KPK juga telah mengusulkan pada pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengatur transaksi tunai di atas Rp500 juta harus melalui sistem bank. Selain itu, dibutuhkan sosialisasi juga pada masyarakat agar mereka turut peduli dan ada komitmen bersama dalam memerangi tindak kejahatan keuangan. Johan juga berharap pemerintah bisa mengesahkan UU Pembuktian Terbalik yang bisa memberikan keleluasaan pada KPK untuk mengusut orang yang memiliki kekayaan berlebihan sehingga patut dicurigai.
Benarkah urusan money laundering hanya menjadi pekerjaan KPK saja? Yang jelas, diperlukan komitmen dari seluruh masyarakat untuk memerangi tindak kejahatan yang satu ini. Jangan salah, orang awam pun bisa terseret dalam pusaran uang panas. Meskipun bisa saja kita menyanggah dan mengaku tidak tahu-menahu tentang asal uang hasil pemberian. Menurut Dr. Yenti Garnasih, SH, MH. Pakar Pencucian Uang dan Ketua Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta., siapa pun yang menerima uang dari sumber yang mencurigakan, bisa dikenai hukuman.
Pasal 3 UU No. 8/ 2010 menyatakan: Pelaku money laundering adalah orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Simak juga di bagian Pasal 4: Hukuman dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang. Mereka yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Menurut Yenti, kata ‘patut menduga’ dalam undang-undang itu tidak selalu harus dilakukan oleh si tersangka, tapi ditentukan oleh penyidik dan akhirnya nanti hakim yang menentukan.
Keluarga dan kerabat koruptor juga termasuk dalam kelompok orang-orang yang rentan dijadikan alat pencucian. “Para pelaku korupsi cenderung akan melakukan tindak pencucian uang untuk menghapus jejak dan biasanya mereka memanfaatkan orang-orang terdekat seperti keluarga dan kerabat,” kata Yenti. Itu sebabnya, harus dilakukan penelusuran lebih lanjut pada keluarga dan kerabat koruptor oleh penegak hukum karena bukan tak mungkin mereka juga terlibat.
Yenti mencontohkan kasus pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Nusakambangan, Marwan Adli. Ia berusaha menyembunyikan uang hasil transaksi narkotika dalam rekening kedua anak dan seorang cucunya. Begitu juga dengan Malinda Dee, pelaku penggelapan dana nasabah Citibank senilai Rp17 miliar. Suaminya, Andhika Gumilang, turut menikmati hasil kejahatan yang dilakukannya.
Menurut Yenti, para wanita dan keluarga koruptor itu hampir sama posisinya seperti penadah hasil kejahatan dan mereka terancam dijerat Pasal 5 UU No. 8/2010, yang menyatakan, Tiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang.
erlaku untuk semua orang, Yenti menyarankan untuk berhati-hati menerima pemberian, baik dalam bentuk hibah, sumbangan, pinjaman modal usaha, titipan atau meminjamkan nama kita untuk membuka rekening dan pembelian properti dari orang-orang yang tidak jelas.
“Mendapat hadiah mahal dari seseorang? Cek dulu sumbernya. Jangan mau juga dititipi uang atau diberi modal usaha cuma-cuma. Mana ada yang gratis, sih, di dunia ini. Bukan apa-apa, apabila ketahuan, bukan hanya malu dan harus menjadi saksi, tapi semua pemberian itu akan disita oleh yang berwenang. Belum lagi, kita pun bisa terancam jerat hukum,” Yenti mengingatkan.
Bayangkan jika pemberian itu sudah habis terpakai, bagaimana bisa mengembalikannya? Jadi, Yenti memberi saran, ada baiknya kita mengecek dulu latar belakang orang itu. Hal ini juga berlaku jika kita sebagai wirausaha untuk produk yang bernilai mahal, atau sedang bertransaksi dengan konsumen, jual beli rumah, misalnya.
“Jika hendak bertransaksi dengan nilai uang yang besar atau untuk pembayaran barang atau jasa Anda, selalu lakukan klarifikasi asal dana, cek pekerjaan orang itu apa, alamat domisilinya, tanyakan asal dana dari mana, kalau perlu minta slip gajinya. Dari situ, bisa dikira-kira apakah memang ia pantas memiliki harta sebanyak itu. “Jika tak sesuai dan orang tersebut tidak dapat menjelaskan, lebih baik ditolak saja. Sebab, jika ketahuan, rugi kan, uang dan barang bisa disita, Anda pun harus berhadapan dengan proses hukum,” jelas Yenti.