Trending Topic
Jebakan semu

12 Feb 2014


Membentuk sebuah citra diri memang diperlukan, terutama bagi mereka yang bekerja di bidang yang sering disorot banyak orang, seperti selebritas. Citra diri itu dibentuk oleh cara kita menampilkan diri seperti gaya berbahasa, cara penampilan, dan gaya hidup. Citra diri juga dibentuk lewat proses untuk memengaruhi persepsi orang lain terhadap kita. Bukan hanya lewat bahasa lisan, tapi dengan banyak cara. Lewat status di media sosial misalnya, atau menggunakan benda-benda bermerek dan mengatakannya kepada banyak orang. Dari segi psikologis, Bagus Takwin berpendapat, ini disebut manajemen kesan (impression management).

Sebagai contoh, seseorang sengaja mengatakan bahwa ia hanya mengonsumsi makanan dan minuman tertentu, melakukan olahraga  tiap hari, untuk meyakinkan orang bahwa ia seorang yang bergaya hidup sehat. Contoh lain, seseorang sengaja menyiarkan keberadaannya di berbagai tempat yang terkenal mahal, menampilkan koleksi benda mahal, agar orang-orang menganggap ia seorang yang berstatus ekonomi tinggi.

Strategi dan cara yang digunakan seseorang untuk memberikan kesan kepada orang lain dipengaruhi oleh situasi dan norma sosial. Situasi yang penuh persaingan menuntut orang untuk berusaha membanggakan dan  menonjolkan diri. Pada masyarakat yang materialistis, menilai baik buruknya orang dari materi yang dimiliki, hal ini mendorong seseorang untuk pamer.

Ini terjadi pada generasi mana saja, dari orang tua sampai anak-anak. Bedanya terletak pada situasi dan tema yang dianggap penting oleh masyarakat. Wanita dewasa mungkin menampilkannya pada acara arisan, dengan mengenakan benda-benda bermerek mahal, sementara yang remaja mungkin lewat gaya berbusana terkini, memiliki gadget terbaru, di tempat gaul mereka.

Sebenarnya, ini adalah salah satu cara orang beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Sejauh itu sesuai dengan tuntutan situasi dan membuat orang yang melakukannya merasa lebih bahagia dan nyaman, hal itu sehat saja. Tetapi, jika   dilakukan berlebihan, tapi tidak membuat dirinya bahagia dan merasa nyaman, bahkan malah menurunkan keduanya dan mengganggu orang lain, itu tidak sehat.

Sayangnya, terkadang orang  menyampaikan atau menampilkan hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Memang, orang bisa saja berbohong kepada orang lain untuk dapat memberi kesan tertentu, bahkan membohongi diri sendiri, baik secara sadar maupun  tak sadar. Ini tampaknya yang banyak terjadi sekarang. Misalnya, mengaku mengenyam pendidikan di sebuah sekolah terkenal, padahal tidak. Atau sering mengatakan kenal dekat dengan orang-orang terkenal dan berpengaruh, padahal tidak.

Bagi sebagian orang, hal itu perlu mereka lakukan karena mereka merasa berada di lingkungan yang tidak setara. Mereka ingin meningkatkan rasa percaya diri dan tetap eksis sehingga bisa menjadi bagian dari komunitas tersebut. Hal itulah yang menurut Amalia kemudian membuat mereka memaksakan diri untuk mencari pegangan apa pun yang bisa mendongkrak kesan yang ingin ia tampilkan.

Misalnya, dengan memaksakan diri membeli barang-barang bermerek karena lingkungannya  dari kalangan selebritas atau sosialita yang selalu menggunakan merek mahal dan asli. Barang bermerek itu dianggap bisa ‘menyelamatkan’ kesan diri sendiri yang belum cemerlang. “Pencitraan diri memang wajib dan perlu. Tetapi, bukan pencitraan diri secara semu yang tidak mewakili diri kita yang sebenarnya,” tegas Amalia.

Pencitraan semu mungkin terjadi karena seseorang belum mempunyai pemahaman terhadap strategi pencitraan yang jelas dan terarah. Karena itu, penggunaan bahasa yang tidak semestinya lahir dari kurangnya pengetahuan bahwa semua yang semu tidak akan membantu dalam proses pencitraan jangka panjang.

Menampilkan citra diri lewat benda-benda pun bukan jalan yang tepat. Karena, membenahi citra diri itu harus dari dalam diri, bukan dari elemen di luar dirinya seperti barang bermerek, bahasa yang rumit, dan hal-hal yang tidak ia kuasai. Citra diri yang cemerlang akan keluar dengan sendirinya dari dalam, tanpa harus mengandalkan faktor eksternal.

Setelah ditimbang-timbang ternyata dorongan itu muncul karena lingkungan atau komunitas, sebaiknya kita melakukan review apakah kita memang sesuai berada di komunitas tersebut. Tidakkah sebaiknya mencari komunitas yang membuat kita lebih nyaman karena menjadi diri sendiri?

Bila tetap memilih berada di komunitas yang ‘lebih tinggi’ tersebut, yang perlu dilakukan adalah menggali potensi diri. Dengan demikian, tidak menampilkan citra diri melalui cara bicara dan pemilihan kata, tetapi melalui karya nyata lainnya. Karena, kekuatan personal seseorang berbeda satu dengan lainnya. Dengan menggali keunikan dan potensi diri, maka seseorang bisa tampil lebih percaya diri secara benar.(NURI FAJRIATI)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?