Fiction
Dunia Angke [1]

31 Aug 2012


Angke melemparkan boneka Barbie pemberian Wisnu ke selokan di depan kantor ibunya.
“Angke! Kamu jangan begitu!” teriak Farah kepada putrinya semata wayang.
     Angke menatap ibunya dengan sikap menantang. Bibirnya membentuk garis lurus yang rapat. Tak ada satu kata pun yang terlontar dari bibir yang biasanya mengumbar tawa itu.
“Oom Wisnu sengaja beli untukmu, Sayang, supaya kamu senang…,” kata Farah, lebih lunak. Ia melihat ke arah gedung kantornya, sudah sepi. Hampir semua pegawai sudah pulang. Selain satpam, hanya tinggal beberapa orang saja.
Farah sengaja melembutkan suaranya. Ia tak mau ada yang mendengar pertengkaran mereka, karena tidak mau ada gosip baru yang menyebar di antara rekan-rekan kerjanya esok hari. Menjadi orang tua tunggal memang lumayan riskan, setiap gerak-geriknya selalu diawasi masyarakat sekitar. Tak peduli di kantor atau di rumah, di sekolah Angke pun, banyak mata ibu-ibu yang rajin memantaunya.
Dalam perjalanan, Farah sengaja tak mengajak anaknya bicara. Ia biarkan gadis kecil kesayangannya itu meredakan perasaannya. Angke sering merajuk bahkan ngambek bila harus bersentuhan dengan hal-hal yang ada kaitannya dengan Wisnu, kekasih Farah. Di balik kemudi, Farah tersenyum kecil. Sifat Angke memang mirip dirinya, ekspresif dan cenderung lugas jika ingin mengatakan sesuatu.  
“Angke lebih senang Oom Wisnu nggak bawa segala macam. Angke nggak mau Oom Wisnu jadi ayah baru. Angke sayang sama ayah lama Angke…!” seru Angke. Akhirnya dia buka suara. Di lampu merah, Farah mengganti CD musik. Alunan flute nan lembut dari Kenny G. pun mengalun.
“Tapi, Ayah kan sudah lama meninggalkan kita, Angke. Bunda butuh teman yang baik seperti ayah Angke….”
“Pokoknya, Angke nggak suka sama Oom Wisnu!”
“Kenapa? Bunda pikir, di antara teman-teman Bunda yang lain, Oom Wisnu yang paling baik. Dia tidak hanya berteman dengan Bunda, tapi juga ingin berteman dengan Angke!”
“Bunda sama Oom Wisnu bukan berteman, tapi pacaran!”
Farah kehilangan kata. Rasanya baru kemarin sore dia bersama Irfan membawa Angke ke kebun raya dalam kereta bayi. Sekarang, anak kelas tiga SD ini sudah tahu bedanya berteman dan pacaran. Anak perempuan biasanya lebih cepat matang daripada anak laki-laki seumurnya. Hhhh…. keluh Farah dalam hati. “Dasar anak digital!”
^^^
Hujan belum lagi usai mencurahkan limpahan butiran beningnya, yang segera menjadikan malam  makin dingin. Farah menarik selimut, tapi agak tersendat. Oh, rupanya terjepit kaki Angke! Digeserkannya kaki Angke dengan sangat hati-hati. Malaikat kecil itu sangat pulas tidurnya. Wajahnya yang polos menyimpan lengkung senyum yang bagus. Ada wajah Irfan di sana. Bayang-bayang Irfan selalu ada di setiap sudut senyumnya.
Senyum gadis cilik yang menjadikan mereka sebuah keluarga. Namun sayang, rasanya semua itu terjadi dalam waktu sekejap saja. Selebihnya adalah mimpi buruk yang nyata! Farah dan Angke harus merelakan Irfan berlalu dari kehidupan mereka. Membiarkan Irfan pergi ke dunia baru yang bebas dari kendali ruang dan waktu. Dunia yang baru kita ketahui wujudnya, setelah kita menanggalkan semua kefanaan ini.
Sepeninggal Irfan, tak ada waktu bagi Farah untuk menangis lebih dari sewajarnya. Air matanya sudah lama habis selama mendampingi Irfan menjalani perawatan  di rumah sakit.  Tumor yang bersarang di batang otak Irfan berubah menjadi ganas dan tumbuh tak terkendali. Irfan yang tabah dan tak pernah menyerah, menularkan semacam kekuatan pada Farah agar ia pun mampu menjalani masa-masa sulit itu.
Sampai kemudian Irfan benar-benar pergi meninggalkan mereka, Angkelah yang membuat Farah harus tetap tegak dan berpijak. Jalan masih   panjang dan kehidupan akan terus berpacu tak kenal kata berhenti.   
^^^
Hari itu, Angke tak seriang biasanya. Sepulang sekolah Angke hanya minta segera diantar ke rumah. Tak mau ikut ke kantor dan menunggu ibunya sampai sore. Dalam hati Farah ingin segera bertanya pada Angke, tapi pertanyaan itu segera ia simpan. Malam hari mungkin lebih leluasa untuk membicarakannya dengan Angke. Sebelum tidur, mereka sudah terbiasa saling bertukar bercerita tentang kegiatan mereka siang harinya.
Sambil menyelesaikan pekerjaannya, Farah mencoba mengira-ngira apa yang menyebabkan Angke semurung itu. Mungkin gara-gara Farah menegur Angke yang membuang boneka Barbie tempo hari? Atau Angke mulai merasa cemburu karena Farah juga membagi perhatiannya untuk Wisnu? Angke yang terbiasa mendapat perhatian penuh, kini harus ‘bersaing’ dengan calon ayah tirinya.
Usai makan malam, Angke langsung mengerjakan PR-nya tanpa disuruh. Tumben. Biasanya Farah harus berulang-ulang mengingatkan, karena Angke lebih suka membaca buku cerita atau ensiklopedia anak-anak yang penuh gambar lucu.
Farah mengecek semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu gerbang sampai ke pintu belakang dekat dapur. Biasanya Irfan yang melakukannya, tapi sekarang Farah sudah terbiasa. Terbiasa juga melakukan banyak hal tanpa Irfan.  
“Angkee……..! Sudah gosok gigi belum, Nak?” panggil Farah, sambil mengetuk pintu kamar Angke. Lampu temaram.
“Lho, kok, belum tidur…?”
Angke duduk bersandaran bantal sambil memegang sesuatu. Farah tidak terburu-buru ingin memastikan benda itu apa. Dia duduk di ujung ranjang.
“Ada yang mau Angke ceritakan pada Bunda….?”
Angke menggeleng, benda itu ia simpan di balik selimut.
“Angke masih kesal karena Bunda tegur waktu Angke buang boneka Barbie itu?”
Angke menggeleng.
“Angke yang salah, kasihan boneka itu jadi basah dan bau….”
“Angke nggak kasihan sama Oom Wisnu yang bersusah payah membelikan boneka itu buat Angke?”
Angke menggeleng.
“Angke nggak takut kalau Oom Wisnu marah atau kecewa karena boneka itu diperlakukan seperti itu…?”
Angke menggeleng.
“Ayo, jawab pertanyaan Bunda!”
“Oom Wisnu ngasih, kok, maksa, sih, Bun… Angke kan nggak mau dikasih boneka kalau Oom Wisnu yang ngasih….”
“Oke… oke… Bunda mengerti kalau Angge nggak mau, tapi bukan begitu caranya. Lebih baik Barbie itu disimpan saja….”
“Disimpan di gudang, Bun?”
Farah tersenyum mengiyakan. Diusapnya pipi gadis kecil kesayangannya itu.
“Angke mau disimpan di gudang?” godanya.
Angke menggeleng, Farah menghela napas panjaaang sekali. Malam mulai meriapkan sunyi. Bunyi detak jam dinding  makin jelas.
“O ya, Bunda hampir lupa, kenapa, sih, Angke hari ini kelihatan murung…? Angke nggak enak badan?”
Angke menggeleng.
“Angke kangen sama Ayah…. rasanya Ayah cuma pergi sebentar dan pasti pulang lagi….”
Farah berusaha tersenyum. Bibirnya tersekat rasa haru yang begitu pekat. Farah salah duga, dikiranya Angke merajuk soal Wisnu. Ternyata dia rindu ayahnya.  
Farah mungkin bisa mengubur seluruh kenangannya bersama Irfan, tapi Angke belum bisa. Anak itu masih terlalu kecil untuk menerima sebuah kenyataan yang menyebabkan separuh keceriaan hidupnya terenggut. Dia masih terlalu naif dalam memaknai kematian sebagai suatu kehilangan yang kekal. Atau mungkin dia mencoba mengingkari dengan berharap ayahnya kembali pada suatu saat.   
Dikecupnya lagi Angke, tak lama kemudian dia tertidur. Farah meneruskan pekerjaannya. Niat begadang malam ini agaknya menjadi sebuah solusi yang benar-benar tak dapat dihindari. Laporannya harus selesai dan diserahkan besok pagi. Satu jam kemudian, Farah menengok anaknya lagi. Saat membetulkan selimut yang tersingkap, Farah melihat foto mereka bersama Irfan. Foto yang tadi disembunyikan Angke dari pandangan ibunya.
^^^
Farah membiarkan laptop menyala sedari tadi tanpa disentuhnya. Foto itu menjadi jendela tempat ia melihat masa silam. Hampir tiga tahun, Irfan meninggalkan mereka dan Farah ternyata mampu melewati masa-masa sulit itu. Saat dokter menyatakan Irfan tak dapat melampaui masa kritisnya, sedikit pun Farah tidak pernah berpikir bahwa secepat itu ia akan menjalani hidup ini tanpa suaminya. Membesarkan Angke sendirian. Tapi, lempengan besi yang buruk rupa, bila ditempa akan menjadi sebilah keris yang indah dan penuh karisma. Waktu menempa Farah hingga ia menjadi kuat dan setangguh ini.  
Farah mengenal Irfan dalam sebuah pelatihan yang digelar perusahaan tempat  Farah bekerja. Irfan seorang ahli hama dan penyakit tumbuhan. Irfan yang sederhana dan penuh perhatian membuat Farah terpikat dalam sebuah jalinan cinta kilat yang menakjubkan. Hanya tiga bulan sesudah pertemuan mereka yang pertama kali, Irfan melamarnya. Suatu proses percintaan yang sangat cepat dari dua orang dewasa yang telat menikah. Farah dan Irfan sama-sama sepakat bahwa mereka merasa tidak perlu lama-lama berpacaran, karena yang mereka butuhkan saat itu adalah pasangan hidup. Dua tahun kemudian Angke lahir, melengkapi kebahagiaan mereka.
Seiring kehadiran Angke, karier Irfan meningkat pesat. Mereka menganggap Angke adalah anak pembawa rezeki. Irfan dipromosikan jadi pejabat, ia menjadi calon kuat jabatan kepala di balai penelitian tempatnya bekerja. Tidak semua teman kerja Irfan menyukai keberhasilannya. Ada yang mendukung, ada pula yang iri hati. Dalam semua kisah hidup, baik kisah nyata maupun fiktif, selalu ada tokoh protagonis dan antagonis.
Apalagi Irfan peneliti yang idealis, yang sering dianggap steril dan tak kenal kompromi. Ia pernah menolak dan tidak mengizinkan ketika keong emas akan masuk ke Indonesia dan dibudidayakan. Alasannya, bila pertumbuhan populasinya tak dapat dikendalikan, hewan berprotein tinggi itu akan menjadi hama yang sangat merusak padi milik rakyat. Meski  alasan Irfan masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dia dikalahkan oleh sebuah konspirasi yang melibatkan banyak pejabat.
    Sepulang workshop di Belanda, Irfan sakit. Tumor otak, kata dokter. Tumornya berbentuk kista. Belum sempat Irfan dioperasi, Sang Khalik sudah memanggilnya. Seorang dokter kenalan baik mereka sempat menduga sakitnya Irfan akibat terkontaminasi hama penyakit tanaman berupa cacing kecil yang masuk ke tubuh Irfan dan berkembang biak dalam sel-sel tubuh yang abnormal. Tapi, Farah dan keluarga Irfan tidak mengizinkan dokter melakukan autopsi dan meneliti cairan di dalam kista itu. Mereka ingin jenazah Irfan tetap utuh ketika bersatu dengan tanah.  
    Beberapa episode kehidupan Farah terkubur bersama Irfan. Episode berikutnya adalah bagaimana Farah bersama putri kesayangan mereka menata hari-hari baru, tanpa orang yang mereka cintai. Mulanya terasa sulit, tapi Tuhan selalu memberi kemudahan bagi orang-orang yang mau berusaha. Upaya yang menumbuhkan ketangguhan, ketangguhan yang menjelmakan kekuatan. Sebuah episode yang membuat Farah dan Angke  makin dekat dan saling menguatkan.
    Sepenggal episode baru perlahan-lahan mengubah kehidupan mereka. Wisnu, mantan kekasih Farah semasa SMA,  tiba-tiba hadir menguak takdir. Dari pertemuan tak sengaja di bandara, sampai kemudian sisa-sisa cinta yang pernah membara menyalakan api asmara. Farah mendapati ruang hatinya yang kosong, terisi kembali. Walau belum sepenuhnya,  kehadiran Wisnu cukup berarti dan memberi warna-warna baru.  
    Awalnya, Farah tak mau berpikir untuk menikah lagi. Tetapi, Wisnu begitu telaten dan mampu menumbuhkan getaran-getaran cinta mereka yang sempat redam tersekam waktu. Wisnu juga berusaha membagi perhatiannya pada Angke, ia cukup kentara ingin jadi calon ayah yang disukai putri kekasihnya. Namun, agaknya Wisnu perlu berjuang keras mendekati Angke, karena ternyata mendapatkan cinta gadis cilik itu tak semudah meraih cinta ibunya.  
^^^
Di depan cermin, Farah merasa asing dengan dirinya sendiri. Seorang wanita berambut ikal mayang yang terurai sedikit melewati bahu, berdiri kaku. Bukan karena badannya yang tidak luwes atau sikap tubuhnya yang kurang bagus, tapi model bajunya yang membuat ia tidak nyaman. Bagian punggung terbuka, dan tentu saja bukaan bagian depannya agak lebih rendah menuju belahan dada.
Wisnu suka dia berpenampilan seperti ini. Apalagi gaun malam ini sengaja Wisnu persiapkan untuk acara makan malam mereka yang juga akan dihadiri beberapa sahabat dan rekan bisnisnya.
Tapi, tak seharusnya Farah mati gaya, toh, gaun ini yang seharusnya mengubah penampilannya menjadi lebih anggun daripada kesahajaannya. Andai bukan Wisnu yang memintanya, sungguh, ia lebih suka memakai T-shirt, jaket, dan celana lapangan plus sepatu ketsnya. Kalau perlu, sepatu boot antilintah dan antibecek seperti yang ia pakai waktu eksplorasi ke hutan perawan di Papua!

^^^
Beberapa detik kemudian Farah baru sadar sepenuhnya. Dia berada dalam pelukan Wisnu. Wangi tubuhnya yang khas laki-laki membuat Farah tak ingin segera beranjak dari situ. Farah belum lupa apa yang mereka lakukan tadi, sebuah ciuman yang dahsyat. Farah masih merasakan tubuhnya separuh bergetar. Irfan saja tidak sedahsyat itu! Apakah ciuman beberapa kilas tadi jadi terasa begitu istimewa, karena  sudah lama Farah tak pernah disentuh seorang pria?
Wisnu seorang pencinta yang tahu bagaimana menyenangkan kekasihnya. Seorang romantis yang blakblakan dan tak pandai berbasa-basi.
Saat-saat yang penuh kesan itu berlangsung terlampau cepat. Sambil memegang dadanya yang berdegup kencang, Farah bersandar di balik pintu. Lalu, dengan tangan yang masih bergetar, dia memutar anak kunci.
“Bunda sudah pulang?” suara Angke membuatnya kaget. Agak jengah ia memandangi wajah anaknya. Jangan-jangan Angke melihat adegan tadi. Wajahnya kian memerah disembunyikan temaram lampu.
“Angke belum tidur….?”
Dalam hati Farah geli sendiri, sudah jelas ibunya ada di rumah, Angke bertanya begitu. Sudah jelas pula anaknya belum tidur, masih juga ia bertanya seperti itu.
Sambil mengelus rambut anaknya, Farah masih belum bisa melepaskan perasaan melambung yang dialaminya barusan. “Wisnu. Pria inikah yang akan  menggantikan tempat Irfan di hatiku?” ujar Farah dalam hati.  

^^^
Sebuah pesan singkat dari Teddy, rekan kerja satu proyeknya, membuat Farah harus menjadwal ulang kegiatannya. Farah takkan mengabaikan peristiwa langka yang dikabarkan Teddy. Bayangkan saja, setelah menunggu hampir dua abad – sejak Raffles dan Joseph Arnoldi menemukannya di belantara Sumatra tahun 1818 – kini dunia ilmu pengetahuan diguncangkan oleh peristiwa ini!  Rafflesia arnoldi berhasil tumbuh di luar habitat aslinya. Tumbuh pun sudah luar biasa, apalagi sampai bunganya mekar. Sungguh sebuah anugerah!
Teddy pernah bercerita, biasanya Rafflesia mekar di tengah malam, karena suhu udara seperti itulah yang dibutuhkan Rafflesia. Teddy memperkirakan waktu mekarnya besok malam. Farah ingin sekali menyaksikan keajaiban alam itu. Tapi, meninggalkan Angke di rumah sendirian, tak mungkin! Mbok Isah, pembantunya, sudah dua hari ini pulang kampung. Menunggui anaknya yang mau melahirkan. “Wah… bagaimana, ya?” desah Farah.
Dititipkan ke Mbak Arti, tetangga sebelah yang belum punya anak itu, Farah agak sungkan. Angke tak begitu akrab dengan ibu separuh baya yang agak bawel itu. Mending kalau mekarnya besok malam, Angke bisa dititipkan semalam saja. Tapi, kalau lebih dari semalam?
Sewaktu Farah mengabarkannya kepada Angke, anak itu melonjak-lonjak kegirangan.
“Wah, keren banget, Angke bisa membuat cerita bunga itu. Kebetulan Bu Guru kasih tugas mengarang sama Angke!”
“Tapi, besok paginya kamu kan sekolah, Ke…!”
“Yaaah…..Bunda!  Pulangnya pagi-pagi, dong, subuh-subuh… jadi Angke bisa ke sekolah…!”
“Anak kecil nggak boleh begadang!” Farah mencoba bertahan, meski dia sendiri masih bingung. Bila Angke tidak ikut, siapa yang menemaninya di rumah?
“Yaaah….. biasanya Angke juga suka nonton bola dan Bunda nggak protes..!”
“Tapi ini di alam terbuka, Ke, kamu kan belum pernah tidur di alam terbuka…!”
“Sudah Bun, waktu itu Angke  kan pernah camping sama Ayah di halaman belakang….”
Farah tersenyum, baru camping di situ saja sudah merasa heboh sendiri.
“Iya… itu  kan di halaman rumah kita, pakai tenda lagi….”
“Kita bawa saja tenda Ayah….!” Angke tak mau menyerah.
Akhirnya, Farah yang menyerah pada kegigihan Angke. Pada sisi lain juga beban pikirannya berkurang, karena Angke masih tetap berada dalam pantauannya.

^^^
Sore itu juga mereka berangkat ke Jakarta. Teddy menyambut Farah di pintu gerbang Kebun Raya Cikini. Hari mulai temaram, Farah menyalakan lampu sorot besar. Di depan, mobil Teddy memandu mereka. Serasa masuk hutan tapi di tengah kota. Farah sempat merinding. Teddy pernah bercerita, dulunya lahan di sebelah Kebun Raya Cikini itu adalah kebun binatang milik Raden Saleh, maestro pelukis itu. Andai sekarang kebun binatang itu masih ada dan penghuninya berkeliaran ke sini. Misalnya  harimau atau ular nyasar……. Hiiiiiyy…..!! Farah bergidik sendirian. Ia sempat melirik Angke, tapi anak itu tampak asyik menikmati safari malamnya.
Farah berhenti di area parkir yang diteduhi tanaman merambat muccuna. Bunganya yang merah meronai malam, sebagian jatuh berserakan melintasi pagar tembok yang mengelilingi lokasi Rafflesia. Teddy membuka pintu besi berwarna hijau tua. Awalnya mereka melewati jalan yang dilapisi batu alam pipih cukup mulus. Sisa air hujan masih kelihatan sedikit mengggenang pada lekukan dan sambungan batu alam itu.
 “Dari Bogor tadi pukul berapa?”  Teddy mencoba mencari bahan percakapan.
“Pukul empat lebih dua puluh menit….”
“Cepat juga, ya… biasanya pada jam-jam seperti ini butuh waktu dua jam lebih untuk sampai ke sini…!”
“Sempat terjebak macet juga, sih, tapi selebihnya lumayan lancar….”

Cerita Selanjutnya  >>>>

Penulis: Katherine Achmad



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?