Fiction
Jenang Gulo [2]

30 Aug 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Wasiat ayah yang dibacakan di depan Mama, Mas Andi, Mbak Fira, Ara dan Lestari membuat kaget. Betapa tidak, ayah mewariskan rumah kepada Lestari, anak dari istri kedua ayah yang sudah lama ‘menghilang’ sejak perceraian ayah dengan ibu Lestari. Lestari sendiri juga tak menyangka akan diwarisi rumah yang penuh kenangan itu. Atas suruhan Fira, Ara pun berusaha meminta Lestari untuk menjual rumah warisan itu kepada saudara tirinya.
    Ah, bodohnya aku. Tentu dia tak mengambil kuliah arsitektur sepertiku karena biaya. Walau tidak detail tapi aku tahu hubungan Papa dan ibunya menjadi tidak baik setelah perceraian. Dan itu pasti berpengaruh terhadap kehidupannya. Apalagi kudengar Bu Nanik menikah lagi dengan orang lain, hal yang konon membuat Papa meradang tanpa kutahu alasannya. Semuanya pasti mempengaruhi hidup Lestari.
    “Tapi dari dulu memang aku sudah suka menjahit, Mbak. Dulu waktu SMP aku pernah dititipkan di rumah Bulik Yanti selama hampir tiga tahun penuh. Bulik Yanti itu penjahit. Disitulah aku mulai belajar. Awalnya dari pasang kancing, jelujur, dan mengelim. Ketika mulai bisa menggunakan mesin jahit, aku bertugas menjahit bagian-bagian yang gampang seperti sisi kanan kiri rok. Terus belajar sedikit-sedikit begitu.  Jadi waktu ikut Simbah sebenarnya aku sudah bisa menjahit. Tapi belum bisa membuat pola.”
    Ceramah panjang lebar itu tak sepenuhnya masuk ke telingaku. Yang benar-benar tertangkap oleh otakku hanyanya 'dititipkan di rumah Bulik Yanti' dan 'ikut Simbah'.
    “Kenapa mesti berpindah-pindah tempat tinggal?”
    Dia tersenyum. “Mbak tahu kan ibuku menikah lagi? Pak Bambang membawa ibuku ke Banjarmasin sebulan setelah pernikahan. Aku waktu itu baru masuk SMP. Jadi lebih baik tinggal dengan Bulik Yanti. Terus pas SMA Simbah minta ditemani. Ya sudah aku jadi tinggal dengan Simbah.”
    Dia menceritakan itu semua seperti tanpa beban, tanpa kesedihan atau semacamnya. Sementara di kepalaku berkecamuk dugaan. Mungkin ayah tirinya tidak terlalu suka jadi dia tidak dibawa serta ke Banjarmasin. Mungkin ada konflik-konflik di rumah bibinya sehingga dia harus pindah ke rumah neneknya. Mungkin ......
    “Dan kau tinggal di sini sekarang? Sendirian? Rumah siapa ini?”
    “Iya, dengan mereka berdua. Ini rumah Pakde Sapto. Kebetulan kosong dan cukup dekat dengan tempat kursusku. Jadi aku menyewanya, walau awalnya tak yakin akan sanggup membayar sewanya. Ternyata aku bisa. Tapi tahun pertama sebenarnya kubayar dengan uang hasil hutang ... ha…ha…ha…”
    Mau tak mau aku ikut cengar-cengir mendengar cerita soal hutang itu. Karena caranya bercerita lagi-lagi tanpa beban.
    “Jadi kau memulai semuanya di sini.”
    Anggukannya mantap sekali. “Waktu itu Ali yang bilang ada baiknya membuat usaha di sini karena lebih dekat dengan pusat kota Surabaya.”
    “Siapa Ali?”
    Rona merah mukanya yang seketika datang sebenarnya sudah memberikan jawaban terang untukku. Tapi  celetukan anak buahnya membuat rumah menjadi riuh.
    “Pacarnya Mbak Les, Mbak.”
    Yang digoda makin merah wajahnya. Tapi tawanya tak surut.
    “Teman dekat, Ratri. Mbak Les kan selalu bilang begitu....” Anak buahnya yang lain ikut menggoda. Si bos masih tertawa-tawa. Ah.... aku merasa atmosfir keluarga dalam ruangan ini.
    Seorang ibu muda masuk dengan senyum setelah memberi salam. Penampilannya rapi dan tampak berkelas. Lestari segera berdiri menyambutnya
    “Halo, Bu Miriam. Kemarin aku tunggu, lho. Pesanannya sudah jadi semua. Silahkan dicoba dulu barangkali ada yang perlu aku perbaiki.”  
    Dengan gesit diambilnya setumpuk baju yang sepertinya sudah licin terseterika.  Lalu diantarkannya ibu itu masuk kamar kecil di sebelah. Dan ketika ibu itu keluar lagi, aku jadi mengerti kualitas Lestari dan tim kecilnya. Baju pertama berupa setelan kerja dengan atasan berbentuk pea coat kotak-kotak yang manis.  Lestari dengan kaca mata dan meteran kain di leher mengitari ibu itu,  tampak seperti dokter menganalisis pasiennya. Dahinya agak berkerut, mukanya serius. Lalu si ibu beganti baju kedua, sebuah sack dress yang modelnya sebenarnya sederhana saja tapi kombinasi garis-garis merah tua di atas dominasi hitam membuat aku langsung jatuh cinta. Baju ketiga baju pesta two pieces yang sangat anggun lagi sopan.  Bagian dalamnya dari batik Madura. Sedangkan  jubah luarnya berwarna maroon yang agak mengkilat dengan taburan payet di sekitar  leher.
    “Jadi semuanya pas, Bu? Yakin tidak ada yang perlu diperbaiki? Lengannya sudah terasa enak buat bergerak? Tadi waktu pakai tidak susah? Panjangnya sudah cukup?”
    “Iya Mbak, semuanya bagus, kok. Saya sangat suka.”
    Ah ... dari tadi memang cuma Lestari yang bergumam dan mengecek sana-sini dari atas ke bawah dan sebaliknya. Semuanya lebih untuk dirinya sendiri sebab tak ada sepotong keluhan pun dari mulut ibu itu.
    

Begitu kliennya berlalu Lestari menoleh kepadaku dengan muka sumringah. Memainkan uang pembayaran kliennya dengan jenaka.
    “Ada bebek goreng yang enak sekali di dekat sini. Sambalnya pakai mangga muda. Mau ya, Mbak? Kita makan sore bersama.”
    Sebelum aku sempat menjawab dia sudah memberikan perintah lain.
    “Rat, tolong kamu yang pergi ya. Beli bebek goreng untuk kita semua. Nasi di dapur masih cukup kan?”
    Jadi hari itu aku tinggal hingga hampir Magrib.
    “Ehm.... bisa Selasa depan ke kantorku untuk ambil ukuran? Sekalian tolong usulkan modelnya. Bentuknya atasan dan bawahan untukpria dan wanita.”
    “Warna?”
    “Pakai corporate color kami, kelabu dan kuning. Tapi ordernya tidak banyak ya sebab timku cuma terdiri dari delapan orang saja.”
    “Tak apa. Ehmmmm ...Mbak beri order ini bukan sekedar karena kasihan kan? Karena memang kantor Mbak butuh seragam kan?”
    “Aku sudah lama berpikir untuk membuat seragam. Cuma memang baru hari ini kuputuskan. Dan melihat klienmu tadi rasanya kau tidak perlu dikasihani.”
    “Tapi aku tetap perlu orderan, Mbak.” Tawanya berderai.
    Malamnya Mbak Fira meneleponku.
    “Bagaimana? Sudah kau temui dia?”
    “Sudah, tadi siang.”
    “Soal tawaran kita untuk rumah itu dia bilang apa?”
    “Aku belum sempat membicarakannya. Tadi dia sedang sibuk. Jadi kami cuma bertemu sebentar.”
    “Tunggu apa lagi? Memangnya sibuk apa dia? Cepat sampaikan padanya sebelum dia menjual rumah itu ke orang lain!”
    Itulah Mbak Fira, selalu penuh perintah. Dan mengiyakan adalah cara aman untuk menghadapinya.
*

    Seminggu kemudian kutemukan dia duduk di ruang tamu dengan wajah cerah dan ransel kuning di pangkuannya. Terang-terangan dia meneliti isi kantorku ketika kubawa masuk.
    “Kantor Mbak bagus ya. Sederhana tapi keren. Profesional sekali kesannya.”
    “Jadi mau kapan mulai kubuat desain untuk butikmu?”
    Dia tertawa. “Semoga semoga semoga semoga ..... Semoga segera ada dananya.”
           Kubawa dia bertemu dengan Saraswati, rekan usahaku. Lalu dengan lancar dipresentasikannya empat desain seragam yang telah dibuatnya. Ditunjukkannya juga contoh seragam dan baju kerja yang pernah dibuatnya. Kentara sekali Saras suka. Padahal kemarin ketika kubilang soal seragam dia menyetujuinya lebih karena alasan kebutuhan saja. Sekarang dia yang ngotot untuk mengambil dua model. Lalu Lestari mengukur badan kami satu persatu. Setelah selesai dia pamit pulang sembari berjanji akan memberikan contoh jadinya dalam tiga hari ke depan sebelum benar-benar memproduksi semua pesanan kami. Aku cuma mengiyakannya karena belum juga menemukan kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan tentang rumah itu.
    “Oh iya Mbak, aku lupa terus untuk menanyakan ini. Pada siapa aku bisa mengirimkan uang untuk gaji Mak Darti dan keperluan lain rumah Tulungagung?” Mimik mukanya berubah agak malu-malu. “Mulai sekarang aku kan yang harus membayar semuanya .......”
    Aha, ternyata pintu itu terbuka tanpa aku perlu mengetuknya.
    “Sebenarnya selama ini aku yang urus. Sejak Ibu ikut Mbak Fira ke Semarang, aku membuatkan Mak Darti rekening di bank dan mengajarinya menggunakan kartu ATM. Karena aku tidak setiap bulan bisa ke sana. Nanti aku kirimkan nomor rekening itu padamu.”
    “Ya, kalau bisa ditransferkan memang lebih baik. Aku juga mungkin tak bisa setiap bulan ke sana untuk mengantarkan uang itu.”
    “Apa rencanamu selanjutnya?”
    “Rencana apa?”
    “Rencanamu untuk rumah itu. Apa yang akan kau lakukan terhadapnya?”
    Dia mengendikkan bahunya. “Aku belum tahu.”
    “Ibumu sudah tahu?”
    “Ya, aku sudah telepon Ibu. Tapi Ibu sendiri juga tidak menyarankan apa-apa.”
    “Ehm ..... sebenarnya aku punya tawaran untukmu. Ehmmm ... bukan cuma aku ...tapi kami bertiga.”
    Dahinya mengkerut. “Tawaran apa?”
    “Bagaimana kalau kami membeli rumah itu darimu?”
    Dia ternganga. Tangannya yang tadi sedang memasang helm ke kepala sontak terhenti. Aku jadi tak enak.
    “Maksudku begini, kau kan tahu kami bertiga lahir di Tulungagung. Dan ari-ari kami semunya ditanam di halaman rumah itu. Kami juga menghabiskan bertahun-tahun masa hidup di rumah itu. Jadi kami menganggapnya sebagai rumah penuh kenangan, penuh nostalgia.”
    Kini dia menunduk, menekuri helm yang jadi batal dipasang.
    “Aku tak pernah meminta Bapak agar memberikan rumah itu.”
    “Kami semua tahu itu. Jangan salah sangka, bukan itu masalahnya.”
    Dia menghela nafas panjang sebelum kembali berbicara dengan nada sendu.
    “Lama sekali aku tak bertemu Bapak dan sebenarnya tak ada kontak sama sekali. Makanya aku kaget ketika orang suruhan Bapak datang menemuiku, bercerita bahwa Bapak sakit dan ingin bertemu. Waktu itu yang kupikirkan bahwa aku bertemu dengan orang tua, akar hidupku.”
    “Hei, ayolah ......... kami benar-benar tak berpikir macam-macam tentangmu. Ini cuma tawaran. Dan kami membuat tawaran itu karena ada banyak kenangan disana. Sejarah hidup. Kami tak ingin kehilangan itu. Kau tentu boleh menolaknya jika tak setuju. Rumah itu punyamu, jadi kau berhak menolaknya.”
    Dia menatapku tajam. “Kenangan itu tetap ada di sana, Mbak. Seperti juga rumah itu tetap berdiri di sana.”
    Sebenarnya kalimat itu diucapkan datar-datar saja, tanpa nada keras. Tapi aku seperti baru saja mendapat skak mat.
    “Okay, lupakan saja yang tadi aku sampaikan. Dan jangan berprasangka pada kami. Seperti aku bilang tadi, tawaran itu cuma karena masalah nostalgia semata.”
    Kendati dia mengangguk tapi aku merasa dia tidak mempercayai kata-kataku begitu saja. Dikenakannya helm dengan diam.
    “Aku pamit ya, Mbak. Tiga hari lagi akan aku bawa contohnya untuk  approval.”
    Aku benar-benar merasa tak enak. Jadi enggan menelepon atau  berkirim pesan kepadanya. Kupikir diam juga ada baiknya. Harapanku dia menggunakan jeda waktu ini untuk berpikir.
    Kenangan. Ehm.... kami, terutama Mbak Fira berusaha membuat rumah itu kembali ke tangan kami karena alasan kenangan. Mbak Fira sangat ngotot ketika berbicara di depan Mama, Mas Andi, dan aku tempo hari. Dia membumbui dengan tangisan pula. Baginya rumah itu adalah rumah kami selamanya dan Papa tidak seharusnya memberikan kepada Lestari. Papa boleh mewariskan apapun kepadanya, selain rumah itu. Mbak Fira khawatir Lestari akan menjualnya ke orang lain karena menurutnya Lestari tidak punya keterikatan emosional apapun dengannya. Mama akhirnya setuju setelah termenung-menung. Mas Andi mengangguk mengikuti. Aku? Ah..... sebenarnya bagiku tak ada masalah. Jika memang Lestari menjualnya pun bagiku tetap tak masalah. Toh barang itu sudah jadi miliknya. Soal kenangan, aku juga tak sependapat. Seberapa besar kenangan yang kami buat dalam rumah itu, toh kenyataannya saat ini kami semua sudah menjalani hidup masing-masing dan tak satupun yang tinggal di dalamnya. Rumah itu lebih sebagai rumah Mak Darti sekarang. Membayar tenaga Mak Darti untuk menjaga dan membersihkannya bagiku tak sama dengan menjaga keabadian kenangan.
    “Kau tidak mengerti, karena itu kau tidak peduli!” Begitu Mbak Fira mengecam sikapku.
    “Aku cuma merasa sayang jika rumah itu terus-menerus kita biarkan kosong seperti itu, hanya ditinggali oleh Mak Darti seorang. Sementara tak satupun di antara kita yang bersedia tinggal disana. Jadi kalau memang orang lain dapat memanfaatkannya ya kenapa tidak?  Mungkin Lestari tidak berniat menjualnya. Siapa tahu dia cuma berniat menyewakan saja ke orang lain? Apa salahnya? Sementara jika kita yang membelinya pasti keadaannya tetap akan sama seperti sekarang alias tak berpenghuni selain Mak Darti.”
    Wajah Mbak Fira semakin memberengut.  Dan perintahnya padaku tetap tak berubah : suruh Lestari menjual rumah itu pada kami. Titik. Ya sudahlah, aku malas berdebat. Apalagi Mama dan Mas Andi lebih banyak diam yang kuartikan sependapat dengan kakak perempuanku itu.
    Tiga hari kemudian ternyata bukan Lestari yang muncul ke kantorku. Padahal aku sudah menunggunya, bermaksud memanfaatkan momen pertemuan kembali itu untuk memperbaiki hubungan. Yang datang mengantarkan contoh seragam untuk approval ternyata Ali, pemuda yang dulu disebut sebagai kekasih Lestari. Wajahnya bersih dan tampak murah senyum. Perawakannya sedang, cenderung kurus malah. Bicaranya luwes.
    “Lestari sedang tak enak badan, Mbak. Dan kebetulan aku sedang ada kunjungan ke retailer di dekat sini. Jadi dia menitip ini untuk Mbak.”
    “Dia sakit?”
    “Ehmmm ..... demam, batuk, dan pilek.”
    Sakit atau sengaja menghindariku?
    Sabtu menjelang sore kembali kudatangi rumahnya. Dia keluar bahkan sebelum aku menyentuh pagar. Senyumnya lebar sekali. Aku lega luar biasa. Paling tidak pembicaraan terakhir kami tak membawa efek seburuk perkiraanku.
    “Kekasihmu bilang kau sakit. Jadi aku datang menengok.”
    Dia tertawa kecil. Suaranya serak. “Cuma flu kok. Tempo hari sepulang dari kantor Mbak, aku kehujanan.” Tangannya menunjuk kantong plastik besar di tanganku. “Bawa apa, Mbak?”
    “Sebenarnya aku tidak cuma berkunjung. Aku berniat berkemah di sini sampai besok. Jika kau tidak keberatan tentu saja.”
    “Halah, keberatan apa!”
    Segera kantong plastikku berpindah ke tangan kirinya, sementara yang kanan setengah menyeretku masuk.
    “Apa ini isinya?”
    “Jeruk, asupan vitamin C untuk penderita flu. Lalu sayuran, udang, dan kepiting untukku berdemo.”
    “Berdemo?”
    “Ya. Kau sudah tunjukkan keahlianmu. Kini giliranku menunjukkan keahlian. Kau akan merasakan kelezatan masakanku malam ini.”
    “Wow ...... asyik makan besar!” teriaknya kepada seisi rumah.
    Aku turun ke dapur selepas Magrib. Tempat itu segera riuh karena Lestari, Ratri, dan Diah secara spontan memposisikan diri menjadi asistenku. Kumasak cap cay putih, udang goreng tepung, dan kepiting asam manis.
    Lalu Ali mucul dengan wajah penuh senyumnya. Ah, aku baru ingat ini malam Minggu. Mungkin sebenarnya mereka sudah merencanakan kencan berdua. Dan kedatangan tiba-tibaku mungkin merusaknya. Terlihat jelas Ali terkejut melihatku ada di dapur. Tapi cuma sekedar terkejut karena kemudian dia segera membaur dengan semua keruwetan ini.
    “Hei, aku merusak kencan malam Minggu kalian? Mungkin sebenarnya kalian seharusnya pergi menonton film atau candle light dinner di luar sana, dan sekarang terpaksa batal karena aku?”
    Ali segera menggelengkan kepala. Dengan sendok ditunjuknya Lestari. “Dia tidak boleh kemana-mana sebelum batuk pileknya hilang. Sepertinya ini enak. Boleh kucicipi?”
    Sebenarnya kalimatnya adalah kalimat tanya. Tapi tanpa menunggu persetujuanku dia sudah mengambil dua sendok cap cay dan menaruhnya di piring kecil. Setelah meniup-niup dan mengunyah, jempol tangannya teracung ke mukaku.
    “Enak, Mbak! Mak nyus sekali ini.” Dan sebelum sendoknya mengarah ke kepitingku, Lestari sudah menaruh setumpuk piring, sendok, dan garpu di tangannya dan medorongnya ke meja makan.

Penulis: Ina Binanti Alasta



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?