Fiction
Hitam Merah Cinta [3]

22 May 2012

<< cerita sebelumnya

“Namanya juga usaha, ya, harus tekun dijalani, kata Ivan.

“Tergantung, usahanya akan menghasilkan laba atau tidak,” jawab Dara.

“Laba atau rugi, yang penting diimani dengan hati.”

Kali lain... “Saya kangen. Saya ingin mendengar suaramu,” kata Ivan.

“Seusia kamu sudah tak pantas bergombal-gombal,” jawab Dara.

Kemudian... “Kamu dingin sekali. Saya punya api besar yang bisa membuang kedinginan itu,” kata Ivan.

“Api yang terlalu besar berkobar di awal, akan mudah padam.”

“Api saya abadi, akan berkobar dan membesar terus.”

Begitulah, Dara tidak pernah menang beradu argumen dengan Ivan.

Suatu kali, yang diantarkan Pak Imran bukan sarapan. Bungkusannya berbentuk kotak. Ketika Dara membukanya, isinya sebuah kaset dan buku harian. Rupanya, Question, lagu kesukaannya, diaransemen ulang oleh Ivan. Di situ ada catatan kecil: ”Sementara ini saya hanya bisa merekamnya. Tapi, kalau kamu bersedia, saya akan memainkannya live di hari pernikahan kita.”Dara membuka buku harian itu. Ternyata, tidak kosong. Halaman-halamannya sudah terisi ribuan kata. Dilihatnya tanggal pada halaman pertama, itu hari pertama mereka bertemu. Rangkaian katanya sangat manis, dan lucu, khas Ivan. Hati Dara mencair, seperti mentega ditaruh di bara api….

Hari perkawinannya tinggal tiga hari lagi. Dara sangat bahagia, sehingga melupakan gelisahnya. Sudah satu minggu Ivan tak bisa dihubungi. Tapi, bukankah itu bagus, karena calon pengantin tak boleh berkomunikasi, apalagi bertemu. Itu akan mengundang bad luck.

Sore hari itu juga, Dara heran ketika tiba-tiba paman Ivan datang dengan wajah pucat. Ia membawa kabar yang meruntuhkan dunia Dara. Ivan menghilang! Sudah satu minggu ia terlihat gelisah. Pagi ini ada telegram, mengatakan, ia pergi ke Kanada, bersama kekasih yang dulu diakuinya sudah putus. Mereka menikah di sana.

Tak ada penjelasan apa pun. Tak ada permintaan maaf. Tak sepatah kata untuk Dara, yang berdiri mematung bagai buta dan tuli. Esok harinya Dara mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. Tak sanggup menerima perubahan tatapan orang-orang, yang semula iri jadi kasihan dan cemooh. Saras mencoba membesarkan hatinya, tapi Dara tak bisa dibujuk. Dara tidak menangis, tapi tak henti-henti bertanya pada dirinya. Ibunya terus menyalahkannya dan mengatakannya telah salah pilih.

Itulah titik balik hidupnya. Hatinya dipenuhi kepahitan. Ia hijrah ke Surabaya, membentengi dan mengunci pintu hatinya rapat-rapat. Tak seorang pun akan diizinkannya melukai hatinya lagi, bahkan tidak untuk sekadar mendekat. Jika terjadi lagi, Dara tak akan sanggup menanggungnya. Sekarang, hidupnya harus menjadi baik, ia harus berhasil. Sekarang, waktunya hanya untuk bekerja.

Suatu saat, menjelang perjalanannya ke luar negeri yang kesekian kali, Dara bertemu Ivan di bandara. Dara ingin berlalu, tapi Ivan menghampirinya. Istrinya memandangi dari jauh, sambil menggendong seorang gadis kecil.

“Saya hampir tidak mengenalmu. Kamu sukses sekali, ya?”

Dara hanya tersenyum tipis.

“Kamu sudah menikah?” kata Ivan, sambil melirik jemarinya yang masih kosong, kemudian melanjutkan, “Saya harap bukan karena saya.”

Dara meradang, berpikir untuk menyakiti Ivan dengan kata-kata paling kejam yang bisa dipikirkannya. “Tentu saja, karena kamu. Karena kamu meninggalkan saya di altar, saya bisa begini. Saya rasa, saya harus berterima kasih. Jika saya menikah denganmu, saya pasti tidak sesukses ini dan hanya akan jadi ibu rumah tangga, pengasuh anak, seperti istrimu di sana.”

Ivan pucat. “Kamu boleh marah, saya tidak tahu harus bilang apa.”

Dara memandangnya, dengan sorot terdingin. Mintalah maaf, batinnya.

“Tidak usah bilang apa-apa, saya bersyukur kita tidak menikah. Maaf, saya harus check in,” katanya, ketus.

Dara melangkah, meninggalkan Ivan yang terpaku. Merasa heran mengapa dulu ia terlena akan cinta lelaki itu, hanya karena sebuah buku harian dan aransemen lagu! Betapa dangkal cintanya. Tapi, Dara juga marah pada dirinya sendiri. Menyesali mengapa ia harus menyerang Ivan? Jika Ivan sangat tidak berarti, seharusnya ia bersikap elegan. Sekarang Ivan tahu ia sangat sakit hati, dan pasti Ivan juga tahu sakit hatinya. Karena, ia masih belum, tak bisa, tak kan pernah bisa, memaafkannya, melupakannya.

Itulah yang pertama dan terakhir kali Dara melihatnya, sejak Ivan menghancurkan mimpi-mimpinya tanpa ampun. Semoga tidak ada pertemuan kebetulan lagi. Ia tak mau mempermalukan dirinya dua kali.

ANITA
“Nanti malam aku harus antar Mama arisan. Padahal, langit semendung ini, aku takut akan turun hujan lebat,” Andy mengeluh.

“Pakailah mobilku,” Anita menyerahkan kuncinya.

Anita masih duduk di kelas dua SMA. Andy kakak kelasnya. Orang tua mereka bersahabat dan mendukung hubungan mereka.

Jika Andy kehabisan uang. Anita dengan senang hati meminjamkan uangnya, meskipun Andy tak pernah melunasinya. Anita juga lebih sering membayarinya jajan ketimbang Andy yang mentraktirnya. Tapi, Anita tidak keberatan, ia senang menghabiskan waktu bersama Andy.

Lulus SMA, Andy mendapat beasiswa untuk kuliah di Australia. Anita sempat berencana untuk menyusulnya tahun depan. Tapi, Andy berjanji akan rajin menulis surat, Anita tak perlu takut terlupakan. Ketika Andy direpotkan oleh segala birokrasi, Anita yang mengantarnya ke mana-mana, sering pula Anita merelakan Andy menggunakan mobilnya dan Anita mengalah naik kendaraan umum. ”Andy lebih butuh, supaya praktis,” begitu jawabnya, ketika teman-temannya memandang dengan heran melihatnya naik becak.

Sudah tiga bulan Andy di Australia. Suratnya selalu datang dua minggu sekali. Anita senang, Andy tidak melupakannya. Setahun kemudian, Anita berhasil masuk fakultas psikologi di sebuah universitas swasta di Bandung, di sanalah ia bertemu Saras pertama kali, di ruang klinik kampus karena sama-sama pingsan saat orientasi.

Sudah satu tahun Andy di Australia. Tahun ini ia belum bisa pulang. Katanya, ia harus menghemat. Rentang waktu suratnya sudah lebih panjang. Katanya, ia harus menyesuaikan diri, banyak yang harus dikejarnya, supaya tidak drop out. Anita mengerti, bagaimana mungkin ia tidak mendukungnya.

Tahun kedua. Surat Andy berhenti sama sekali. Anita masih menulisinya surat, bertanya-tanya, barangkali Andy sakit atau terkena masalah. Suratnya tidak dikembalikan, tapi juga tak ada balasan. Anita mulai gelisah.

Ketika Anita pulang ke Pekanbaru saat liburan semester tiba, ia berkunjung ke rumah Andy. Ibu Andy terkejut melihatnya. Lalu, ibu Andy menangis. Anita heran, dan merasa jantungnya sudah jatuh ke perut, takut kalau-kalau Andy sudah meninggal dan tak ada yang berusaha memberi tahunya.

“Maafkan anak ibu, Nita. Kami tidak ingin kau sedih,” kata ibu Andy.

“Ada apa sebenarnya, Tante?”

“Ah, rupanya dia tak berani memberi tahumu. Andy drop out dari kuliahnya. Ia harus bekerja di Australia sekarang,” lanjut ibunya.

“Kenapa?” Anita tergagap, berdiri menegang, “Andy dapat beasiswa, ia pandai, tidak mungkin….”

“Andy,” ibunya menelan ludah, “menghamili pacarnya. Ia harus mencari uang untuk biaya persalinan.”

“Pacar? Pacar yang mana?” Andy mengkhianatinya?

“Ia bilang kau cuma adik baginya. Aku beberapa kali melihatnya membawa gadis lain, pakai mobilmu, Nita,” sambung Rima, adik Andy, sambil memandang takut-takut. “Yang hamil gadis itu. Ia menyusul Andy ke sana.”
Itulah kekeliruannya mencintai pria yang salah, yang pertama.


Penullis: Dela Tan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?