Fiction
Gadis Oriental [2]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

“Halo, Mirah, sapa Romeo, sambil melemparkan senyum ramah. Tapi, Mirah malah melengos. Bagi Mirah, senyum Romeo lebih mirip seringai lapar seekor serigala rakus.

Romeo memang mata keranjang. Gonta-ganti kekasih, seperti membalikkan telapak tangan. Pernah, ia terang-terangan mendekati Mirah, padahal saat itu Mirah punya kekasih. Setelah Mirah menikah, Romeo ganti mengejar Devina, sampai Devina sebal.

“Kita harus bicara, Tan.” Mirah mendekati patio, menatap abangnya dengan pandangan tajam. Meski enam tahun lebih muda dari Sultan, ia terbiasa memanggil abangnya dengan sebutan nama.

Vivian melirik Sultan. Gadis berwajah oriental itu seakan sudah dapat menerka apa yang hendak dibicarakan Mirah.

“Kamu mau bicara apa, Sayang?” Sultan bertanya, sambil menatap adiknya dengan sinar mata menggoda.

“Tentang pikiranmu yang nggak beres,” jawab Mirah, galak.

“Nggak beres?” Sultan pura-pura mengerutkan kening.

“Jangan main-main, Tan! Aku betul-betul mau bicara!”

Sultan tertawa melihat Mirah mengentakkan kakinya. Ia menoleh ke arah Romeo. “Coba kamu lihat adikku ini, Rom. Sudah menikah, tapi manjanya nggak ketulungan. Untung bukan kamu yang mendapatkan dia. Kalau kamu menikah dengannya, pasti kamu akan kerepotan menjinakkannya.”

Romeo tertawa lebar.

“Sssh! Jangan diganggu terus,” Vivian menempelkan ujung jari telunjuknya di depan bibir Sultan. “Nanti dia marah!”

“Kalau marah kenapa?” Sultan meraih jari Vivian dan menciumnya dengan lembut.

“Nanti situasinya jadi nggak enak…,” jawab Vivian, manja. Wanita itu menyandarkan dagu runcingnya ke dahi Sultan, sambil matanya melirik Mirah. Meski ia melarang Sultan menggoda Mirah, sikapnya itu seakan diperlihatkan untuk membuat Mirah bertambah kesal. Sejak dulu memang begitu. Makin Mirah memperlihatkan rasa tidak sukanya, makin atraktif pula Vivian memperlihatkan kemesraannya dengan Sultan.

Devina yang baru tiba bersama Nyonya Fatimah, tertegun melihat kemanjaan Vivian. Hati Devina serasa dicabik-cabik melihat lengan kokoh Sultan melingkar nyaman di pinggang Vivian, yang duduk berpangku kaki di atas paha kiri Sultan.

“Halo, Devina,” sapa Romeo, genit.

Devina melengos melihat mata Romeo mengerlingnya dengan tatapa­n penuh arti. Sudah kesal melihat kemanjaan Vivian terhadap Sul­tan, kini ia bertambah kesal melihat ulah Romeo yang menggodanya.

“Apa kabar, Dev?” Sultan menyapa Devina ramah. “Hari ini kamu kelihatan cantik sekali.”

Devina tersenyum kikuk menanggapi sapaan Sultan. Dadanya sempat berdebar saat Sultan melontarkan pujian. Tapi, debar itu lenyap, ketika menyadari bahwa pujian Sultan hanyalah basa-basi.

Sultan tersenyum pada Davina, yang di matanya memang terlihat cantik. Blus sutra berwarna hijau lembut membuat Devina tampak anggun. Tanpa sadar, Sultan memandangi Davina.

“Sultan!” jerit Mirah, kesal. “Aku mau bicara!”

“Kamu mau bicara apa, sih?” Sultan menatap Mirah dengan mimik wajah mulai tak sabar. “Kamu kan sudah menikah. Kalau mau bermanja-manja, temui David saja.”

“Baik,” kata Mirah, sambil mendengus kesal. “Karena kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik, aku akan mengutarakan maksudku di sini saja. Di depan kedua temanmu!”

“Silakan,” Sultan menjawab, enteng.

Mirah menggeretakkan gigi, menarik napas dalam-dalam, sambil matanya menatap Vivian dengan pandangan sangat tajam. “Aku nggak setuju kamu menikah dengan dia!”

Vivian terkejut bukan main. Wajahnya merah padam.

“Jaga mulut kamu, Mirah!” Sultan membentak marah. Pria itu lalu menepuk pinggang Vivian dengan lembut. Memberi tanda agar gadis itu bangkit dari pangkuannya.

“Aku sudah berusaha menjaga mulutku,” kata Mirah, ketus. “Kamu yang tidak pernah berusaha menjaga sikap.”

“Maksudmu apa?” suara Sultan tak terdengar main-main. Tampaknya, dia tidak suka melihat Mirah mempermalukan Vivian.

“Sudahlah, Mirah…,” Nyonya Fatimah menarik tangan Mirah. “Kamu tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap abangmu.”

“Tapi, Sultan sudah bersikap kurang ajar pada Mami!”

“Jangan begitu, Mirah. Abangmu tak pernah kurang ajar pada Mami,” kata Nyonya Fatimah, mendinginkan hati Mirah.

“Dulu memang tidak pernah. Tapi, sekarang? Menyelenggarakan pernikahan tanpa minta izin Mami lebih dulu, apa itu bukan kurang ajar namanya? Kalau ia sampai menikah dengan wanita ini, nantinya Sultan pasti akan kurang ajar pada Mami. Belum menikah saja Sultan sudah melangkahi wibawa Mami, hanya karena ingin menikahi gadis pujaannya ini!”

Plak! Tamparan keras tangan Sultan mendarat di pipi Mirah!

Mirah mengaduh, sambil memegang pipinya yang merah. Sepa­sang mata besarnya menatap Sultan dengan pandangan berapi-api.

Sultan terkejut, menyadari dirinya telah memukul adik kesa­yangannya. Ia menatap Mirah dengan menye­sal. Tapi, sebelum ia mengutarakan permintaan maafnya, tangan Mirah melayang.

Plak! Ganti Sultan yang ditampar oleh Mirah!

“Aku tidak sudi jadi korban telapak tanganmu!” bentak Mirah, galak. Ia sama sekali tidak terlihat takut, apalagi menangis. Ia terlalu galak, dan terlalu periang untuk bersikap cengeng di hadap­an orang lain. Tapi, hatinya hancur karena tidak mengira abang kesayangannya akan memukulnya seperti itu.

“Ini semua gara-gara kamu!” desis Mirah, sambil matanya menusuk Vivian dengan pandangan tajam. Setelah itu, ia membalikkan tubuhnya untuk kembali masuk ke dalam rumah.

“Ayo, Dev, tidak ada gunanya kita di sini!” kata Mirah, sembari memberi tanda agar Devina mengikutinya. “Mirah pulang dulu, Mi!”

Devina bimbang sesaat. Matanya menatap Sultan, berharap agar Sultan mengejar Mirah, menyudahi pertengkaran mereka dengan permintaan maaf. Ia merasa tidak enak melihat pertengkaran kakak-beradik itu, yang baru kali ini terjadi. Tapi, sikap Sultan sama sekali tidak menunjukkan untuk mengejar Mirah. Dengan kecewa, Devina membalikkan tubuh, mengikuti Mirah keluar.

“Mirah…,” panggil Nyonya Fatimah, bingung. Di satu sisi, ia ingin mengejar Mirah dan mencegahnya pergi. Di sisi lain, ia ingin membujuk Sultan supaya jangan terlalu marah terhadap adiknya. Ia menghela napas kesal, lalu mengejar Mirah dan Devina. Namun, sesampainya di beranda depan rumah, bayangan Mirah dan Devina sudah tak kelihatan lagi. Ia hanya melihat Parman di posnya, tengah menutup gerbang dengan remote control.

Sepeninggal Nyonya Fatimah, Vivian segera memeluk lengan kokoh Sultan, menyandarkan kepalanya di bahu Sultan. “Tampaknya, adikmu masih tidak menyukai aku,” katanya, setengah mengeluh.

“Tidak, dia bukannya tidak menyukaimu. Hanya, dia memang agak sulit dimengerti,” Sultan mengelus kepala Vivian, mencium rambutnya dengan lembut. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang. Tidak akan ada yang bisa menghalangi pernikahan kita.”

“Sungguh?” tanya Vivian, sambil menatap Sultan.

“Kamu tidak percaya padaku?”

“Tentu saja, aku percaya. Hanya, aku agak takut jika setelah menikah nanti, Mami dan adikmu akan memusuhi aku.”

“Mereka tidak akan melakukan itu padamu. Percayalah.”

Romeo melirik sepasang kekasih itu sekilas. Ada kilatan iri di bola matanya, tapi ia menyembunyikannya dengan baik, lalu buru-buru meneguk minumannya untuk menghilangkan perasaan canggung.

Seakan tidak peduli akan keberadaan Romeo, Sultan memeluk tubuh Vivian lembut. Tubuhnya terasa bergetar diguncang oleh perasaan yang luar biasa setiap kali ia mencium keharuman tubuh kekasihnya. Vivian pun menyandarkan kepalanya ke dada bidang Sultan dengan bibir tersenyum. Ia pun merasakan kenyamanan setiap kali berada di dalam rengkuhan Sultan.

“Ehm!” suara deheman Romeo menyadarkan mereka. Secara otomatis Sultan dan Vivian sama-sama melepaskan pe­lukan. “Kita mau jalan jam berapa, Vi?” tanya Romeo.

“Kalian mau ke mana?” Sultan bertanya, bingung.

“Ada reuni SMA nanti malam. Kami akan pergi bareng.”

“Wah, jangan bikin aku cemburu, ya,” kata Sultan, setengah berkelakar. Sebenarnya, ia sama sekali tidak cemburu pada Romeo. Ia percaya pada Vivian. Kekasihnya itu telah mengenal Romeo sebelum mengenal dirinya. Jika Vivian menyukai Romeo, ia pasti sudah menjalin hubungan asmara dengan Romeo sejak dulu. Lagi pula, Sultan tidak mudah cemburu gelap mata.

“Kalau terlalu sore, nanti kita terlambat,” kata Romeo.

Sultan tertawa dan meraih pinggang kekasihnya. “Tampaknya, kamu harus segera pergi, Sayang. Tuan Romeo sudah tidak sabar lagi ingin bertemu kekasih lamanya di reuni nanti.”

Vivian tersenyum kecil. “Okay, kita berangkat sekarang.” Vivian melepaskan pelukannya pada Sultan, mengecup pipinya sekilas.

“Kuantar kalian sampai ke gerbang,” kata Sultan, bangkit berdiri.

“Sampai nanti, Sayang!” Vivian melambaikan tangannya. Romeo langsung menginjak gas, dan meluncur pergi.
“Kamu keterlaluan, Rom,” Vivian menggerutu, setelah mobil mereka berbaur dengan kepadatan lalu lintas. “Seharusnya, kamu tidak mengajakku pulang secara mencolok di depan Sultan!”

“Mencolok bagaimana? Kukira, wajar saja kalau aku mengajakmu pulang buru-buru. Tidak salah kan kalau aku mengingatkanmu, supaya kita tidak sampai terlambat?”

“Tapi, aku tidak ingin Sultan tahu kalau kita pergi bersama!”

“Itu salahmu sendiri. Tadi aku kan cuma mengajakmu pulang. Sedikit pun aku tidak menyinggung soal reuni. Kamu sendiri yang mengatakan bahwa kita akan pergi ke pesta reuni berdua.”

“Itu sudah kepalang basah!” sergah Vivian, kesal.

“Ya, sudah. Yang penting dia tidak cemburu,” kata Romeo, tak ingin memperpanjang debat kecilnya dengan Vivian.



Penulis: Itong Rahmat Hariadi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?