara Golden Globe praktis bersih dari unsur romantisisme, Oscar justru kental pada situasi macam itu. Unforgiven (1992) adalah contoh terkuat di masanya. Era saat telah lama genre western tak muncul di panggung sinema Amerika Serikat. Gagalnya Heaven’s Gate (1980) di pasar film lokal maupun internasional dan rontoknya film-film genre tersebut di beberapa produksi sebelumnya membuat Amerika ‘menghentikan’ produksi genre yang selalu kita sebut sebagai ‘film koboi’ itu.
 
“Apa yang saya tampilkan di film ini sebenarnya sudah pernah saya presentasikan pada Two Mules for Sister Sara (1970),” ujar Clint Eastwood, menyambut kemenangan karyanya di Golden Globe tahun 1993. Hasil yang bahkan bagi Clint adalah sebuah kejutan di saat itu. Bukan karena ia di saat itu tidak diperhitungkan sebagai sineas dengan pretensi memenangkan award, melainkan sosok yang ingin mencoba mengembalikan romantisisme kisah ‘tanah harapan’ di era masih liarnya sisi barat negeri.
 
Unforgiven praktis tak banyak disebut di ajang Golden Globe saat itu, meski kemenangan Clint sebagai Sutradara Terbaik bukanlah kejutan. Ia memang mengarahkan film ini dengan 
baik, juga penampilan Gene Hackman yang menggondol kategori Peran Pembantu Terbaik. Namun, film itu  takluk di kaki Scent of A Woman yang memang jauh lebih difavoritkan dan disebut ‘menyentuh’ oleh Hollywood reporter saat itu.
 
Faktanya, romantisisme dan kecintaan mereka pada suatu masa ketika tanah Amerika masih liar jauh melampaui romantisisme pada para veteran Perang Vietnam yang pulang dengan luka. Unforgiven kemudian memang memenangkan gelar Film Terbaik Oscar 1993. Namun, di pasaran ia kalah telak dibanding pendapatan komersial dan popularitas yang diperoleh Scent of A Woman.  Tak hanya memberi Al Pacino gelar Aktor Terbaik di dua ajang penting itu, tapi juga memperkenalkan dunia pada Gabrielle Anwar yang, walau hanya muncul   5 menit,  popularitasnya jauh melebihi Gene Hackman atau Clint Eastwood sekalipun.
 
Orang selalu membandingkan hasil Golden Globe dengan hasil Oscar nantinya. Selalu. Kemudian, jika orang berpikir bahwa Golden Globe adalah cermin siapa yang akan memenangkan Oscar, saya rasa pikiran itu harus dibuang jauh-jauh. Ajang yang biasa digelar hanya berjarak sekitar 2-3 minggu sebelum Academy Awards ini memiliki jiwa yang sangat berbeda. Ia tak akan mampu dipengaruhi oleh segala manipulasi media dan promosi yang dilakukan oleh para produser. Para jurnalis praktis menyaksikan dan menilai tanpa melihat apa yang muncul di berbagai dimensi media lain. Bukan karena mereka lebih pintar, tapi karena pekerjaan sehari-hari mereka tidak seheterogen para anggota Academy.
 
Jika kemudian mereka bagaikan refleksi yang tak terpisah, bagi saya adalah karena kehadiran mereka berada pada timeframe yang sama. Jika selera juri sudah benar, maka tak akan mungkin kemenangan atau kefavoritan jauh pergi dari sebuah karya yang muncul, apalagi jumlah produksi pada timeframe tersebut sudah bisa diprediksi. 
 
Golden Globe bagi saya adalah jawaban pada keraguan sineas di luar Amerika Serikat tentang selera ajang serupa di sana. Setidaknya ada ajang yang mampu merepresentasikan selera Amerika Serikat saat itu ketimbang sekadar sebuah hura-hura kelas berat ala Oscar.
 
Sebuah ajang festival memang selalu memiliki identitasnya sendiri. Jangan heran jika Inglorious Basterds (2009) atau Wild At Heart (1990) karya sineas  visual David Lynch,  mampu menjadi yang terbaik di Festival Film Cannes (Prancis) karena memang ajang tersebut ‘membolehkan’ karya seperti itu menang di sana. Kedua film yang tak menang pula di Berlin Film Festival atau Venezia Film Festival bagi saya pun karena alasan: “Tiap festival memiliki karakter dan identitasnya sendiri.” Demikian juga  dengan Golden Globe dan Oscar yang kebetulan saja praktis menilai sekumpulan film yang sama dengan standar yang nyaris sama.
 
Lalu, jika seorang editor film menambahkan pendapatnya dengan “Oscar hanyalah kepentingan pasar sinema di Amerika Serikat!” bagi saya sangatlah wajar. Ajang ini muncul persis seperti sikap Amerika Serikat pada industri sinema di negeri itu, sebagai produk budaya dan alat propaganda.(f)
 
Andibachtiar Yusuf
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?