Travel
Eksotisme Kathmandu

19 Nov 2011

Ibu kota Nepal ini memang bukan tempat tujuan favorit banyak orang. Padahal, kota ini adalah kota yang kaya tradisi dan spiritual. Candi dan kuil yang bertebaran menjadi bukti kejeniusan arsitek dan perajin lokal. Kathmandu juga seperti pusat ‘harta karun’ bagi penyuka sejarah. Karena, di sini banyak bangunan istana tua dan stupa monumental. Saya, Nova Dien, ingin melihat langsung kota yang memamerkan keharmonisan Buddha dan Hindu selama berabad-abad ini.

Hiruk Pikuk Kota di Thamel

Awal menginjakkan kaki di Kathmandu, saya sempat stres. Kathmandu yang sedang berdandan dalam rangka program lima tahunan, Nepal Tourism Year 2011, menyambut wisatawan dengan kota penuh debu dan sampah di mana- mana. Ditambah lagi, saya datang bertepatan dengan musim kering terdingin yang berlangsung mulai bulan Oktober sampai Juni, sehingga saya menggigil kedinginan setiap saat. Walaupun langit cerah, suhu udara pada siang hari 16 derajat Celsius, malam hari bisa mencapai 3 derajat Celsius.

Perjalanan dari bandara menuju Thamel, daerah pusat wisata di Kathmandu, ibarat naik rollercoaster yang bisa bikin jantungan. Di sini hampir tidak ada aturan lalu lintas, hanya terlihat satu dua lampu merah yang tidak berfungsi. Semua kendaraan saling berebut jalan dengan bunyi klakson sahut-sahutan. Berkali-kali sopir kami harus membunyikan klakson, karena jalanan kecil yang hanya memuat dua mobil saja, dipenuhi orang yang sedang mengobrol, membaca SMS di tengah jalan, atau sedang membeli jeruk dari pedagang jalanan. Sebaliknya, ada pula sopir taksi yang memaksa jalan, walaupun sedang ada pejalan kaki menyeberang.



Herannya, meski semrawut, tidak satu pun terlihat marah atau melontarkan sumpah serapah, saat hampir keserempet mobil. Semua orang terlihat santai saja dan memaklumi aturan lalu lintas yang tidak biasa bagi pendatang ataupun turis seperti saya ini. Saya pun berusaha memaklumi kondisi. Stres saya langsung terobati saat menyaksikan kemegahan Pegunungan Himalaya yang mengelilingi lembah cantik Kathmandu.

Nepal, khususnya di Thamel, terkenal dengan kehidupan di atas atap. Karena itu, jangan lupa menyempatkan diri untuk melihat pemandangan Kathmandu dari atap gedung hotel. Kita bisa melihat kegiatan sehari-hari penduduk Nepal di setiap atap rumah, seperti ritual doa keluarga, mencuci pakaian, menjemur rempah-rempah, kegiatan pangkas rambut, permainan sepak bola, pesta barbecue, sampai kehidupan berbagai macam burung gagak dan merpati. (f)



Merpati di atas Durbar Square

Durbar Square adalah alun-alun yang dikelilingi bangunan dengan arsitektur kuno. Di sini terdapat istana Raja Malla dan Raja Shah, istana Hanuman Dhoka, nama yang diambil dari patung Hanuman, kera pemuja bangsawan Ram. Bentuknya lebih menyerupai kuil, bangunannya telah mengalami renovasi berulang-ulang.

Ribuan merpati terbang rendah dan memadati atap-atap istana ini, seperti tak takut pada kehadiran manusia yang lalu-lalang di alun-alun. Sampai sekarang, alun-alun ini masih merupakan pusat peristiwa penting kerajaan, seperti penobatan Raja Birendra Bir Bikram Shah pada 1975 dan Raja Gyanendra Bir Bikram Shah pada 2001.

Istana Hanuman Dhoka merupakan tempat tinggal raja-raja Nepal sampai abad ke-19. Bangunannya dihiasi jendela kayu ukiran yang rumit, seperti juga yang terlihat di Museum Tribhuwan King Memorial dan Museum Mahendra. Di ujung selatan Durbar Square, terdapat salah satu atraksi menarik bernama Chowk Kumari. Ada sebuah sangkar emas berisi seorang gadis muda bernama Kumari Raj. Gadis ini dipilih melalui proses seleksi kuno dan mistis untuk menjadi inkarnasi manusia dari ibu dewi Hindu, Durba. Dia disembah selama festival keagamaan dan menarik perhatian banyak wisatawan.

Di sekitar situ, banyak wanita lalu-lalang berpakaian sari warna-warni. Bagi wanita menikah, mereka mendandani diri dengan tika (semacam pewarna yang dibubuhkan di belahan rambut dan dahi bagian atas), sebagai pertanda hormat kepada suami. Mereka memakai sari dan pashmina merah, lengkap dengan gelang sewarna. Sedangkan bagi wanita yang belum menikah, bebas memakai warna apa saja, bahkan banyak yang hanya mengenakan celana jeans. (f)



‘Ziarah’ ke Situs Suci

Salah satu situs suci yang saya kunjungi adalah The Boudhanath atau Batu Wisnu. Stupa berlukiskan mata Buddha yang menjadi ikon Kota Kathmandu ini didirikan oleh Raja Nepal, Licchavi Sivadeva, antara tahun 590-604 Masehi. Tapi, ada cerita yang lain. Konon, Boudhanath dibangun oleh seorang pangeran untuk memohon pengampunan, karena sengaja membunuh ayahnya sendiri.



Situs ini menjadi pusat destinasi ziarah. Para biksu dan warga tampak berduyun-duyun mengelilingi stupa sambil berdoa dan menyentuh roda doa di tembok luar stupa. Saya menyempatkan diri menyentuh roda doa itu seraya menyampaikan keinginan saya dan titipan doa teman di Jakarta, yang sudah mengetahui soal wheel of prayer ini. Terlihat jejeran prayer flag (bendera doa) dengan lima warna cantik membentang horizontal di kanan-kiri stupa. Bendera doa ini juga sering disebut wind horse yang mempunyai makna kehidupan panjang dan langgeng.

Situs suci lain adalah Sungai Bagmati, sungai yang dianggap suci oleh kaum Hindu dan Buddha. Sungai ini menjadi pusat kremasi orang Hindu. Di samping sungai ini terdapat Candi Pashupatinath, salah satu candi Hindu Siwa tertua dan terbesar di dunia. Sayangnya, mereka yang beragama non-Hindu tidak diperbolehkan masuk ke candi ini.
Sungai Bagmati ini tidaklah selebar Sungai Gangga di India. Airnya tenang dan tak terlalu jernih. Menurut tradisi Hindu Nepal, tubuh orang mati harus dicelupkan tiga kali ke Sungai Bagmati sebelum dikremasi dan kemudian dimakamkan di kuil di atas bukit di samping sungai ini.

Saya mendapati banyak orang Newari (masyarakat adat) yang mengenakan jubah kuning di sekitar sungai ini. Saya menebak-nebak, mungkin sedang ada proses kremasi. Biasanya, pihak kerabat keluarga yang berkabung juga ikut mandi atau memercikkan air suci ke tubuh mereka setelah proses kremasi. Saat sedang asyik memotret suasana, saya sempat ditegur warga agar tidak mengambil gambar para pemuka agama yang sedang menyiapkan upacara kremasi sakral tersebut. Saya pun menurut. (f)



Hang Out di Garden of Dreams

Situs lain yang menarik adalah taman kota yang merupakan bagian dari istana Kaiser Mahal yang dibangun tahun 1895, Garden of Dreams. Di tangan keturunan Kaiser, taman ini berubah menjadi sebuah karya seni. Taman yang sangat cantik, di dalamnya terdapat sebuah ansambel paviliun yang indah dengan air mancur di tengahnya. Uniknya, taman ini juga memiliki sentuhan Eropa, seperti beranda, teater, galeri, perpustakaan, dan birdhouses.

Kaiser mendirikan enam paviliun yang didedikasikan masing-masing untuk enam musim di Nepal, yaitu Basanta (musim semi), Grishma (musim panas), Barkha (musim hujan), Sharad (awal musim gugur), Hemanta (akhir musim gugur), dan Shishir (musim dingin).

Saat ini, Garden of Dreams terbuka untuk umum dengan restoran dan bar yang sangat terkenal, yaitu Kaiser Café. Saya duduk-duduk sembari ngopi di kafe, yang menjadi tempat hang out favorit anak muda berkelas di Nepal. (f)



Makan di Resto Eksklusif

Sebagai penggemar kuliner, saya tidak mau melewatkan pengalaman prosesi kuliner unik makan malam di restoran eksklusif, Krishnarpan (yang berarti selamat makan). Restoran Krishnarpan merupakan bagian dari hotel butik The Dwarika's, satu-satunya hotel yang memenangkan PATA (Pacific Asia Travel Association) Heritage Awards.

Hotel yang pernah disinggahi oleh Richard Gere ini terbuat dari kayu berukir rumit yang dikerjakan selama 10 juta jam lebih oleh perajin terbaik di Nepal. Hotelnya sendiri terletak di Jl. Battisputali, hanya 10 menit berkendara dari pusat kota.
Sebelumnya, perlu reservasi dulu untuk bisa makan di sini. Untunglah, saya sudah memesan meja seminggu sebelumnya melalui surel.

Ruangan restoran yang bergaya tradisional Nepal ini didominasi warna merah dan emas dengan lampu temaram. Meja dan kursinya rendah, hampir seperti lesehan di atas hamparan karpet mewah dengan lilin beraroma. Di dinding resto  dipajang foto-foto para petinggi pemerintah Nepal dan orang-orang penting dunia yang pernah datang ke restoran ini, di antaranya Jimmy Carter, Hillary Clinton, dan Pangeran Charles.

Saya sangat terkesan disambut keramahan para pelayan yang berpakaian adat tradisional yang berbeda satu sama lain. Ada yang mengenakan kostum penari, petani, sampai busana adat pengantin. Saat memasuki ruangan depan restoran, saya diminta melepas sepatu dan membasuh tangan dengan siraman air dari teko sebagai pertanda pembersihan diri, baik badan maupun batin.

Di atas meja, tercetak nama saya, lengkap dengan celemek yang sudah disediakan. Pada daftar menu, ditawarkan 6 sampai 22 macam makanan. Menu tradisional yang disajikan, antara lain, Maccha Tareko (semacam risotto dan ikan), Dal, Bhat, dan Tarkari (lentil atau kacang merah, nasi dan sayuran) serta beragam herba khas Nepal. Sebelum memulai menu pertama, saya diminta mempersembahkan beberapa cuil makanan untuk Tuhan, yang diletakkan di sebuah piring kecil berbentuk hati. Kemudian, pelayan menuangkan anggur beras yang tingkat alkoholnya bisa mencapai 55%.

Musik tradisional menemani saya menikmati sajian yang datang terus- menerus dengan pelayanan yang sangat profesional. Setiap yang datang benar-benar diperlakukan seperti tamu kehormatan. Sebelum pulang, saya dibekali suvenir berupa potongan kecil prajurit dengan ukiran tangan astamangals atau simbol keberuntungan. Sungguh suatu pengalaman makan malam yang tidak akan terlupakan. (f)



Belanja di Pokhara

Kota tetangga Kathmandu, Pokhara, juga menjadi salah satu objek wisata populer. Kota ketiga terbesar di Nepal ini dikenal sebagai pintu gerbang pendakian ke basecamp Anapura, salah satu titik pemberhentian di kaki Pegunungan Himalaya. Pokhara menawarkan wisata trekking yang umumnya memerlukan waktu sampai 25 hari perjalanan.

Kita juga bisa memesan 5 hari saja perjalanan, dengan biaya sekitar 300 dolar AS (Rp2,7 juta). Biaya ini sudah termasuk guide yang akan membawakan semua perlengkapan trekking, mulai dari ransel gunung, sleeping bag, hingga stok makanan kita selama trekking. Kota ini juga terkenal dengan tiga danaunya yang menakjubkan, salah satunya Danau Phewa, dengan pemandangan pegunungan bersalju Himalaya.

Di Pokhara, kita bisa membeli barang-barang yang sama dengan yang ada di Kathmandu dengan harga lebih murah. Suvenir yang ditawarkan antara lain permata dan perhiasan, artefak keagamaan, mangkuk bernyanyi yang dapat mengeluarkan vibrasi energi, lukisan mandala, ukiran batu dan kayu, kerajinan logam, peralatan antik, koin, dan karpet tradisional Tibet. Saya tergoda membeli pashmina yang indah, yang harganya antara Rp135.000 sampai Rp2 juta. Banyak juga dijual aksesori dari biji-bijian yang harganya sangat murah, sekitar  Rp17.000 - Rp150.000. (f)



Tip

1. Kathmandu's Tribhuvan International Airport (TIA) dapat diakses dari seluruh dunia dengan penerbangan internasional langsung dari Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur, dan Hong Kong. Penerbangan langsung dari Jakarta ditempuh kurang lebih 6 jam, atau 8 jam dengan sekali transit.

2. Transportasi di Kathmandu lebih mudah dengan taksi, dari bandara ke pusat kota membutuhkan biaya sekitar 450 NPR (Nepalese Rupee) atau Rp56.000.

3. Akomodasi bervariasi dengan harga antara Rp250.000 – Rp2 juta per malam.

4. Nepal yang masih termasuk dalam daftar 50 negara termiskin di dunia (versi PBB) mempunyai jadwal pemadaman listrik pada pukul 6 sore. Sebaiknya Anda manfaatkan waktu di siang hari untuk mengisi ulang baterai peralatan gadget penting, seperti ponsel dan kamera.

5. Hampir semua kota di Nepal melek teknologi. Dengan mudah Anda bisa mendapatkan jaringan internet nirkabel (wi-fi) gratis di restoran dan hotel.

6. Hati-hati dengan serangan altitude sickness (serangan kesehatan akibat dataran tinggi). Gejalanya antara lain sakit kepala dan dehidrasi. Hindari minuman beralkohol dan perbanyak minum air putih.

Nova Dien (Kontributor - Jakarta)
Foto: dok. pribadi



 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?