Fiction
Gadis Oriental [5]

10 May 2012

<< cerita sebelumnya

“Vivian?” suara Romeo terdengar, ketika pintu kamar Vivian terbuka. Isak tangisnya terhenti. Vivian mengangkat wajahnya dan memandang ke pintu dengan terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya, ketika wajah Romeo muncul dari balik pintu.

“Kenapa di sini?” Kesedihannya yang terpotong membuat Vivian marah. Tapi, Romeo tidak tersinggung. Ia malah kasihan melihat Vivian memakai gaun pengantin yang terkoyak, sambil bersimbah air mata.

“Pergi! Aku benci melihatmu!” Vivian berteriak.

Romeo berdecak. Ia agak bingung melihat Vivian yang tampak seperti orang kehilangan akal. Tapi, ia tetap tidak keluar dari kamarnya.

“Aku mencoba menghubungimu beberapa hari terakhir ini. Tapi, kamu tidak pernah mau mengangkat telepon dariku. Jadi, aku ingin menengokmu.”

Romeo memandang wajah Vivian, yang pucat seperti orang sakit. Mata gadis itu tidak bersinar seperti biasa. Malah, kelopaknya sedikit bengkak, karena terlalu sering menangis. Rambutnya pun acak-acakan.

“Aku dengar dari pembantumu, kamu selalu mengurung diri,” kata Romeo, tanpa memedulikan bentakan Vivian. “Kupikir, kamu sedih karena rencana pernikahanmu gagal. Aku mencoba meng­hubungi ayahmu. Tapi, beliau sedang ke Malaysia mengurus bisnis. Jadi, aku memberanikan diri masuk ke sini. Mudah-mudahan kamu tidak keberatan.”

“Aku tidak butuh perhatianmu. Pergi!” Vivian berusaha mendorong Romeo, tapi Romeo menangkap tangannya dengan sigap.

“Kamu panik, Sayang,” kata Romeo, lembut. “Kamu merasa tertekan karena situasi ini.”

Vivian berusaha melepaskan dirinya dari genggaman Romeo. Tapi, Romeo mencengkeram lengannya keras, hingga ia merasa kesakitan. Vivian mendengus. Ia sangat marah, karena keadaan telah membuat Sultan lumpuh dan tidak mungkin jadi suaminya. Ia juga marah pada dirinya karena tidak bisa melupakan Sultan.

Romeo menarik tubuh Vivian ke dalam pelukannya. Dengan lembut ia membelai punggung Vivian. Ketika tangannya me­nyen­tuh kulit yang halus dan lembut, darahnya berdesir. Jantungnya berdebar keras. Bulu kuduknya meremang. Vivian menjatuhkan diri ke pelukan Romeo.

“Aku bingung, Romeo…,” keluh Vivian. “Aku mencintainya.”

Romeo gemas, merasa marah bercampur cemburu. “Kamu harus melupakan dia!” kata Romeo, dengan mata berapi-api. “Sesulit apa pun, kamu harus tetap berusaha melupakan dia!”

“Tapi, bagaimana aku bisa hidup tanpa dia?”

Vivian sama sekali tidak curiga bahwa belaian Romeo di tubuhnya bukan lagi belaian simpati seorang sahabat. “Kamu memiliki aku, Vi….”

Vivian mengangguk. “Jangan tinggalkan aku sendiri.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Vi,” bisik Romeo, seraya mempererat pelukannya. “Karena, aku mencintaimu.”

Vivian terperanjat. Ia melepaskan dirinya dari pelukan Romeo dan mundur beberapa langkah. “Tapi, bukan itu maksudku,” kata Vivian, tergagap. “Aku hanya menginginkan kamu sebagai teman.”

“Kenapa hanya sebagai teman?”

Vivian terdiam. Romeo tidak berlama-lama membiarkan Vivian bimbang. Tiba-tiba ia mendaratkan sebuah ciuman.

Sultan menutup telepon dengan gelisah. Entah sudah berapa kali ia menghubungi Vivian, tapi tak juga berhasil. Kalau saja punya sayap, mau rasanya Sultan terbang tinggi dan pergi menemui Vivian. Namun, kakinya yang lumpuh tak lagi bisa membuatnya ’terbang’ sesuka hati.

Pernah terpikir oleh Sultan untuk meminta bantuan Nyonya Fatimah atau Mirah, untuk mencarikan kabar tentang Vivian. Tapi, ia sadar bahwa ibu dan adiknya itu tidak menyukai Vivian. Kalaupun mereka mau membantunya, pastilah karena terpaksa, hanya agar bisa menyenangkan pria yang duduk di kursi roda. Ia tidak ingin itu terjadi.
Sultan duduk tercenung di atas kursi roda, sambil menatap pesawat telepon dengan pandangan nanar. Pikirannya galau, dipenuhi rasa bingung dan khawatir atas sikap Vivian yang tidak pernah menemuinya lagi.

Ragu-ragu, Sultan kembali mengangkat gagang teleponnya, dan memutar nomor telepon rumah Romeo. Terdengar jawaban dari seberang sana.

“Rom!” seru Sultan. “Ini aku, Sultan! Aku mencoba menghubungimu dua hari terakhir ini, tapi kamu tidak pernah ada. Ke mana saja? Sibuk?”

“Begitulah,” jawab Romeo, sumbang. “Aku sedang mengurus beberapa paket barang yang baru tiba dari Rusia.”

“Wah, sedang panen order, ya?”

Romeo tertawa. “Bisa saja kamu, Tan.”

Sultan ikut tertawa. Tapi, ia merasakan kejanggalan pada percakap­annya dengan Romeo. Sepertinya, Romeo agak kaku, seakan ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.

“Rom, aku ada perlu denganmu,” Sultan memutuskan untuk tak berpanjang lebar lagi. “Aku mau tanya soal Vivian.”

Diam sejenak. Tak terdengar jawaban apa-apa dari Romeo. Ini aneh, sebab biasanya Romeo selalu tertawa, bila Sultan menanyakan kabar Vivian padanya. Malah, terkadang Romeo melemparkan lelucon spontan untuk menggoda Sultan yang tergila-gila pada Vivian.

“Romeo?” Sultan memanggil namanya. Sayang, saat itu Sultan tidak bisa melihat reaksi Romeo. Kalau saja ia berhadapan dengan Romeo, ia pasti akan dapat melihat wajah Romeo yang mendadak pucat dan agak gugup.

“Apa yang mau kamu tanyakan?” beberapa detik kemudian, barulah suara Romeo terdengar. Kaku.

“Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya, Rom. Aku dengar, keadaannya baik-baik saja dan hanya menderita sedikit memar saat kecelakaan. Tapi, aku belum puas kalau belum melihatnya sendiri.”

“Kamu tidak perlu khawatir. Memang dia agak memar, tapi sekarang sudah sembuh. Lebih baik kamu pikirkan saja kesehat­anmu sendiri.”

“Aku belum merasa sehat, kalau belum bertemu Vivian,” kata Sultan, setengah bergurau.

“Tapi, seharusnya kamu tahu, kalau kamu bertemu lagi dengan Vivian, segalanya akan kacau. Ia bisa sedih dan merasa canggung.”

“Maksudmu?” Sultan mengerutkan alis, tak mengerti.

“Maksudku jelas. Vivian tak mau bertemu denganmu lagi.”

“Jangan bercanda, Rom. Situasiku saat ini sedang tidak dalam suasana yang bisa diajak berkelakar seperti itu.”

“Aku tidak bercanda. Vivian memang tidak bisa menemuimu sementara ini. Mungkin juga dia tidak akan mau bertemu denganmu selamanya.”

“Aku tidak mengerti maksudmu,” Sultan jadi panik. “Pernikah­anku dengan Vivian hanya tinggal beberapa hari lagi. Banyak persiapan yang belum kami lakukan. Karena itu, aku harus segera bertemu dengannya!”

“Pernikahan? Kamu belum diberi tahu ibumu?”

“Diberi tahu apa?” Sultan jadi tegang.

“Vivian telah membatalkan rencana pernikahan kalian.”

Sultan terdiam, tak bisa berkata-kata.

“Sebaiknya, kamu tanyakan pada ibumu atau adikmu. Aku telah menyampaikan niat Vivian itu kepada mereka.” Suara Romeo terdengar tenang. Padahal, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia lebih suka jika Sultan mengetahui pembatalan ini dari Nyonya Fatimah atau Mirah. Meski ia senang pernikahan itu dibatalkan, ia merasa janggal menyampaikannya kepada Sultan.

“Vivian membatalkan pernikahan?” Sultan bergumam seperti orang linglung. Antara percaya dan tidak. “Tapi… apa alasannya?”

“Aku tidak dapat mengatakannya padamu.”


Penulis: Itong Rahmat Hariadi


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?