Fiction
Gaudeamus Igitur [4]

24 Nov 2013


<<<<<Kisah Sebelumnya

Kisah sebelumnya:
Menjadi kepala program akuntansi, Kintan –seorang dosen muda- menghadapi banyak tantangan. Salah satunya, dia harus bisa mendapatkan Prof. Adibrata yang sudah pensiun untuk kembali mengajar agar prodi kampusnya lolos akreditasi. Sayang, Prof. Adibrata bukan sosok yang mudah ditaklukkan. Ketika Prof. Adibrata resmi menjadi dosen, Kintan harus sering menjadi kroban kekasarannya.

Kintan secara terang-terangan membuka permasalahan itu di depan para dosen pengampu prodi akuntansi ketika rapat khusus prodi. Pro dan kontra melejit dalam rapat. Sebagian besar dosen usia lanjut merasa keberatan kalau harus turut serta dalam kancah perjuangan mengejar teknologi.
“Anda masih muda,  Bu Kintan.  Anda tidak merasakan yang namanya tangan gemetaran dalam mengetik di keyboard komputer,” sanggah salah seorang dosen berusia lanjut. Kintan menghela napas.
“Bapak Ibu tidak perlu  tiap saat mengajar memakai komputer. Saya hanya mengharapkan dalam laboratorium terutama untuk akuntansi sudah menggunakan sistem yang kami telah sediakan,” ujar Kintan. Ruangan menjadi riuh.
Sang Professor duduk tenang bagaikan api di barisan paling belakang. Kintan tidak ingin membuka pertengkaran dengannya, karena sejak pagi wajahnya sudah tidak bersahabat.
“Interupsi Kaprodi,” tiba-tiba sosok dingin itu mengangkat tangan. Matanya menatap tajam ke arah Kintan. Kintan mempersilakan Adibrata untuk bicara, dan seperti ada yang menyetop saklar musik, semua dengung gumaman para dosen berhenti seketika.
“Saya ingin mengajukan pemikiran saya dalam menyikapi permasalahan teknologi ini. Bapak dan Ibu dosen yang saya hormati, saya rasa tidak ada salahnya jika Bapak dan Ibu mencoba untuk membiasakan diri menggunakan fasilitas teknologi untuk mengajar. Memang pasti sulit untuk seusia kita-kita ini. Kita lebih dalam beberapa hal dari anak-anak muda, namun kita juga kurang dalam banyak hal dengan mereka. Mari sekarang kita sisihkan egoisme dan harga diri. Kita coba bantu ketua program untuk mengembangkan prodi,” suara Adibrata yang tenang memecah kesunyian.
Kintan sama sekali tidak menyangka bahwa Adibrata akan sejalan dengannya dalam hal ini, sementara dirinya sendiri tidak terlalu mumpuni dalam penguasaan teknologi.

                    ***
Tidak mudah menyiapkan akreditasi program studi. Banyak hal yang harus disepakati bersama agar memperkuat penilaian dari asesor. Rapat demi rapat dijalani oleh Kintan. Belum lagi permasalahan dalam kegiatan sehari-hari di perkuliahan yang tetap harus diselesaikan oleh Kintan. Hal ini membuatnya sering merasa frustrasi dan tiba-tiba meledak marah, meskipun telah diimbangi dengan frekuensi menonton bioskop  yang  makin sering.
Siang itu Kintan mendapati dirinya kembali bertengkar dengan Adibrata karena permasalahan modul laboratorium. Seperti biasa, Adibrata mencemooh modul yang telah susah payah disusunnya.
“Saya tidak akan memberikan modul sepayah itu kepada mahasiswa untuk dikerjakan. Sebagai ketua program studi seharusnya Anda   tahu apa saja yang dibutuhkan mahasiswa!  Mahasiswa Pengantar Akuntansi I harus bisa mengerjakan laporan keuangan sampai ke perusahaan manufaktur,” Adibrata mengibaskan modul lab di depan hidung Kintan.
         “Bapak, Pengantar Akuntansi I cukup sampai laporan keuangan perusahaan dagang saja, untuk perusahaan manufaktur nanti akan disambung di Pengantar Akuntansi II. Kami memang masih akan merevisi modul itu karena direncanakan Pengantar Akuntansi I akan menggunakan software akuntansi juga seperti Pengantar Akuntansi II,”  Kintan menjelaskan sampai terengah-engah, karena Adibrata masih saja menggerutu tentang ketidakbecusan Kintan dalam menyusun SAP untuk mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya.
         “Profesor, jalankan saja modul itu!. Itu perintah saya, ketua program studi, kepada dosen!” Kintan tak tahan lagi untuk terus-menerus menjadi pihak yang disudutkan. Adibrata terdiam seketika, menatap Kintan dengan terkejut. Tak lama wajahnya berubah kembali dingin dan mengangkat dagu dengan angkuh.
    
                    *****
Penilaian akreditasi adalah hal yang berat bagi program studi mana pun. Semua program studi pasti menginginkan nilai akreditasi yang baik agar bisa tetap bertahan dan dipercaya oleh masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Karena banyaknya komponen penilaian tetap saja meski telah dipersiapkan, Kintan masih saja merasa ada yang kurang. Namun, ketidaksiapan Kintan tidak akan membatalkan penilaian. Asesor penilai tetap akan datang besok pagi. Dekan telah memastikan agar para struktural dan karyawan bekerja sebaik mungkin di bidangnya masing-masing, baik program studi, akademik, keuangan, perkuliahan, perpustakaan, laboratorium, dosen koordinator beserta persiapan ruangan dosen, sampai ke ruang kegiatan mahasiswa, klinik dan juga toilet.
Kintan sangat gugup, ia bahkan tidak sanggup lagi menelan makanan yang ada di hadapannya malam itu ketika Ario mengajaknya keluar makan malam. Ario,  entah bagaimana  makin sering dekat dengannya. Meski ia tidak selalu datang, pria itu tak pernah absen berkomunikasi dengannya.
 
     “Akung akan membantumu. Besok dia akan menjadi salah satu dalam jajaran dosen yang diwawancara langsung oleh asesor, ‘kan?”  kata  Ario.  Kintan mengangguk. Memang, Prof. Adibrata akan diwawancara langsung oleh asesor karena dia memiliki jenjang kepangkatan tertinggi di program studinya.
Kintan pun yakin, asesor penasaran sekali ingin bertemu dengan Adibrata yang terkenal dan akan memberikan penilaian yang berbeda dengan segudang pengalaman serta penghargaan yang pernah diperoleh Adibrata. Namun, tetap saja  Kintan tidak bisa mengandalkan satu hal itu. Ia tetap harus waspada dan memperoleh penilaian sebaik mungkin dari asesor.
Kedua asesor yang datang ke fakultas keesokan harinya adalah profesor dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Salah satunya terlihat ramah. Yang lainnya, belum masuk ke dalam fakultas saja sudah mengernyitkan dahi. Kintan berusaha tidak memikirkan itu. Dekan dan jajaran struktural terlihat sangat berusaha menyenangkan hati para asesor. Terutama  Kintan.
Wawancara langsung dilakukan oleh asesor kepada para mahasiswa yang telah ditunjuk oleh fakultas. Kintan geli sendiri melihat wajah kelima mahasiswa itu yang pucat, mereka juga sama gugupnya dengan Kintan. Beberapa waktu yang lalu ketika Kintan memberikan pengarahan, mereka spontan  menolak terlibat, takut melakukan kesalahan. Namun Kintan berhasil meyakinkan mereka bahwa program studi membutuhkan pertolongan mereka untuk penilaian akreditasi, dan mereka tidak perlu menjadi orang lain. Cukup menjadi diri sendiri dan menjawab  apa adanya, asal jangan menjatuhkan program studi. Cukup begitu saja.
Setelah wawancara dengan mahasiswa, asesor menjadwalkan wawancara dengan dosen-dosen yang telah dipilih oleh fakultas untuk mewakili dosen lainnya. Ada lima orang dosen. Dua di antaranya adalah senior di fakultas ekonomi, satu dosen junior dan satunya lagi tentu saja Profesor Adibrata. Kintan hanya bisa berdoa dalam hati, agar jawaban para dosen tidak menjatuhkan program studi. Mengarahkan dosen itu lebih sulit daripada mengarahkan mahasiswa, karena mereka memiliki idealisme sendiri, terutama Adibrata.
Wawancara dengan dosen berakhir tepat ketika jam istirahat tiba. Kintan bersama struktural lainnya menemani asesor makan siang sambil mengobrol ringan. Kedua asesor sama sekali tidak membahas apa yang baru mereka dapatkan dari wawancara dengan mahasiswa dan dosen. Mereka cukup profesional menempatkan diri. Namun, Kintan mendapatkan kabar tidak menyenangkan dari Pak Haryadi, salah satu dosen senior program studi yang tadi ikut diwawancara.
“Profesor Adibrata mengatakan bahwa program studi kita masih banyak kekurangan, terutama dalam hal materi pembelajaran dan teknologi. Sehingga dosen merasa cukup kesulitan untuk mengajar. Buku-buku yang tersedia juga belum cukup. Saya gemas juga,  lah yang menilai, kok, jadi dia,” tutur Pak Haryadi.
Jantung Kintan mencelos. Mengapa Adibrata melakukan hal seperti itu?, Bukankah ia telah dipercaya untuk membantu program studi.
Para asesor seharian itu berkeliling melihat dan menilai fasilitas perkuliahan, perpustakaan, mewawancara secara langsung beberapa dosen, karyawan dan mahasiswa. Satu di antaranya masuk ke kelas, ikut kuliah, sambil menilai tentunya. Beberapa kali Kintan terkejut dibuatnya, karena para asesor itu melakukan penilaian terhadap hal-hal yang tidak terpikirkan oleh Kintan. Sore hari pun Kintan turut mengantar para asesor kembali ke hotel dan menemani makan malam bersama struktural lainnya. Esok hari, Kintan bersama sekretarisnya yang akan disidang langsung oleh asesor.
“Gimana penilaian akreditasi hari ini?” tanya Ario, ketika malam itu ia menjemput Kintan di kampus. Ario juga terlihat belum pulang ke rumah.
“Biasa saja,” jawab Kintan singkat. Ia tidak ingin membahas kekecewaannya terhadap Adibrata di depan Ario. Ario menatapnya.
         “Apakah Akung melakukan kesalahan?” tanya Ario tiba-tiba.
         “Ya.”
“Kesalahan apakah itu, kalau aku boleh tahu?”
“Tanya saja sendiri padanya, tanyakan apakah dia loyal kepada program studi atau tidak. Karena aku sungguh kecewa,” jawab Kintan, kesal.
.Ario menyetir dalam diam sampai mereka tiba di rumah kos Kintan.
         “Aku minta maaf atas nama Adibrata, tapi aku yakin ia pasti melakukan yang terbaik karena dia sangat menyukaimu, Kintan.  Aku tahu itu,”  ujar Ario, sebelum Kintan turun dari mobilnya.
“Kita lihat saja nanti hasilnya, aku tidak yakin,” Kintan menjawab sambil lalu. Ia benar-benar kecewa sampai ia harus menahan tangis di depan Ario. Rupanya keputusannya merekrut Adibrata adalah keputusan yang salah. Keputusan anak muda yang selalu salah. Malam itu ia menangis sendirian, menangisi jiwa mudanya yang naif.

                    *****
     Sesuai niat, keesokan harinya Kintan berusaha sekuat tenaga membawa program studinya ke penilaian yang baik di mata asesor. Pertanyaan demi pertanyaan dijawabnya dengan ringkas dan jelas penuh percaya diri. Salah satu asesor sempat menanyakan tentang kesaksian Adibrata sebelumnya.
         “Kami mengakui Pak, kami memang masih banyak sekali kekurangan. Karena itu saya sangat berharap dengan adanya penilaian akreditasi ini dapat membangun program studi untuk lebih baik lagi,” Kintan hanya bisa menjawab seperti itu.
      “Saya salut kepada Bu Kintan, masih sangat muda, mampu mengelola program studi dengan masalah yang kompleks. Belum lagi, Bu Kintan berhasil mengambil hati Profesor Adibrata yang dikenal sangat sulit dihadapi,” salah satu asesor berpendapat.  Kintan hanya tersenyum.
         “Tapi itu benar Bu, Profesor Adibrata mau bergabung dengan program studi yang Ibu kelola merupakan salah satu hal yang menguntungkan program studi. Tidak ada yang bisa meragukan kemampuan beliau dalam bidang ilmu akuntansi. Kehadiran beliau benar-benar membantu program studi,” asesor yang lain menanggapi.
         “Itu benar, Pak. Mudah-mudahan Bapak-Bapak juga bisa membantu program studi ini dengan penilaian yang baik,” jawab Kintan rendah hati.
         Setelah penilaian akreditasi berakhir, separuh beban Kintan terangkat. Meski program studi masih harus menunggu hasil, setidaknya Kintan merasa telah melakukan yang terbaik bagi program studi yang dikelolanya. Aktivitas sehari-hari ia jalani dengan lebih tenang. Namun, tidak dengan Adibrata.
         “Bu Kintan yang terhormat, saya tidak meragukan kecerdasan Anda, namun Anda itu masih muda dan masih harus banyak belajar dari yang sudah berpengalaman,” suatu hari Adibrata kembali berselisih dengan Kintan karena permasalahan penugasan dosen untuk melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di sebuah desa.
          “Profesor, Anda boleh saja lebih tua dari saya. Namun, pengalaman Anda tidak sama banyaknya dengan usia Anda, terutama pengalaman tentang loyalitas dan kesetiaan terhadap tempat Anda bekerja. Anda seharusnya tahu bahwa hidup Anda bergantung pada pekerjaan Anda, jadi jangan menginjak ladang Anda sendiri!”  Kintan menjawab gemetar saking kesalnya.
           Salah satu alis Adibrata terangkat.
         “Maksud Bu Kintan apa? Apa yang menyebabkan sampai saya dituduh tidak loyal terhadap program studi?”
         “Sewaktu wawancara dengan asesor, Anda menjatuhkan program studi.”
         “Program studi ini memang sudah jatuh, saya hanya menjawab apa adanya!. Untuk apa saya membohongi mata kepala asesor yang telah melihatnya langsung. Anda seharusnya introspeksi diri, apakah sudah benar mengelola program studi.”
          “Anda yang seharusnya introspeksi diri!!” jerit Kintan.
         Suasana menjadi sangat ramai di ruangan Kintan. Sehingga Dekan dan Wakil Dekan harus memisahkan kedua orang yang bertikai itu. Dekan menggiring Kintan  menuju ruang dekan, sementara Wakil Dekan berupaya menenangkan Adibrata. Saatnya Kintan berhadapan dengan Dekan, Pak Indra, yang duduk di hadapannya menunggu penjelasan Kintan tentang adu debatnya dengan Adibrata.
         “Beliau itu senior, Bu, biasanya senior, apalagi mantan struktural di perguruan tinggi dengan nama besar, pastinya terselip sifat seperti itu,” ujar Pak Indra memulai karena Kintan diam seribu basa.
                             *****
     Kediaman Kintan tidak mendinginkan Adibrata. Profesor senior itu tidak puas menghadapi Kintan langsung. Ia dengan mudahnya menyebarkan rumor tak menyenangkan tentang kinerja Kintan yang memaksa Kintan untuk menerima kenyataan harus bekerja di lingkungan yang tidak lagi menyenangkan baginya. Tiba-tiba saja banyak karyawan membicarakan hal yang miring tentangnya dan Ario!.
           “Wah, Bu Kintan, kapan nih peresmiannya? Lumayan juga lho menjadi cucu profesor besar, cepat diresmikan, Bu.”
           Gurauan seorang karyawan pagi itu tiba-tiba membuat kepala Kintan berdenyut sakit. Saat itu juga Kintan menutup buku yang sedang dibacanya dan mengonfirmasi undangan interview mengajar di sebuah perguruan tinggi terkemuka yang beberapa waktu belakangan ini ia lamar. Kintan sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan tugasnya dan pindah. Dalam waktu seminggu hasil akreditasinya akan diterima. Setelah hasil itu keluar, Kintan akan mengundurkan diri.
         “Bu Kintan, saya mendengar kabar yang mungkin lebih menggembirakan dari hasil akreditasi. Rupanya anak bodoh itu jatuh cinta padamu,” suatu sore yang lelah, Adibrata sempat-sempatnya menyulut api, datang ke ruangan Kintan. Ketua program studi yang sedang lelah tidak menjawabnya, tetap serius membereskan buku-buku di lemarinya.
         “Saya heran, biasanya tipe wanita yang disenangi Ario berbeda jauh denganmu,”  lanjut  Adibrata.
         “Jadi biasanya Ario suka dengan wanita langsing, berambut lurus berkilau dan berkulit seputih susu,” sela Kintan tersinggung.
          Adibrata tersenyum licik dan menggedikkan bahu.
         “Setidaknya  makin meyakinkan saya  bahwa cucu saya itu benar-benar bodoh.”
         “Maksud Bapak apa?!  Dengar ya, saya tidak ada hubungan khusus dengan Ario. Bapak bisa tanyakan langsung padanya. Dia tidak jatuh cinta pada saya, begitu pula sebaliknya!” Kintan menjawab ketus. Tapi, senyum Adibrata tambah lebar.
          “Anak perempuan jangan terlalu ketus,”  ujarnya sambil lalu.
            Ingin rasanya Kintan melemparkan buku Standar Akuntansi Keuangan yang tebalnya minta ampun itu.

                        ****

         “Aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin  kamu bisa kalah dengan kakek-kakek sehingga kamu ingin mengundurkan diri. Dinginkan kepalamu, Kintan,” Ario berkomentar ketika mereka menghabiskan waktu makan malam bersama di sebuah kedai.  Kintan menggeleng dalam bungkam.
     “Lalu kamu kira di tempat yang baru tidak akan ada orang seperti Akung?” tanya Ario.
          Kintan menatap Ario. “Kamu tahu tidak mereka bicara apa tentang aku gara-gara omongan akung-mu itu?”
        Ario mengangkat bahu mendengar pertanyaan Kintan.
     “Aku adalah anak perempuan yang mengambil kesempatan untuk menjadi cucu seorang profesor besar!. Dengan mendapatkan cucu sang profesor, maka hidupku nyaman. Dengan kata lain, aku ini cewek matre!!” ujar Kintan.
     “Aku tidak peduli kata-kata orang, pun kata-kata Akung. Yang aku peduli aku mencintai anak perempuan cerdas, keras kepala, dan mandiri. Aku tidak perlu yang lainnya,” jawab Ario santai.
     “Manis benar kata-katamu. Bukan kamu yang harus menghadapi ini,” Kintan berdiri dari kursinya, mengambil uang dari dalam tas dan membantingnya di meja membayar makanannya sendiri, lalu berjalan keluar dari kedai itu.
         “Kintan, aku hanya berkata hal yang sebenarnya kurasakan, hei!” Ario mengejarnya. Namun Kintan menepis tangan Ario dan cepat-cepat menyetop taksi. Tidak, ia tidak menangis.
                                                              ****
     Kintan merapikan pakaian dan tataan rambutnya. Dalam hati ia berdoa. Ia sampai di fakultas ekonomi sebuah perguruan tinggi yang berkelas. Untuk menembus wawancara akhir ini ia telah melewati berbagai macam tes, termasuk tes bahasa Inggris.
Tiba-tiba ponselnya bergetar, tertulis layar ponselnya: Kampus. Seseorang meneleponnya dari kampus. Didiamkannya panggilan itu. Hatinya telah demikian beku. Interview berjalan dengan lancar. Pembicaraan selama proses rekrutmen memberikan sinyal positif untuk Kintan karena mereka sudah mengenal Kintan dengan baik dari prestasinya.
         Hiruk pikuk menyambut Kintan di kampus ketika  ia datang keesokan paginya. Kabarnya, Profesor Adibrata tiba-tiba terkena serangan jantung setelah mendengar kabar bahwa Kintan hendak mengundurkan diri. Bahkan, Pak Indra menyampaikan kabar itu langsung dan mengatakan agar Kintan menjenguk profesor itu di rumah sakit.
         “Kenapa kau tidak mengatakan apa-apa tentang Prof. Adibrata?” Kintan menuntut Ario ketika mereka bertemu di lobi rumah sakit.  Wajah Ario terlihat lelah dan pucat.
         “Ponselmu tidak aktif. Akung sangat terkejut mendengar kabar kamu mau mengundurkan diri dan pindah ke perguruan tinggi lain,”  ujar Ario.
         “Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”
         “Stabil. Namun belum bisa lepas dari alat. Ingin bertemu?”
         “Tentu,” pikiran Kintan kusut. Sebenarnya ia belum mengabarkan apa-apa tentang niatnya mengundurkan diri dan pindah. Lagi pula, apa urusan profesor menyebalkan itu akan keputusan hidupnya.
Adibrata terlihat sangat rapuh tiduran di tempat tidur itu, terlihat lebih tua. Kintan duduk di sisi tempat tidur, mata Adibrata menatapnya dingin.
         “Sombong sekali kau, anak muda. Apa kau kira perguruan tinggi itu sudi menerimamu,” gerutu Adibrata. Terdengar hela napas Ario kesal, namun kali ini Kintan tidak tersulut.
         “Pergilah kalian berdua. Kau anak bodoh, pergilah, urus hotel keluargamu. Dan kau, anak muda sombong, pergilah tinggalkan program studi yang hancur itu!”
         “Akung, tolonglah, jangan terus-menerus keras hati. Nanti jantung Akung tak kuat menahan amarah itu. Akung kan sudah tahu bahwa nilai akreditasi program studi yang kalian kelola sudah keluar dengan hasil baik, kenapa masih saja menyangkal,” Ario menyela.
           Kintan menoleh tak percaya. “Benarkah?” bisik Kintan. Ario mengangguk.
         “Kampus mencoba berkali-kali mengontakmu kemarin, tidak kamu angkat,” jawab Ario seraya tersenyum. Air mata Kintan merebak, secara spontan ia mencium tangan Adibrata. Senyumnya merekah. Ternyata nilai akreditasi program studinya baik.
         “Sakit, bodoh!!” bentak Adibrata sambil memegangi tangannya yang masih tertancap jarum infus. Kintan kini memahami kata-kata Ario tentang akung-nya. Ternyata Adibrata memang tidak mau ditinggalkan sendiri.
         “Profesor, lekaslah sehat kembali. Ketua program studi tidak akan memberikan izin terlalu lama. Enak saja kelas Anda kosong nanti!”  ujar Kintan, sebelum pamit mohon diri.
         “Ketua program studilah yang mengisi materi pada saat kelas kosong!” Adibrata menjawab sengit. Kintan tersenyum dan keluar dari kamar mengikuti Ario. Ario menyelipkan tangannya di genggaman Kintan.
         “Jadi kamu tetap akan ke Yogya?” tanya Kintan. Ario mengangguk pelan.
         “Untuk mengatakan pada Ayah, bahwa aku sudah punya pekerjaan di sini,” jawabnya.
             ”Aku tidak bisa meninggalkan Akung, dan ketua programnya yang galak ini,” sambungnya lagi. Kintan bisa merasakan pipinya merona.

                    *****
     Kintan duduk di hadapan Pak Indra dan Pak Raka sepulang dari rumah sakit. Keduanya menceritakan lebih jelas tentang hasil akreditasi yang sebagian besar tertolong karena peran Adibrata, bagaimana sang profesor mengevaluasi program studi dan menyatakan bahwa ketua program studi akan berusaha semaksimal mungkin untuk terus berupaya melakukan perbaikan demi pelayanan yang optimal untuk mahasiswa.
Setelah bercerita tentang akreditasi, wajah kedua pimpinannya itu terlihat redup. Mereka tahu bahwa hari ini mereka harus merelakan Kintan mengundurkan diri. Bagaimanapun sangat sulit bagi keduanya untuk mencari lagi ketua program studi yang seperti Kintan.
         “Hmm, jadi Bu Kintan sudah diterima di perguruan tinggi itu?” tanya Pak Raka. Kintan mengangguk.
         “Kalau begitu selamat ya, Bu, karena kami semua tahu bahwa bisa bergabung dengan perguruan tinggi itu sangat sulit. Semoga Bu Kintan bisa cepat beradaptasi dengan pekerjaan baru,” ujar Pak Indra.
          Kintan tersenyum. “Apa maksud Bapak? Saya tidak akan bekerja di sana, kok.”
         “Lho....” Pak Indra dan Pak Raka terlihat bingung.
         “Saya kan sudah punya pekerjaan di sini,” jawab Kintan,  tersenyum.
         “Lagi pula, mana mungkin saya melewatkan kesempatan diomeli Profesor Adibrata. Hanya ada di sini, ‘kan,” lanjut Kintan. Pak Indra dan Pak Raka tertawa, keduanya menyalami Kintan.
         “Kalau begitu, selamat bekerja keras, Ketua Program Studi Akuntansi!” ujar Pak Indra dengan lega. Kintan tertawa.
    Ketika Adibrata kembali ke kampus dalam kondisi prima, ia melirik Kintan dengan malas. Kintan sebaliknya, langsung menghampiri profesor itu dan menyalaminya.
         “Anda masih di sini, bocah sombong,” gumam Adibrata. Kintan tersenyum.
         “Betul sekali, dengan kerendahan hati, biarkan saya membantu apa saja yang Anda perlukan, Profesor,” jawab Kintan.  Adibrata mengangguk.
         “Lepaskan tangan saya, sudah waktunya masuk kelas, nanti saya ditegur ketua program studi!” ujar Adibrata. Kintan melepaskan genggamannya. Profesor Adibrata mengerling  sejenak sebelum masuk kelas. Matanya yang galak itu sekilas menyorotkan kebanggaan pada mahasiswa bimbingannya yang kini sedang berjalan ringan seraya bersenandung. “Gaudeamus Igitur, Juvenesdum Sumus, Vivat Academica, Vivat Professores….” (Tamat)

Arti kata:
Gaudeamus Igitur        : Mari kita bersenang-senang
Juvenesdum Sumus     : Selagi masih muda
Vivat Academica          : Hiduplah kampusku
Vivat Professores         : Hiduplah dosen-dosenku


Kisah Selanjutnya >>>>>

********
Hayuningtyas Pramesti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?