Fiction
Hikayat Negeri Terapung [1]

12 Jul 2013



Penduduk Kampung Terapung mendadak begitu kompak, sampai-sampai mereka bersama-sama menjual ayam, menjual persediaan beras, bahkan menggadaikan pukat, satu-satunya barang berharga bagi nelayan. 

Pemandangan itu sungguh menggelikan, pasar unggas mereka singgahi untuk menjual ayam, penjual beras mereka paksa untuk membeli beras, sampai yang paling menyedihkan, menggadaikan pukat ke sesama nelayan. Seperti menabur garam di laut, tentu saja hanya penolakan yang mereka terima, namun dengan jurus mengiba-iba dan sedikit rayu-merayu, terjual juga dagangan dadakan itu. 

Semua orang tiba-tiba mendadak jadi pedagang, sedangkan pekerjaan mereka sebenarnya nelayan. Kampung itu sedang kasak-kusuk, ada berita terbaru yang membuat penasaran.

Semua keganjilan itu dimulai sejak Hasanuddin pulang dari kota. Penampilan laki-laki itu berubah total. Semula ia adalah pria paling miskin dan menyedihkan di kampung itu. Bajunya hanya dua lembar, satu untuk melaut, satu lagi ia pakai untuk beribadah, bahkan ia hanya memiliki satu kain sarung. Kulit hitam legam, keriput, memenuhi tubuh. Kepalanya seperti landasan pesawat terbang, licin dan mengilap. Ia rajin menggosokkan minyak kelapa ke kepalanya, berharap rambutnya kembali tumbuh seperti sediakala. Namun, tak satu helai pun rambut itu tumbuh. Tiba-tiba saja lelaki itu menghilang dari kampung. Kabarnya, ia mengunjungi kerabatnya di kota. 

Suatu pagi, udara sejuk masih menyelimuti gampong (1), orang-orang sedang menikmati kopi di warung sudut kampung, anak-anak sedang bersiap berangkat ke sekolah. Ibu-ibu sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga, Hasanuddin dengan penampilan parlente menyentak pagi nan syahdu. 

Pria itu berhenti di depan warung. Mulanya tidak ada yang menggubris, sampai akhirnya mereka menyadari kalau laki-laki yang memakai kemeja biru, celana hitam mengilap, dan berkacamata hitam itu adalah Hasanuddin. Mulut-mulut menganga, beberapa cangkir kopi sampai terjatuh.  Tiba-tiba pria itu pulang dengan penampilan mencengangkan. Bukan  itu saja, penampilannya juga sama menggemparkan dengan kabar yang dibawa. 

Selidik punya selidik, ternyata kekayaan yang diperoleh Hasanuddin berawal dari pertemuan dengan saudara jauhnya di kampung sebelah. Hasanuddin heran dengan perubahan yang terjadi pada saudaranya. Keluarga miskin itu tiba-tiba mampu membeli beberapa ekor kambing dan merenovasi rumah yang hampir roboh. Tanpa diminta, saudara jauhnya bercerita bahwa rezeki itu dari hasil menjual ayam satu-satunya. 

“Ayam itu hanya perantara,” ujar Ibrahim, saudara jauh Hasanuddin.
“Kamu main dukun, ya?” selidik Hasanuddin.
“Hush, itu syirik, dilarang agama, bukan begitu. Jadi ceritanya, saya mendengar kabar kalau korban konflik seperti kita mendapatkan bantuan. Saya cari tahu syarat-syaratnya, lalu saya urus semuanya, walaupun harus menjual satu-satunya ayam milik saya, dan banting tulang untuk mendapatkan uang untuk memuluskan bantuan itu. Akhirnya kamu lihat hasilnya,” ujar Ibrahim, bangga.
Ibrahim yang murah hati itu pun membeberkan persyaratan untuk mendapatkan bantuan. “Intinya hanya satu, kamu harus buat proposal,” ujarnya.

Kening Hasanuddin langsung berlipat dua puluh, bingung dengan kata proposal yang seumur hidup baru dia dengar. Keesokan harinya, dengan ditemani Ibrahim sekaligus meminjam uang kepadanya, Hasanuddin mengurus proposal itu di kota. Setelah menunggu berbulan-bulan, akhirnya proposal itu cair. Hal pertama yang dilakukan adalah membayar  utang pada Ibrahim, lalu membeli sepeda motor bekas buatan Jepang, membeli beberapa helai pakaian dan kembali ke Kampung Terapung. 

Setelah kepulangan Hasanuddin dan kisah proposal, penduduk Terapung kini terjangkit virus proposal. Bagaimana tidak,  tiap menit, bahkan  tiap detik, yang dipikirkan dan dibicarakan adalah proposal.  Mereka disibukkan dengan proposal. Tiap detik, di warung kopi, yang dibicarakan adalah proposal. Di rumah, mereka juga membincangkan proposal. Di laut, lagi-lagi   proposal juga yang dibahas. Penduduk kampung yang sebagian tidak bisa baca-tulis itu telah berubah sok intelek, membicarakan hal-hal yang sebenarnya mereka tidak mengerti.

 Seminggu telah berlalu sejak Hasanuddin membawa ‘virus’ proposal. Namun, virus itu belum sampai ke telinga Ramlah. Perempuan itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

*****  
Ramlah tinggal di Desa Terapung di tepi laut. Dinamakan begitu, karena semua rumah di desa itu berbentuk rumah panggung dan jika sedang pasang, air laut menggenangi kampung kecil itu sehingga rumah-rumah panggung terlihat seperti terapung.
Langkah Ramlah meninggalkan getaran dan sedikit goyangan di lorong papan. Tubuh gempalnya memang sering membuat rumah mereka berguncang, jika ia berjalan tergesa-gesa. 

Rumah-rumah panggung dibangun dengan kayu-kayu yang telah lapuk dimakan usia. Kayu penyangganya mengingatkan pada kaki keriput perempuan renta. Kurus, gelap, dan rapuh. Warnanya senada, abu-abu tua. atapnya seng berkarat. Jarak yang terlalu dekat dengan laut membuat atap seng  makin cepat berkarat. Namun, apa daya, penghuninya hanya bisa pasrah menerima. Guratan karat memenuhi atap rumah mereka tanpa mampu mengganti dengan yang baru. 

Ratusan rumah yang dihubungkan dengan lorong-lorong kayu itu sebagian besar telah rapuh. Bahkan, anak-anak bertelanjang kaki yang baru saja melintas harus melompat-lompat menghindari lubang menganga.

Rumah panggung itu memunggungi laut. Rumah Ramlah letaknya paling dekat dengan lidah ombak. Jika sedang pasang dan ombak bernafsu menjilati rumahnya, ia harus rela dapur rumahnya terendam air asin. Kadang-kadang laut itu seperti sedang pilek hebat, selalu bersin keras jika angin bertiup dengan semburan air.

Bau amis laut, bau keringat, ikan busuk, parfum murahan, seduhan mi instan, ludahan sirih, menyatu membentuk aroma kehidupan di Kampung Terapung. 

Lubang-lubang di lorong samping rumah Ramlah paling parah. Lorong dengan lebar satu meter, namun panjang patahannya hingga 10 meter, terpaksa jika ada yang ingin ke lorong lain, mereka melintasi rumah Ramlah. Dengan hati lapang Ramlah mengizinkannya. Terkadang ia kesal juga, kaki-kaki kotor itu menapaki rumahnya dan membuat lelah harus terus-menerus membersihkan rumah petaknya. 

Kini sedang pasang, air naik hingga menutupi kaki-kaki rumah panggung, terkadang masuk ke dapur rumah Ramlah. Bahkan, saat sedang pasang purnama, air menggenangi seisi rumah. Jika begitu, ia akan sibuk bersama kedua anaknya membereskan perabotan mereka yang tidak seberapa ke atas lemari dan tempat tidur di kamar anaknya, karena di kamarnya sendiri hanya beralaskan kasus tipis yang dibentangkan langsung ke lantai papan. 

Jika air sedang surut, kucing-kucing kampung berkeliaran di bawah rumah. Mencari sekerat daging yang memang berserakan di kampung nelayan itu. Kucing di kampung itu gemuk dan sehat, namun bulunya kasar dan kotor. 

Untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan kedua anaknya, Ramlah biasanya turun ke laut, menjala ikan. Hasilnya sebagian ia jual dan sebagian lagi untuk dimakan. Tiga bulan lalu ia juga mengeringkan ikan-ikan hasil tangkapannya. Namun, belakangan ikan tangkapannya berkurang drastis, entah mengapa ikan-ikan itu tidak tersangkut di pukatnya. Dari Tgk. Hasyim, Ramlah mendengar banyak boat besar mengambil ikan menggunakan bom dan menggunakan pukat trawl. 

“Nelayan kecil seperti kita jadi susah mendapatkan ikan, dibom begitu kan rusak lautnya,” keluh Tgk. Hasyim, saat pulang melaut.  Ramlah hanya menanggapi dengan tersenyum, sambil berlalu. 
Semenjak itu, usaha ikan asinnya gulung tikar. Modal yang ia butuhkan untuk membuka kembali usaha itu juga belum terkumpul. Untuk makan sehari-hari kini ia hanya berharap pada upah mencuci di perumahan besar di kompleks perusahaan gas. 

Di sudut kanan, pelabuhan ikan sibuk sepanjang hari, jalanan becek, apalagi musim hujan, bahkan sampai banjir. Airnya menghitam, hasil dari pembusukan ikan-ikan yang berlangsung puluhan tahun. Bahkan, tanah tempat berpijak di tempat pelelangan ikan pun sampai menghitam. Bertahun-tahun terendam air ikan, terkadang bau busuk menyeruak. Ulat-ulat gendut menggeliat di hampir  tiap sudut. 

Pantai Kampung Terapung juga berbeda dengan pantai lain yang terlihat cantik dan bersih. Pantai berpasir hitam ini dipenuhi ikan-ikan membusuk. Kucing-kucing gendut  dan tumpukan ubur-ubur yang terdampar. Tumpukan kenyal bening itu sesekali terinjak kaki telanjang Ramlah dan meninggalkan rasa gatal sampai ia harus menggaruknya dengan sikat. Gatal itu baru berkurang setelah kulit kakinya mengelupas dan memerah.

Namun, anak-anak nelayan  tiap hari bermain di pantai ini. Tidak peduli busuknya pantai itu, mereka menikmati pantai sambil mandi dan bercanda bersama. Beberapa kapal nelayan dengan warna mencolok terlihat terombang-ambing ombak laut yang ganas.
Laut, air, asin, ikan, nelayan, miskin, kumuh, kucing, rumah kayu, bangkai, banjir, pasang, nelayan, tangisan, tatapan nanar ….

*****
Itulah lakon hidup Ramlah  tiap harinya, namun ia itu tidak banyak mengeluh. Tugasnya hanya bertaruh dengan kehidupan. Mengeluh telah terhapus dari hidupnya, tidak sempat, tidak punya waktu. Itu alasan lebih tepatnya.

Subuh buta Ramlah bangun, sambil membangunkan kedua anaknya untuk bersiap ke sekolah. Kedua anak penurut itu bangun tanpa banyak tingkah, setelah menunaikan kewajiban subuhnya berjemaah, mereka bertiga sibuk dengan kegiatan masing-masing. Selagi si bungsu mandi, Ainun membantu ibunya memasak untuk sarapan mereka. Hanya ikan asin dan nasi putih, namun cukup mengganjal perut mereka seharian.

“Jika porsi makanmu  tiap hari memang seperti itu, perutmu akan terbiasa dan seakan menolak makanan dengan porsi lebih besar,” hal itu yang selalu diingatkan Ramlah saat kedua anaknya mengeluh, minta jajan lebih.  Hatinya kelu mengingat dua buah hatinya dengan patuh mengangguk perkataannya.

 Tanpa menunggu kedua anaknya berangkat ke sekolah, Ramlah bersiap dengan   pukat di tangan, selendang menutupi rambutnya, sedangkan tubuhnya dibalut kaus lengan panjang hitam pudar dan celana olahraga warna hijau garis kuning dengan huruf kapital bertuliskan SMP X TERAPUNG. Milik Ainun yang sudah tidak terpakai karena gadis itu sekarang sudah duduk di bangku SMU. 

Ia seret kakinya menuju laut, hari itu lumayan cerah. Beberapa boat terlihat melepas sauh. Boat-boat itu terlihat nyentrik, ada bermacam tulisan di tubuh boat yang dicat dengan warna mencolok, salah satunya “BOATKU HARAPANKU” dengan cat hijau dan badan boat dicat oranye, tiang-tiangnya berwarna biru. Warna-warni itu terombang-ambing di lautan mahaluas. Terlihat seperti kapal mainan di ember raksasa berair keruh. 
****
Pukul 07.00 Ramlah mulai menebar jaringnya. Beberapa menit menunggu, sekuat tenaga ditariknya jala selebar lima meter itu. Bukan pekerjaan mudah, jaring itu memberat tiga kali lipat jika basah, ditambah ikan-ikan yang tersangkut, Ramlah sampai terseret-seret membentuk ceruk di pasir hitam. Akhirnya pergulatan itu ia menangkan. Buru-buru dikumpulkan ikan-ikan yang tersangkut di jaring, hanya beberapa ekor tongkol, selebihnya udang, ikan-ikan kecil, dan sampah. Lalu ia labuhkan kembali jalanya, menebar harapannya melalui benda itu. Mengusir sepi, ia sering berdendang.

“Tarek pukat, alahai e..tajak mita eungkot, engkot jenara”
“Tarek pukat, lam buleun seupot, jak mita eungkot” (2)
Namun, nasib baik belum berpihak kepadanya hari itu. Berkali-kali ia tebar jala, berkali-kali pula ikan dengan lihai menghindar dari jeratnya. Hanya seekor dua ekor yang mungkin sedang sial tersangkut di jala Ramlah, namun itu adalah berkah untuk keluarga kecilnya.
Lelah, pukul 10.00 Ramlah menyerah, ia kembali ke rumah. Sedangkan penabur jala lain yang semuanya laki-laki masih mencoba peruntungan mereka hari itu.  Peluh membasahi seluruh tubuhnya, nyaris seperti mandi keringat. Tangan kanan menjinjing ikan dalam ember hitam dan tangan kiri memegang ujung pukat yang ia sampirkan di pundak. Sebelum pulang, sempat ia bertegur sapa dengan rekan kerjanya yang lain. 
“Cepat sekali, Kak.”
“Saya sudah capek, entah ke mana ikan-ikan itu. Tapi, alhamdulillah juga, daripada tidak ada sama sekali,” jawabnya, sambil berlalu. 
Kakinya melangkah gontai ke tempat pelelangan ikan, muge sudah menunggunya sejak tadi. 
“Hari ini hanya segini ikan yang terjaring, Bang,” ujar Ramlah, sambil menunjukkan isi timba hitamnya. 
“Biar saya timbang dulu,” jawab laki-laki berkumis baplang itu. Kulitnya hitam terbakar matahari, namun senyumnya tulus bersahabat.
“Ini cuma sekilo, Kak. Harga ikan hari ini Rp30.000 per kilo,” sahutnya, sambil menunjuk ke timbangan.
“Lumayan, Alhamdulillah. Biasanya tiga kilo tiga puluh ribu,” jawab Ramlah, dengan mata berbinar.
“Memang hari ini sedang mahal, Kak.  Ombak tinggi sekali, ikan juga sepertinya  makin sedikit di laut,” ujarnya, sambil terbahak. 
“Oh, ya, Kak, minggu depan kita ada khanduri laot (3), ya.”
“Ya, ya. Hampir lupa kalau tidak kamu ingatkan. Terima kasih,” ucap Ramlah.
Khanduri laot  sudah dilakukan beratus tahun di tiap desa nelayan di Aceh. Panglima laot  (4) bertugas mempertahankan keamanan di laut, mengatur pengelolaan sumber daya alam di laut, mengatur pengelolaan lingkungan laut, mengatur tata cara penangkapan ikan di laut  dan hak-hak persekutuan di dalam teritorial diatur dalam hukum adat.

Saat khanduri laot digelar, orang-orang berkumpul di pinggir laut. Makanan telah dipersiapkan. Gulai kari, gulai pliek, asam keueng, telur asin, nasi, rendang, kerupuk mulieng. Makanan dan sedekah untuk anak yatim juga disiapkan. sebagai wujud syukur atas rezeki yang diperoleh dari laut. 

Khanduri tersebut juga menjadi media bagi panglima laot untuk melakukan kunjungan dan bersilaturahmi. Mengetahui seluk-beluk adat laut di wilayah Panglima Laot lain. Momen ini nantinya akan sangat membantu panglima laot saat menyelesaikan sengketa antarnelayan dari wilayah adat laut yang berbeda.

Kesempatan itu terlaksana dengan banyaknya tokoh masyarakat yang hadir bersama nelayan yang  tiap hari menghabiskan sebagian besar waktu di laut. Dengan pola tersebut, mereka memiliki satu hari khusus untuk duduk berkumpul dan membicarakan nasib mereka.

Melalui panglima laot pula kebijakan tidak melaut pada hari Jumat bisa sampai ke seluruh nelayan dan memanfaatkan hari Jumat itu sebagai hari ramah lingkungan. Kalau dihitung-hitung, di Aceh dalam sebulan empat hari tidak melaut. Kalau satu hari itu ada ribuan ekor yang tidak tertangkap dan ikan-ikan itu bertelur, kekayaan laut pun tetap terjaga. Jika ada yang melanggar hari pantangan melaut, maka sanksinya hasil tangkapan disita dan boat-nya ditahan panglima laot setempat selama tujuh hari.
Pada momen pidato dari pemuka agama, biasanya disisipkan penjelasan kedudukan khanduri laot sambil menyisipkan nilai ketauhidan. Agar pada praktiknya tidak melenceng dari nilai Islam. 

Di masa lampau, sebelum Islam masuk ke  tiap sendi kehidupan, praktik khanduri laot masih bertujuan menghormati penjaga laut. Saat itu ketika kerbau hendak disembelih, hewan tersebut dilepas dan dikejar sambil disayat-sayat. Kini ritual tadi diganti dengan membuang kepala dan isi perut kerbau yang dibungkus kulit ke tengah laut, sekitar dua mil dari pantai.

Sejak itu ucapan terima kasih kepada penjaga laut berubah jadi rasa terima kasih kepada Allah. Dan diisyaratkan sebagai adat laut dari nenek moyang yang harus terus dilestarikan. 

Beberapa waktu yang lalu, berdasarkan keputusan panglima laot se-Aceh, upacara membuang kepala kerbau tidak dibolehkan lagi. Hal itu merujuk pada penerapan syariat Islam di Aceh. Khanduri cukup dengan doa bersama. Keputusan rapat tersebut tidak tertulis. Andai kepala kerbau masih dibuang ke laut, maka itu bukan lagi sebuah persembahan. Hanya sekadar nilai budaya yang dilestarikan dari sisi pariwisata dan budaya.

Khanduri laot pada awalnya untuk membangun potensi masyarakat. Acara  tersebut dianggap sebagai sarana untuk memanggil orang agar berkumpul. Lewat makan bersama, akan lebih mudah menyampaikan sesuatu dan melakukan pendekatan sosial.
Mengenai melepas darah dan kepala kerbau, menurut  Panglima Laot wilayah Ramlah, dulu belum ada alat yang bisa memberitahukan di mana sumber ikan yang banyak. Orang-orang berpikir, bau hanyir sangat sensitif bagi ikan. Oleh karena itu, kepala kerbau dibawa ke laut, dilepas. Darahnya dibawa air, kemudian ikan membauinya. Ketika khanduri laot tidak diadakan dan ikan sedikit, maka orang pun langsung berpikir hal tersebut disebabkan karena ketiadaan khanduri laot.
Ramlah tahu banyak tentang adat itu, karena sang suami, dulunya seorang panglima laot. 

  1.   Kampung
  2.   Syair Tarek Pukat (Tarik pukat/Menjala) 
  3.   Pesta Laut 
  4.   Panglima Laut
                                                                      


                                                           *****
Mellyan Cutkeumala Nyakman
Pemenang II Sayembara Cerber Femina 2013


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?