Fiction
Jakarta Malam Ini [1]

21 Oct 2014


Jakarta di malam hari seperti kejatuhan bintang. Tak ada cahaya bintang yang terlihat di langit Jakarta, yang ada adalah ‘bintang-bintang’ itu memancarkan cahayanya di bawah kita. Seperti yang selalu aku lihat dari lantai 24 gedung kantor tempatku  bekerja. Tiap malam, aku selalu lembur. Bukan apa-apa, biasanya saat jam pulang kerja, jalanan tumpah ruah dengan kendaraan. Mau naik Trans Jakarta pun sama saja, pasti antrean panjang dan akan saling sikut menyikut dengan sesama pekerja yang ingin cepat sampai rumah.

Di bulan kedua aku bekerja di sini, akhirnya aku menyerah untuk pulang tepat waktu. Toh, di apartemen tidak ada yang menungguku. Dan aku lebih suka untuk mengerjakan sesuatu dalam keadaan yang lebih tenang. Tidak terlalu hectic seperti kantor di siang hari.
Kendaraan di jalanan seperti parkir massal. Lampu dari kendaraan dan lampu jalan memberikan cahayanya yang indah, berwarna-warni, bergantian seperti warna pelangi. Aku mengambil kursi dan kemudian duduk di samping jendela. Menyesap teh hangat yang baru saja kubuat. Pekerjaan hari ini selesai lebih cepat dari perkiraanku. Dan akhirnya aku memutuskan untuk duduk memandangi pemandangan dari lantai 24 ini.

Kursi yang aku duduki merupakan satu-satunya yang ada di ruang bersantai di bagian divisiku. Hamparan karpet lembut berwarna hijau membentang di bawah kaki. Biasa digunakan oleh semua karyawan di divisiku untuk makan siang, mengobrol, bergosip, bahkan sampai meeting dengan bos. Televisi layar datar 36 inci menghiasi sudut ruangan, di bawahnya disediakan PS3 untuk para karyawan yang hobi bermain, terkadang dijadikan ajang perlombaan saat penat mulai melanda.

Di seberangnya terdapat lemari pendingin yang selalu penuh makanan, microwave, dispenser, dan laci-laci yang berisi tumpukan piring, gelas, serta alat makan yang selalu dijaga rapi oleh OB. Kantorku ini memang sangat menjunjung tinggi nilai ‘keseruan’ dalam bekerja, makanya mereka menyediakan berbagai macam alat yang setidaknya bisa digunakan oleh para karyawan agar tidak stres. Misalnya di lantai 22, ada sebuah meja biliar yang bisa dimainkan oleh para karyawan, termasuk OB dan satpam. Selain itu, makanan dan minuman selalu tersedia, entah itu kiriman dari vendor, media, atau karyawan yang lain. Bahkan, saat seseorang ulang tahun, biasanya akan ada pesta kecil-kecilan di divisi yang bersangkutan.

“Belum pulang, Ta?”
Suara itu mengagetkanku yang masih melamun. Menoleh ke arah sumber suara dan akhirnya aku menemukan Ambar, teman sedivisiku yang biasanya tidak pernah lembur.
Tersenyum basa-basi saat menjawab, “Iya, nih, Mbar. Aku kan memang selalu pulang malam. Liat, tuh, traffic jam di bawah.” Aku menunjuk dengan dagu ke arah bawah.
Ambar mendekatiku, membawa gelasnya yang berisi air mineral dingin. Ikut melongokkan kepalanya memandangi lalu lintas di bawah. Kemudian dia pergi. Aku mengembuskan napas lega, kami memang tidak dekat. Jarang sekali berbincang di luar masalah pekerjaan. Ambar ini tipe perempuan metropolitan yang senang clubbing, jauh berbeda dengan aku yang datang ke Jakarta hanya untuk bekerja.
Sret... sret... sret... Suara roda kursi terdengar jelas. Ah, ternyata aku salah. Ambar pergi bukan  untuk kembali melanjutkan pekerjaannya, tapi untuk mengambil kursi. Tuhan, tolong aku….

“Udah beres kerjaanmu, Mbar?” aku basa-basi lagi. Menyesap habis tehku yang sudah tak panas lagi dan segera berdiri untuk mengambil air di dispenser.
“Belum, masih harus nyelesaiin plan untuk presentasi besok.” Dengan santai Ambar menopangkan kakinya. Pahanya yang terbalut stocking warna kulit terlihat dari balik roknya yang sangat mini.

High heels yang biasa digunakannya sengaja ditanggalkan untuk kemudian diganti dengan sandal jepit. Blouse satin warna peach yang digunakan membalut ketat tubuhnya, dua buah kancing atas sengaja dibuka untuk memperlihatkan dadanya yang berisi. Errgh, aku yang perempuan saja kadang-kadang ‘gerah’ melihat penampilannya yang seperti itu.
Aku kembali duduk di kursiku, memandang lagi lalu lintas di bawah sana. Sekarang kendaraan itu sudah mulai bergerak, meski perlahan. Lampu-lampu  makin gemerlapan karena motor-motor yang  makin banyak.
“Ta, Mbar,” suara seseorang menyapa kami yang sedang larut dalam pikiran masing-masing. Kami berdua kompak memalingkan kepala ke arah sudut dispenser. “Gue balik duluan, ya.” Tito, spesialis lembur yang biasanya pulang bareng aku, ternyata sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Aku melihat ke jam dinding, masih pukul 19.45.
“Tumben pulang cepet?”
Tito menyeringai, “Aku mau nge-date dulu. Pacarku udah ngambek aku  lembur terus.”
Aku dan Ambar berpandangan, melemparkan senyum sekilas sebelum akhirnya melambaikan tangan ke Tito.
“Jadi Tito enggak tau?” Ambar cekikikan saat pintu di belakang Tito menutup.
Aku menggelengkan kepala. Berusaha meredam tawa.
Seperti biasa, kecepatan gosip para perempuan di kantor ini secepat kecepatan cahaya. Aku yang jarang ikut bergosip dengan mereka saja, bisa tahu tentang gosip yang sedang hot ini. Pacar  Tito yang kebetulan sekantor, tapi beda divisi, digosipkan punya hubungan lain dengan om-om yang entah siapa. Ambar dan teman divisiku yang lain pernah memergokinya sedang bercumbu di kelab malam yang biasa didatangi Ambar.
“Gila, tuh, perempuan. Bisa-bisanya mengkhianati Tito yang superbaik seperti itu.” Ambar menandaskan air di gelasnya.
Aku mengangguk mengiyakan, “Tapi mungkin Tito-nya juga yang terlalu polos, ya. Liat, deh, perempuan itu genit banget. Sering flirting sama Anton, AE majalah Sport.”
Mata Ambar membulat. “Are you serious? Kok, gue enggak tau, ya?” Suara tawa Ambar sekarang memenuhi ruangan.
Aku melirik ke arah cubicle-cubicle yang untungnya sudah kosong, hanya terisi satu orang yang sedang memakai earphone.
“Iya, aku waktu itu lagi meeting bareng Anton di bawah, terus Ambar lewat, and guess what she did?” aku mencoba bergaya seperti biang gosip di televisi. Ambar terlihat makin penasaran, dia mendekatkan dirinya kepadaku yang menikmati perhatian ini.
Untuk mendapatkan efek yang lebih dramatis dan sengaja agar Ambar makin penasaran, aku meminum air di gelasku sedikit demi sedikit. Benar saja kan, Ambar terlihat penasaran. “She kissed him! Di kantor, lho, di lobi. Dan emang waktu itu lobi lagi kosong, cuma ada aku dan Anton yang lagi meeting.”

Ekspresi Ambar saat ini seperti dia sedang memenangkan sebuah olimpiade, semringah dan suara tawa lepas terdengar dari mulutnya. “Bitch!” Lagi-lagi dia tertawa keras sambil bertepuk tangan. Kadang-kadang aku heran dengan maksudnya melakukan hal itu. Aku sudah menyangka bahwa besok gosip ini akan tersebar dan ternyata yang bercerita adalah Vita, si karyawan teladan yang tidak pernah ikut bergosip. Entah bagaimana pikiran orang-orang bila mengetahui hal ini. Tuhan, ampuni aku.
“Tapi jangan kasih tau siapa-siapa, ya?” Jangan kasih tahu siapa-siapa berarti kasih tahu teman-teman sedivisi, tapi beritanya tidak boleh bocor ke telinga divisi lain. Ambar mengangguk, dan aku percaya dia akan menepati janjinya. Sudah beberapa kali kejadian seperti ini –dengan teman-teman yang lain tentu, bukan dengan aku– dan memang yang tahu hanya teman-teman di divisiku saja.
Setelah melakukan beberapa kali pose kemenangannya, Ambar menatapku. Kali ini dengan tatapan heran. Oh, aku tahu kenapa dia menatapku seperti itu. “Ta, you should go with us to the club. Flirting with some guys or even one night stand.”
Oh Tuhan, kenapa harus aku?
Aku tersenyum sopan sambil memainkan gelas di tanganku, kemudian menggeleng. “Enggak, Mbar. Aku enggak suka asap rokok, aku enggak minum alkohol, dan aku enggak bisa tidur lebih dari pukul 11 malam.”
Dan kali ini Ambar tersenyum, seolah meremehkan, “Tapi, lo kan lembur terus? Enggak penat, tuh, pikiran penuh dengan kerjaan?”
“Justru buatku, menenangkan pikiran itu, ya, di apartemen. Duduk santai sambil baca majalah, dengerin musik, atau nonton TV. Udah itu aja. Untuk pergi ke kelab malam, kurasa itu bukan tempatku.” Semoga Ambar tidak mendengar dengan nada seorang single yang kesepian.
“Di kelab malam bisa minum, pasti langsung lupa dengan masalah lo.”
Aku tertawa mendengar pernyataan konyol Ambar.

Sedikit melirik ke Ambar, aku berjalan menuju kulkas, memeriksa apa yang tersisa di dalamnya. Kue cokelat sisa ulang tahun Anya kemarin masih bagus dan tersimpan rapi di kulkas. Aku membuka laci untuk mengambil piring dan sendok, kemudian memotong kue cokelat itu menjadi 2 slice. Salah satu piring aku berikan kepada Ambar yang langsung diambilnya tanpa mengucapkan terima kasih. Sepertinya orang ini harus dikembalikan ke TK agar belajar kembali mengucapkan ‘terima kasih’.
Kue cokelatnya sangat lembut, krim yang digunakan pun enak, manisnya pas dan tidak meninggalkan after taste. Aku terus menyendok kue, kembali menatap ‘bintang’ dari lantai 24 gedung ini. Berharap Ambar tak usah membuka mulutnya kembali dan meninggalkanku yang masih betah di sini.
“Pacar lo mana?”
Rasanya ingin aku bungkam mulutnya dengan kue cokelat di kulkas. Pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang sangat sensitif bagi perempuan yang masih single di usianya yang sudah seperempat abad. Seperti pertanyaan, “Kapan nikah?” yang membuat siapa saja ingin pergi sejauh mungkin agar tak ditanya dengan pertanyaan ‘keramat’ itu.
“Aku kan udah putus.”
“Oh, ya? Kapan? Kenapa?”
Dan yang paling aku benci dari pertanyaan “Pacar lo mana?” itu karena pasti setelahnya ada pertanyaan lanjutan bertubi-tubi yang susahnya melebihi ujian saat kuliah. Rasanya aku ingin pergi ke kutub selatan agar tidak ditanya-tanya lagi.
“Udah lama, kok. Dan enggak usah dibahas lagi. Udah lupa juga aku,” aku mengeluarkan suara tawa palsu. Dan pura-pura terpekik kaget ketika melihat jam dinding sudah mendekati angka 10. “Dan, aku mesti pulang sekarang. Kamu mau pulang bareng?” Damn! Pertanyaan yang salah. Please, say no.
“Enggak usah, deh. Lo duluan aja. Gue masih mau nyelesaiin dikit lagi kerjaan gue.”
Aku tak bisa menutupi wajah lega. “Oke, gue duluan, ya.”

Buru-buru aku minum dan menyimpan piring serta gelas bekasku di meja dan segera menuju cubicle untuk merapikan tas. Melambaikan tangan saat melewati Ambar yang masih duduk di depan jendela sambil memainkan iPhone-nya, berhenti sebentar untuk menandatangani bukti pengambilan voucher taksi, dan akhirnya keluar.
Setelah pintu menutup, aku menarik napas lega. Kadang-kadang menjadi seorang perempuan ‘nakal’ itu menyenangkan. Cerita tentang pacar Tito yang mencium Anton itu hanya punya kebenaran sekian persen. Sebenarnya pacar Tito hanya say hi saja dengan Anton, tidak ada adegan kissing seperti yang aku ceritakan. Senang rasanya bisa memercikkan api pada hubungan Tito. Tapi tak mengapa, saat berita itu bocor, aku sudah tak ada di Jakarta lagi.

Sebulan yang lalu, surat pengunduran diri secara resmi telah aku layangkan kepada bos dan manajer HRD. Mereka pun sudah menyetujui pengunduran diriku, meski mereka menyayangkan, karena aku merupakan karyawan terbaik di divisiku. Sayangnya, aku telah tergoda oleh sebuah perusahaan advertising terkenal yang berpusat di Hong Kong. Mereka menawariku pekerjaan dan tanpa pikir panjang aku menyetujuinya. Menjauh dari Indonesia sepertinya pilihan yang tepat saat ini. Teman-teman sedivisi tak ada yang tahu bahwa aku akan resign dari kantor ini. Dan, untuk mendramatisasi kepergianku, aku ingin hubungan Tito dan pacarnya hancur. Karena… aku mencintai Tito.(f)

Bogor, 8 Mei 2014

*********
Husfani A. Putri


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?