Fiction
Jas Putih [1]

10 Sep 2012

Lima tahun berhubungan dengan Yama tak membuat Kay merasa yakin pria cerdas dan bermasa depan cemerlang itu akan menjadi pasangan hidupnya yang tepat. Adakah yang salah pada dirinya?

Bandara Ngurah – Rai, Bali


Kay menyeret kopernya dengan hati berantakan dan perasaan yang terasa terbang di awang-awang. Ia mengarahkan pandangannya pada kaki dan sepatu orang-orang yang berseliweran. Setiap warna putih yang tertangkap matanya membuat  hatinya dialiri rasa pahit. Tiba-tiba ia merasa ada yang tidak benar dengan ekspresi wajahnya.  Ia juga merasa ada yang tidak beres dengan blus dan celana yang sedang dikenakannya. Semuanya terasa serba salah. Kay merasa gagal dan merasa teramat bodoh. Ia perempuan yang tidak becus sama sekali.
   
Di sebelahnya, Melly, sahabatnya, memandangnya dengan wajah bingung. Ada apa dengan Kay? Kay, seorang manajer LSM yang terkenal hebat berpidato dan meyakinkan orang lain, sekarang tersaruk-saruk menahan malu pada kegagalan hidupnya?
    ”Kamu kenapa Kay, kok, seperti orang linglung begitu?”
    Kay kaget dengan pertanyaan Melly. ”Apa semua tingkah lakuku begitu jelas terbaca Mel?”
    ”Jelas sekali Kay, kamu tidak kelihatan sedikit pun sebagai Kay yang aku kenal.”
   
Kay menghentikan langkah dan menarik Melly ke sebuah kursi terdekat yang ada di sana. Ia mengenyakkan pantatnya dengan perasaan galau. Ia menarik napas  dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya dengan perlahan-lahan. Kelopak mata Kay meremang oleh air mata.
    ”Mengapa semuanya jadi berantakan gini, Mel?”
    ”Lho, apanya yang berantakan, sih, Kay. Kamu tidak jadi menikahi laki-laki yang tidak benar. Itu kemujuran. Keberuntungan. Kamu, kok, malah menganggapnya berantakan?”
    ”Mengapa aku bisa tidak tahu tentang Yama, laki-laki yang aku pacari. Aku malah menganggapnya laki-laki sempurna.”
    ”Sekarang kamu tahu. Itu jauh lebih baik sebelum kamu menikah dengannya.”
    ”Apa aku seorang pecundang, Mel...?”
    ”Masa bodoh denganmu Kayleen Paramitha White.”
    ”Lho, apa maksudmu, Mel?”
    ”Coba, deh, kamu eja nama lengkapmu. Kamu tidak pantas bersikap secengeng itu. White nama papamu. Paramitha nama mamamu. Mereka orang-orang hebat. Buang nama mereka dari namamu, kalau kamu masih bersikap secengeng ini.”
   
Kay tercengang mendengar kata-kata Melly. Sahabatnya itu selalu mampu menohok jauh ke dalam hatinya. Kay hanya terdiam. Bingung  harus melakukan apa selanjutnya. Melly menarik tangan Kay, mengajaknya berjalan ke bagian luar Bandara Ngurah Rai. Kay berjalan dan menarik kopernya dengan setengah hati, seolah ia tidak lagi memiliki tenaga. Melly melambaikan tangan pada taksi ungu yang melintas di depan mereka.

**

Kafe Donat...


Kay mengunyah donat rasa cokelat kacang dengan nikmat. Rasa laparnya satu hari ini akhirnya terpuaskan juga. Kay tidak bisa mengingat makanan apa saja yang sudah masuk ke mulutnya hari ini. Jangan-jangan ia tidak makan apa pun.
Hari ini ada hajatan besar di LSM Act. Kay dan teman-temannya baru saja meresmikan berdirinya rumah penampungan untuk anak-anak jalanan dan anak telantar yang mereka namai Rumah Hati.  Hati  Kay meluap oleh perasaan bahagia. Akhirnya mereka berhasil mengumpulkan dana untuk membangun tempat tinggal yang lebih nyaman dan sehat untuk anak-anak itu. Akhirnya anak-anak malang itu mempunyai rumah yang hangat untuk mereka tinggali, walaupun keluarga sejati mereka tidak ada di sana.
   
Rekan-rekannya di LSM Act tertawa dengan gembira. Wajah-wajah mereka cerah dan berkeringat. Begitulah wajah mereka ketika sedang bersemangat. Pikiran Kay melayang pada bayi-bayi mungil tak berdaya dan anak-anak berwajah lugu yang segera akan menempati kamar barunya di Rumah Hati. Bayi-bayi merah itu mungkin belum mengerti mengenai rumah baru mereka, namun anak-anak yang lebih besar tidak bisa menyembunyikan kegembiraan mereka. Mereka kini menempati kamar berdinding bersih dengan hiasan bernuansa anak-anak, walaupun tiap anak harus berbagi dengan empat anak lainnya. Pandangan mata mereka yang berbahagia selalu terkenang-kenang di benak Kay.  
  
 Sepuluh tahun bergelut di dunia LSM, rasanya ini pencapaian terbesarnya. Kay akan mengenang ini sepanjang hidupnya. Kay akan menjaga Rumah Hati semasih ia memiliki tenaga sampai ia tua. Kay bahkan ingin mengajak anak-anaknya kelak bermain ke Rumah Hati. Seperti Papa dan Mama yang dulu juga suka mengajaknya ke Panti Asuhan. Anak-anak harus mendapat kesempatan pertama untuk diselamatkan. Mengasuh mereka hingga cukup dewasa untuk menghidupi dirinya sendiri.
   
Keriuhan suara tawa itu mulai mereda ketika malam makin larut. Kay merasakan penat di seluruh tubuhnya. Matanya memberat dan tubuhnya lemas. Mungkin inilah saatnya untuk pulang. Teman-temannya juga kelihatan kelelahan. Mereka meninggalkan kafe donat itu dengan perasaan puas sekaligus badan yang lelah luar biasa. Inilah gabungan antara kelelahan dan keberhasilan. Inilah yang selalu terjadi dalam hidup Kay. Kay merasa inilah jalan hidup yang dipilihnya.

**


Yama menghabiskan steak-nya dengan begitu rapi. Kadang-kadang Kay merasa sungkan, bila makan di hadapan Yama. Laki-laki itu terasa begitu priayi, sementara Kay merasa seperti rakyat jelata. Untunglah, Yama tidak pernah mempermasalahkan cara makan Kay yang serampangan. Kay lebih banyak belajar dari Mama dalam hal makan daripada Papa. Mamanya sering makan dengan tangan.
    ”Kamu sudah memikirkan apa yang aku tanyakan minggu lalu?” Yama mengelap mulutnya dengan gerakan yang begitu sempurna.
    ”Sudah, sih. Cuma aku belum tahu, apa kita sudah sama-sama siap.”
    ”Lima tahun itu bukan waktu yang singkat, lho, Kay. Banyak  temanku yang hanya pacaran satu sampai dua tahun. Apalagi pekerjaanku dan pekerjaanmu sudah sama-sama mapan.”
    ”Walaupun kita sudah pacaran lima tahun,   karena kita masing-masing sibuk, waktu kita bersama sepertinya nggak banyak, ya....”
    ”Begitulah kehidupan pasangan modern, yang penting kita sama-sama merasa cocok.”
    ”Betul banget, Mas. Aku bahagia bersamamu.”
    “Aku lebih-lebih lagi...  sangat bahagia!”
   
Kay pindah dari tempat duduknya ke sebelah Yama. Ia melingkarkan tangannya ke pinggang Yama. Yama membalas dengan pelukan hangat. Aliran kehangatan merambat dalam hati Kay. Rasanya memang laki-laki inilah yang ia inginkan menjadi suaminya. Mungkin memang sudah saatnya untuk memikirkan pernikahan. Sebuah pernikahan yang akan menyatukannya dengan Yama. Dan mereka tetap bisa berkarier di pekerjaan masing-masing sambil merawat anak-anak yang lucu. Yama akan menjadi ayah yang baik karena ia seorang dokter yang begitu cerdas dan cemerlang. Adakah alternatif yang lebih baik untuk menjadi calon suami? Hanya, Kay belum merasakan dorongan yang kuat untuk menikah, padahal segalanya terlihat begitu sempurna. Perempuan anehkah ia?

**

Usia Kay tiga puluh tiga. Usia matang bagi sebagian orang. Teman-teman Kay sebagian besar sudah menikah dan memiliki anak. Namun, Kay tidak terlalu terpengaruh dengan keadaan itu. Kedua orang tuanya tidak pernah mendorongnya untuk segera menikah. Mamanya adalah seorang sosiolog yang sangat terbuka pemikirannya, sementara papanya, seorang guru bahasa Inggris yang sangat demokratis. Papanya, Daniel White, adalah laki-laki kulit putih kelahiran Inggris yang akhirnya memutuskan menjadi WNI setelah menikah dengan mama Kay.
  
Kay juga ingin menikah dan membangun keluarga. Ia mengidolakan Papa dan Mama, sepasang suami-istri yang saling mengasihi, namun masing-masing tetap berkarya melalui pekerjaan  masing-masing. Keluarga seperti itulah yang ingin dibangunnya bersama Yama, atau mungkin laki-laki lainnya nanti.

Namun, saat ini belum ada dorongan kuat di hatinya untuk menikah. Istilah orang Jawa, belum kepingin. Kay tidak ingin persoalan usia akan membuatnya merasa terdesak. Beberapa teman dekatnya mengatakan sebaliknya. Menikah bukan cuma persoalan perasaan, namun juga persoalan logika. Jika kamu tidak ambil kesempatan itu sekarang, mungkin kamu tidak akan pernah memiliki kesempatan. Betulkah begitu? Bukankah tidak masalah, jika Kay menikah di usia empat puluh, saat ia betul-betul menginginkan pernikahannya? Ah, tidak.... Mereka ada benarnya. Kay harus realistis melihat pernikahan.

Ia mungkin harus mempertimbangkan dengan serius ajakan Yama. Jika dilihat sekilas, Yama adalah calon suami yang sempurna. Kay mencintainya dan ia seorang dokter anak yang sedang menanjak kariernya. Bagi sebagian besar orang, Yama adalah calon suami idaman. Ia begitu sempurna, seolah tanpa cacat. Tapi, kembali ke persoalan awal tadi, Kay belum kepingin. Jika sudah menyangkut yang satu ini, siapa pun bisa mengerti, mengapa Kay belum juga menerima ajakan Yama untuk menikah. Tapi, Kay akan mencoba untuk menyelami perasaannya sendiri. Barangkali karena usianya sudah tiga-tiga dan ia berharap bisa melahirkan anak-anak dari rahimnya. Kay ingin menjadi seorang ibu.

                                                                                        cerita selanjutnya >>

Penulis: Ni Komang Ariani


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?