Fiction
Hitam Merah Cinta [10]

22 May 2012

<< cerita sebelumnya

Secercah sinar matahari muncul malu-malu. Dara melihat sosok Anita di pantai. Dengan cepat ia berpaling, mencari bantuan. Hari masih sangat dini, belum banyak orang keluar di hawa dingin seperti ini. Hampir putus asa, Dara berlari mendekat, dan tercekat. Di pantai itu ada seorang pria asing setengah tua, bertubuh gempal, dengan mulut ternganga dan wajah penuh tanda tanya. Mirip Duncan. Di hadapannya, Anita sedang membuka baju mandinya, padahal di balik itu ia tidak mengenakan apa-apa.

Dara menubruk dan memeluk Anita, sambil menangis.

“Help… help me. She is not healthy.”

Pria itu malah hendak berlari menjauh. Namun, ketika dilihatnya Dara kerepotan ia mengurungkan niatnya.

“Ia bukan Duncan, Nit. Duncan sudah pergi, sadarlah. Kamu harus kuat, Nit. Kamu harus kuat,” Dara terus memeluk sahabatnya, sambil menangis. Tak lama, Saras, Fiona, dan Bart muncul. Mereka lalu membopong Anita, membawanya ke rumah sakit terdekat. Anita diberi obat penenang.

Mereka mempersingkat acara pik­nik sandiwara mereka, kembali ke Jakarta siang itu juga. Anita dibawa dalam keadaan masih setengah sadar. Sepanjang perjalanan, tak satu pun yang membuka pembicaraan. Mereka tahu telah gagal. Dara paling terpukul.

Sesampainya di Jakarta, mereka ham­pir tak sanggup memandang ibu Anita. Tapi, ibunya terlihat sangat tegar. “Tante sudah pasrah. Kita hanya berusaha, tak ada yang menjamin pasti berhasil atau pasti gagal. Terima kasih sudah menjadi sahabat Anita.”

Hati semuanya kian hancur, dan mereka semua menangis tanpa suara. Tanda kepedihan dan sakit hati yang sangat dalam.

Mereka kembali ke apartemen Dara, sambil membisu. Mereka berbenah, bergiliran mandi, lalu naik ke tempat tidur, ingin melupakan semua yang terjadi, setidaknya untuk malam ini.

Dara mandi terakhir, dan belum ke­luar sampai sekarang. Para sahabatnya belum tahu kepulangannya saat ini bukan hanya untuk ikut berperan dalam sandiwara kehidupan Anita, tapi untuk selamanya. Keputusan yang diambil karena hal-hal buruk yang telah menimpanya. Ia hampir tak kuat menanggungnya sendiri, ia ingin berbagi.

Saras masih belum bisa masuk ke alam mimpi. Semula ia berharap, kepulangannya bisa memberi jawaban bagi persoalannya. Tapi, apa yang dilihatnya di hadapan matanya, membuat nyalinya menciut sampai hampir tak berbentuk.

Di kamar mandi, Dara melamun di bathtub. Kisah hidupnya berlalu cepat di pelupuk matanya, seolah sebuah film dokumenter hitam putih yang suram diputar cepat di hadapannya. Ayahnya mencacah meja judi ibunya dengan pisau daging, kemudian mencekiknya sampai mati. Ibunya tergeletak tak bernyawa dengan mulut berbuih dan mata mendelik. Ia berdiri di altar gereja menggenggam mawar hitam, seluruh kursi terisi orang-orang yang menangis dan menertawakannya. Kimura san menggumuli tubuhnya, dan ia berlalu meninggalkannya dengan tubuh berbalut ribuan dolar.

Kepalanya terasa sangat sakit, seolah ribuan palu menggodam tempurungnya. Hatinya bagai ditindih berton-ton batu. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah, ia ingin menjerit, menangis. Kekosongan menyiksa hatinya. Ia bangkit dari bathtub, mencari-cari sesuatu di laci, di bawah wastafel. Ia menemukan pena dan kertas bekas yang biasa dipakai untuk membungkus pembalut. Dara kembali masuk ke bathtub, dan mulai mencoret-coret.

Mata Fiona mulai berat. Diliriknya jam di dinding. Sudah hampir dua jam, Dara masih juga belum selesai mandi. Fiona bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Mengetuk pintunya dan memanggil Dara. Tidak ada jawaban. Diketuknya lebih keras, sambil menempelkan telinganya ke daun pintu. Suara air keran masih terdengar.

“Dara, jawab, dong. Jangan bikin aku khawatir.”

Saras menghampirinya, ia mendengar gedoran Fiona. “Ada apa?”

“Sar, Dara belum keluar juga. Ia sudah dua jam di dalam.”

Saras memanggil Bart, yang langsung mendobrak pintu. Ketika terbuka, Saras memekik. Di dalam bak mandi, Dara tergolek, mata terpejam, kedua tangannya terkoyak, urat nadinya terbuka lebar.

Bart memungut secarik kertas di lantai yang basah terkena air bernoda darah. Ketiga orang itu mematung, membaca puisi yang jelas berisi kerinduan, kepedihan, kepahitan, sepi, dan putus asa. Bart tiba-tiba tersadar, lalu mengangkat tubuh Dara keluar bak mandi, Saras menyelimutinya, Fiona bergegas mengambil kunci mobil, dan membawa Dara ke rumah sakit .

Dokter mengizinkan mereka menjenguk Dara keesokan harinya. Setelah hampir dua hari dua malam mata mereka tidak terpicing, tadi malam semua tertidur, seolah tak ingin terbangun lagi. Takut menghadapi kehidupan yang tak tentu arah.

Ketika Saras dan Fiona masuk ke ruang rawat inap, Dara memalingkan wajah, menyembunyikan air mata.

“Kenapa kalian selamatkan aku?” tanyanya, lirih.

Hati Saras berkecamuk dalam segala rasa, ingin memeluk Dara dan mendamaikannya. Tapi, ia menghampiri Dara dan menamparnya.

“Saras!” Fiona terkejut.

“Bagaimana mungkin kamu bicara seperti itu! Hidupmu terlalu berharga untuk disia-siakan,” suara Saras terbata-bata menahan tangis, air mata mengaburkan pandangannya. “Maafkanlah dirimu sendiri, dan semua orang yang kamu pikir sudah menyakitimu. Sampai kapan kamu akan lari dari kenyataan, dan terus menyalahkan keadaan?”

“Kalian tidak tahu hidupku.”

“Kamu pikir kamu tahu hidupku? Kamu tidak tahu kenapa aku nekat tinggal bersama Bart. Karena, Om Denis melecehkanku! Dia menciumku dengan nafsu seorang pria terhadap wanita,” kata Sarah.

Fiona menggenggam tangan Saras, ikut menangis. “Aku ingin membagi pengalaman pahitku, karena takut tak punya waktu lagi.”

“Apa maksudmu?”

Fiona tersenyum sedih. “Aku sakit. Sangat sakit. Aku mengidap kanker mulut rahim, stadium 2. Hidupku tak lama lagi. Itu sebabnya aku pulang. Kepulanganku kali ini bukan hanya untuk membantu menyadarkan Anita, tapi selamanya. Aku ingin mati di dekat keluargaku.”

Saras menutup mulutnya dengan telapak tangan dan kehilangan kata-kata. Dara menatapnya tak percaya.
“Itu belum apa-apa. Ketika aku memutuskan bertunangan dengan Bonar, hidupku berubah jadi neraka. Dia hanya ingin mendapatkan tubuhku.”

Pandangan Fiona menerawang. “Suatu malam, ia memerkosaku.” Saras dan Dara tercekat. “Jadi, kamu lihat Dara, hidupmu jauh lebih berharga dari kami. Hanya karena pernah gagal menikah, bukan berarti dunia jungkir balik buatmu.”

Dara terdiam. Matanya menatap langit-langit kamar. Bibirnya bergetar, ingin mengatakan sesuatu. “Kalian tidak tahu hidupku. Apa yang kalian lihat hanya permukaan yang indah. Kalian tidak tahu yang terkubur di bawahnya, banyak sampah busuk penuh belatung. Itulah mengapa aku ingin mati.”

FIONA
Menyaksikan penderitaan para sahabat, telah menampar hati Fiona sedemikian keras. Ia teringat kebiasaan-kebiasaan lama yang tak pernah lagi dilakukannya, karena sibuk mencari kepuasan batinnya sendiri. Ia harus kembali berbuat sesuatu. Jika keegoisan diri memuaskan keinginan sendiri tak bisa memenuhi dahaga batinnya, membahagiakan orang lain akan mengisi kerinduannya.

Fiona tertidur dan bermimpi.

Keesokan hari, bagai mendapat terang dari langit, Fiona memutuskan pergi ke Timika. Ia ingin membaktikan dirinya untuk orang-orang ‘terbuang’, yang masih diasingkan dan dianggap hina. Ya, ia ingin bergabung dengan para penderita AIDS di Timika.

SARAS
Saras memandang Bart. Ia yakin telah hamil, sedangkan ia tahu Bart tak terlalu menginginkan anak, dan sampai saat ini belum membicarakan pernikahan resmi. Inilah dilemanya. Apa yang akan dikatakannya agar Bart sadar bahwa ia tak mungkin punya anak tanpa suami. Akhirnya, ia membuka mulut.

“Bart, kamu lihat yang terjadi pada sahabat-sahabatku.”

“Menyedihkan. Tapi, itu tak akan terjadi pada kita,” kata Bart.

“Jangan pernah memastikan sesuatu. Menikahiku saja kamu tak mau. Kalau kita punya anak, anak kita tidak punya status. Di Indonesia, dia hanya akan menjadi anakku, tidak ada pertalian hukum dengan ayahnya. Dia akan disebut anak di luar nikah.”

Bart menatapnya dengan sorot mata menyelidik. “Kenapa kamu tiba-tiba bicara anak? Jangan bilang kalau kamu….”

Saras menatap Bart, tepat di kedua pupil matanya. “Ya. Sudah dua bulan aku terlambat. Jika kamu tak mau menerimanya, aku akan tetap di Indonesia dan kamu harus pulang ke Belanda sendiri.”

Bart terbelalak. “Apa kamu gila? Aku tidak bisa kehilangan kamu! Apalagi, sekarang ada Saras kecil. Tidak ada tawar-menawar. Aku akan minta izin pada ibumu untuk menikahi kamu.”

Mata Saras berkaca-kaca. Suaranya hampir hilang karena haru.

DARA
Dara masih ragu akan apa yang hendak dilakukannya. Ia sadar akan hidupnya yang kosong. Bergelimang harta yang diperolehnya dengan cara kotor, memang berhasil menghapus masa lalunya yang miskin dan penuh kekurangan, tapi tak memperkaya hatinya.

Ketika dokter membolehkannya pulang, Dara mulai menimbang untuk membenahi kesehatan rohaninya. Ia harus bebenah, sudah lama ia tak berkomunikasi dengan Tuhan. Langkah pertama: ia harus mengundurkan diri dari pekerjaan yang telah menambah tebal kepahitan hatinya, mengganti nomor telepon selulernya.

Apakah ia akan berbagi rahasia kelamnya dengan sahabat? Dara memutuskan, ada hal yang harus dibiarkan terkubur. Masa lalu dan rahasia gelapnya akan tetap tertimbun di dasar hatinya.
(Tamat)

Penulis: Dela Tan



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?