Fiction
Gadis Oriental [6]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

Klik! Romeo memutuskan sambungan telepon. Suara dengung dari pesawat telepon segera memenuhi ruang di telinga Sultan. Berkali-kali Sultan mencoba lagi menghubungi Romeo, tapi gagal.

Lemas, Sultan bersandar di kursi. Napasnya sesak. Dia kaget, panik, tak mengerti maksud Romeo tentang pembatalan pernikahan secara sepihak itu.

“Mamiii!” Sultan berseru keras, sambil memutar kursi rodanya. Ia ingin mencari ibunya untuk meminta penjelasan, tentang hal yang baru didengarnya dari Romeo. Tapi, ia terpaku melihat Devina berdiri di depannya.

“Hai,” Devina menyapa Sultan, lembut.

Tanpa membalas senyum gadis itu, Sultan kembali memacu kursi rodanya. “Mamiii!” panggil Sultan sekali lagi. Tapi, ia tidak mene­mukan ibunya di rumah mewah itu. Ruang tamu, ruang baca, kamar tidur, semua kosong.

“Sultan?” suara Devina mengejutkan Sultan. “Ini jam kerja,” kata Devina. “Ibumu sedang di kantor.”

Sultan tersenyum kecut. Ia tidak ingat bahwa ibunya tengah berada di kantor perusahaan mereka. Wanita itu menggantikan posisinya di kantor, sementara ia sibuk menjalani terapi untuk penyem­buhan kakinya.

“Kamu bisa meneleponnya, kalau kamu mau bicara dengan beliau,” kata Devina lagi. “Mau kusambungkan?”

“Tidak. Tidak usah, terima kasih,” Sultan buru-buru menggeleng. Ia tidak ingin Devina mendengarkan pembicaraan dengan ibunya nanti. Terutama, karena yang ingin dibicarakan adalah tentang Vivian. Sebuah pembicaraan yang sangat pribadi.

Devina juga mengerti, mengapa Sultan menolak tawarannya. Ia sudah menduga apa yang akan dibicarakan Sultan dengan Nyonya Fatimah, karena ia mendengar pembicaraan Sultan dengan Romeo di telepon tadi. Apalagi, ia juga sudah diceritakan Mirah tentang niat Vivian membatalkan pernikahan.

Rasa iba muncul di benak Devina melihat kekecewaan Sultan. Ia baru menyadari bahwa Sultan sangat mencintai Vivian. Tapi, di lain sisi, gadis itu juga senang, karena mendapat peluang merebut cinta Sultan.

“Kamu datang dengan siapa?” tanya Sultan.

“Sendiri,” sahut Devina.

“Tidak bersama Mirah?” pertanyaan Sultan bernada tajam. Tatapan matanya juga menusuk tepat di jantung Devina, membuat gadis itu merasa sedih dan tidak enak hati.

“Kamu tahu, Mirah tidak ada di sini. Mami juga berada di kantor setiap jam kerja seperti ini. Lalu, mengapa kamu datang sendirian ke sini?” tanya Sultan. Nada suaranya lebih mirip tuduhan ketimbang pertanyaan.

“Aku datang ke sini atas permintaan ibumu,” Devina berusaha bersikap setenang mungkin, meski ia gugup mendengar pertanyaan Sultan yang bernada menusuk. “Beliau memintaku untuk menemanimu ke tempat fisioterapi.”

“Mengantarku pergi terapi?” Sultan mengerutkan kening. “Apa kamu tidak punya kegiatan lain sehingga mau mengantarkan aku pergi terapi? Atau… apa kamu sengaja bolos kerja untuk meme­nuhi permintaan mamiku?”

Lagi-lagi pertanyaan yang bernada pedas. Devina mengeluh dalam hati. Tapi, ia memahami perasaan Sultan yang sedang kacau.

“Kebetulan, aku sedang cuti selama 2 minggu. Mirah juga sedang menghadiri suatu acara bersama suaminya. Karena itu, aku bisa memenuhi permintaan ibumu.”

Sultan mendehem. Matanya tidak lagi bersorot tajam. Ia tidak berniat terus mencecar Devina dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Apalagi, ia tahu bahwa Devina tidak dapat disalahkan hanya karena memberi perhatian padanya. Malah seharusnya ia berterima kasih pada gadis itu atas perhatian yang diterimanya.

“Jadi, kamu benar mau mengantarkanku?” tanya Sultan.

Devina mengangguk. Sultan tersenyum. Sebuah pikiran baru menyelinap, pikiran yang membuatnya bisa bertemu Vivian.

“Kamu baik sekali mau mengantar aku. Tentu kamu tidak keberatan jika aku meminta satu pertolongan lagi darimu. Pertolongan kecil saja,” kata Sultan, penuh taktik.

“Pertolongan apa?”

“Tolong temani aku ke rumah Vivian, sebelum ke rumah sakit.”

Mata Devina terbelalak. Mengantar Sultan ke rumah Vivian adalah hal yang tak pernah diinginkan Devina sepanjang hidupnya. Bagaimana mungkin ia sanggup mengabulkan permintaan Sultan?

“Kamu mau, ‘kan?” tanya Sultan, setengah membujuk.

Devina tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia menatap Sultan dengan pandangan setengah tak percaya. Mestinya, Sultan tahu bahwa ia menaruh hati padanya dan tidak dengan kejam menyuruhnya mengantar ke rumah Vivian.

“Aku tidak bisa.” Suara Devina terdengar datar. “Mami dan adikmu pasti marah jika mengetahui bahwa aku mengantarmu ke rumah Vivian.”

“Mereka tidak akan tahu, kalau tidak diberi tahu. Hanya kita berdua yang tahu soal ini. Yang jelas, aku tidak akan membocorkannya pada mereka.”

Devina diam. Perasaannya terluka. Ia benar-benar tak mengerti, mengapa Sultan melakukan ini padanya.

“Tolonglah....” Sultan menyentuh tangan Devina, mengejutkan gadis yang sedang bimbang, sekaligus kecewa. Sultan bukannya tidak tahu tentang perasaan Devina. Tapi, tak ada jalan lain baginya, selain melakukan itu. “Kamu mau kan menolongku?” desak Sultan lagi.

Devina menggeleng. “Maaf, kali ini aku tidak bisa menolongmu.”

“Memangnya kenapa, Dev?” Sultan kecewa. “Bukankah permintaanku ini tidak sulit dipenuhi?”

Tidak sulit dipenuhi? Devina tersenyum pahit dalam hatinya. Permintaan Sultan kali ini bukan hanya dirasa sulit, tetapi juga sangat menyakitkan.

Sultan menghela napas panjang. Meski Devina tidak menjawab pertanyaannya, sikap diam gadis itu sudah cukup jadi jawaban. Devina tak mungkin mau membantunya kali ini. Itu berarti, pupus sudah harapannya untuk dapat bertemu Vivian.

Kursi kurang ajar! Braaak! Dengan gemas, Sultan memukulkan tinjunya ke sandaran tangan kursi rodanya. Gara-gara kursi itu ia tak dapat menemui kekasih hatinya. Suara itu mengejutkan Devina. Sepasang mata indahnya mengerjap, menatap Sultan. Kekecewaan yang dalam tergambar jelas di wajah Sultan. Agaknya, pria itu betul-betul mengharapkannya.

Devina tak tahan melihat gurat kekecewaan di wajah tampan itu. Ia tak tahan melihat perasaan menderita di wajah Sultan. Sungguh, apa pun akan dilakukannya agar dapat menghapus kekecewaan dan kesedihan itu. Apa pun.

”Baiklah,” Devina akhirnya mendesah, “aku akan mengantarmu.”

Sultan menatapnya. Ia tidak mengira Devina akan berubah pikiran. Ia memandang wajah Devina beberapa saat, agar ia merasa yakin pada apa yang didengarnya. Ia melihat ketulusan di mata Devina. Ketulusan yang disertai cinta dan kasih sayang.

“Terima kasih, Devina,” suara Sultan jadi serak karena terharu.

Mata Devina mengerjap sesaat, ketika melihat kegembiraan di wajah Sultan. Biarlah, gumam gadis itu dalam hati. Biarlah ia mendapatkan sebuah kekecewaan, asalkan Sultan dapat merasa berbahagia.

Devina mengendarai mobil Sultan, memasuki Nusa Indah Permai, kawasan perumahan elite yang memiliki jalur pejalan kaki yang teratur. Pepohonan pun diatur sedemikian apik. Beberapa pohon perdu yang menyejukkan, diselingi beraneka pohon bunga yang terpangkas rapi, tampak menyejukkan mata.

Sultan duduk di sisi Devina dengan tenang. Kadang-kadang ia memberi tahu Devina, jalan mana saja yang harus dilalui. Tak berapa lama, mobil Sultan tiba di depan sebuah rumah besar berarsitektur modern.

“Ini rumah Vivian?” Devina bertanya, setengah takjub.

Sultan mengangguk, bangga. Ia selalu membanggakan apa pun yang dimiliki Vivian. Sementara mulut Devina terasa pahit seketika. Sekarang ia mengerti mengapa Sultan selalu memandang sebelah mata padanya. Ternyata, jika dibandingkan dengan Vivian yang hidup bak putri raja di negeri dongeng, ia memang bukan siapa-siapa.

“Aku harus membunyikan klakson, atau menekan bel pintu?” tanya Devina, dengan suara lemah.

“Kamu tidak usah melakukan keduanya,” kata Sultan, sambil tersenyum. “Kamera itu sudah merekam kedatangan kita. Sebentar lagi petugas keamanan akan membukakan pintu gerbang.”

Devina menoleh ke arah yang ditunjuk Sultan. Ia melihat kamera monitor yang dipasang tepat di sebelah kanan depan mereka. Kamera itu bisa merekam semua kendaraan yang berada di depan gerbang. Jadi, tanpa harus membunyikan bel, kedatangan tamu sudah diketahui penjaga rumah.

Benar saja, baru selesai Sultan berucap, gerbang rumah itu terbuka sendiri secara otomatis. “Mereka langsung membukakan pintu? Apa mereka tidak takut kedatangan perampok di dalam mobil ini?” tanya Devina, heran.

“Tentu tidak. Mereka tidak sembarangan membukakan pintu untuk tamu yang datang. Hanya, seluruh petugas keamanan Vivian, yang menangani kamera monitor dan pintu otomatis, sudah mengenali mobilku,” jawab Sultan. Lagi-lagi dengan nada bangga.

“Sekarang, apa kita langsung membawa mobil ini masuk?” tanya Devina, ragu-ragu. Kali ini Sultan tidak sempat menjawab, karena sebuah mobil sedan biru metalik datang menghampiri dan berhenti tepat di samping mobilnya dengan posisi menyerong.

Pengemudi mobil itu adalah seorang gadis cantik berambut lurus melebihi bahu, mengenakan kacamata hitam. Gadis itu membuka kaca jendela mobilnya, melongokkan kepalanya ke luar jendela.

“Itu dia Vivian!” Sultan begitu gembira melihat Vivian, hingga lupa pada kelumpuhannya.


Penulis: Itong Rahmat Hariadi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?