Fiction
Dualitas [1]

2 Oct 2013


Oleh: Ayu Utami

Perpustakaan itu terletak tak jauh dari museum zoologi. Tapi, baiklah kita ceritakan dulu tentang museumnya. Anak kecil percaya bahwa di gedung kolonial itu ada hantu makhluk-makhluk purba yang diawetkan. Jika kau berkunjung ke sana pada jam buka, kau akan melihat hewan-hewan yang sekarang tak akan ditemui lagi.

Ada banteng besar, nyaris seukuran gajah, yang masih hidup saat orang-orang putih masih berkuasa di pulau ini. Inilah banteng yang takkan kalah begitu saja melawan harimau. Ah, bukankah anak-anak sekarang pun tak pernah melihat harimau selain yang kurus di kebun binatang maupun yang gemuk tapi jinak di pertunjukan sirkus? Tiada lagi hewan perkasa bahkan di layar televisi. Betapa menyedihkan. Tapi, di museum ini kita bisa melihat mereka di balik kaca terarium. Karena itu, bersyukurlah pada museum ini!

Lihat! Ada babi rusa. Di zaman ini manusia hanya tahu babi atau rusa, dua makhluk yang berbeda. Di museum ini kita bisa melihat babi rusa, satu spesies sendiri. Seperti babi, tetapi bercaling bagai tanduk. Lalu, ada ratusan burung, yang besar maupun kecil. Biasanya mereka jantan dan betina. Bulu mereka begitu indah: segala warna dan kilap. Mereka dahulu ditangkap dan dibunuh khusus untuk diawetkan demi ilmu pengetahuan. Mereka dijebak hidup-hidup, lalu leher mereka dipuntir. Demikian agar mereka mati tanpa berdarah dan tanpa rusak permukaan kulitnya. Demi sains. Setelah mati, mereka dikeringkan dan mata mereka diganti dengan kelereng.

Tanpa mendengar kisah pembunuhan di balik perwujudan hewan-hewan cantik itu pun, anak kecil yang peka tahu bahwa roh-roh makhluk satwa itu tetap menghuni museum. Mereka diam di siang hari. Tapi pada malam hari, setelah gerbang ditutup semua pintu dikunci dan petugas pulang, mereka akan menghidupkan tubuh-tubuh hewan  itu kembali. Yang pernah kau lihat dalam film itu bukan kebohongan. Sebelum jam dua belas malam, mata-mata kaca telah berkedip. Sayap-sayap mulai berkepak. Moncong mulai mendengus. Kaki-kaki menyentak. Begitu serigala krem-kelabu itu melolong, hiduplah semua margasatwa dalam museum zoologi itu.

Ayahnya pernah bekerja di sana. Ya, ayah Indira. Di museum zoologi. Ruang kerjanya ada di dalam gedung dengan pilar-pilar besar, terletak persis di samping Kebun Raya. Kadang-kadang Indira dibawa ayahnya ke sana. Atau hanya pernah? Ah, ia lupa. Pokoknya ia punya kenangan tentang tempat itu. Pintunya kayu besar dan sangat tinggi. Kipas angin, juga besar, berputar pelan, tergantung di langit-langit.

Dinding kaca menakjubkan dengan hewan-hewan fantastis di baliknya. Itu di ruang-ruang dalam. Lalu, di serambi belakang yang terbuka ada yang agak menakutkan: kerangka ikan paus. Betapa raksasa makhluk air itu. Lengkung rusuknya seperti penjara yang bisa menampung sepuluh anak kecil. Kisah Pinokio yang berada di perut ikan itu tidak main-main. Kaki Indira bergidik membayangkan ikan raksasa berenang-renang di dalam air di bawah perahu yang ia tumpangi lalu perahu itu terbalik dan ikan itu menelan dirinya.

“Aku takut,” kata Indira kepada ayahnya.
Tapi, ayahnya malah berkata bahwa itu tidak seberapa. Itu cuma kerangka.
“Ada yang lebih menakutkan!”
“Apa itu?” Indira merapat pada kaki sang ayah.
“Yang paling menakutkan itu adalah yang tidak boleh dilihat.”
Ayahnya berkata dengan suara rendah yang terasa sangat serius, tapi senyumnya tetap menyenangkan.

Indira mencengkeram celana ayahnya, tak mau lepas lagi. Ia mengikuti lelaki itu ke mana pergi. Lalu mereka berhenti di sebuah pintu yang tertutup. Pintu itu ada di bagian agak belakang, mungkin dekat kakus yang baunya bisa terendus. Agak gelap di daerah itu. Tak terlalu besar pintu tersebut, tapi Indira mendapat kesan bahwa daun-daun itu selalu terkunci. Bahkan ventilasi di atasnya ditutup papan. Ada rahasia disimpan dalam ruangan di balik pintu itu.

“Di sinilah ada yang paling menakutkan,” kata Ayah. “Tidak boleh dilihat. Rahasia.”
“Kenapa?”
“Tidak boleh lepas.”
“K… kenapa kalau lepas?”
“Berbahaya!”
“K… kenapa?”
“Ya berbahaya.”
“K… kenapa bahaya?”
“Liar... ganas...”
“G… gigit orang?”
“Ya, gigit orang.”
“D… dimakan?”
“Hmm... bisa juga. Dimakan orangnya. Apalagi kalau anak kecil.”
“Gendong!”
Ayah pun membopong Indira. Indira memeluk leher ayahnya erat-erat. Ayah lalu bercerita. Di dalam ruang rahasia itu ada dua bilik berjeruji, seperti kandang di kebun binatang. Masing-masing ditinggali dua yang menakutkan itu. Dua makhluk. Yang pertama adalah yang sangat berbahaya: banteng bertubuh manusia. Ia sebesar dan sekuat banteng yang dahulu berkelana di padang-padang pulau ini.

Otot-ototnya membuncah. Meski tangannya berjari seperti manusia, kukunya sekuat baja. Lalu, mulai pada bahunya, menjelmalah sesosok kepala banteng yang teramat sangar. Matanya merah dan menyala. Tanduknya lebih tajam lebih kuat daripada tombak pemecah batu. Ia sesungguhnya tidak makan manusia, tidak juga anak kecil. Ia tidak makan daging karena lapar. Ia makan daging karena marah. Ia makan daging manusia ataupun segala yang dipelihara manusia karena ia marah. Kenapa ia marah, kita tak tahu lagi alasannya. (Sesungguhnya, kita tak mau mengakui alasan itu). Minotaurus namanya. Ia mengerikan sekali. Jangan sampai lepas. Ia menempati kerangkeng yang pertama.

Dan dalam bilik berjeruji yang kedua, bersemayam makhluk yang lain. Ia juga berbahaya, tapi sesungguhnya tidak sejahat yang pertama. Ia memiliki tubuh manusia, lelaki yang liat dan perkasa. Perutnya bersekat-sekat. Dada dan lengannya berpejal-pejal. Ia memiliki kepala manusia pula dan rambutnya ikal. Rautnya sungguh tidak buruk. Sebenarnya, wajahnya cukup tampan dan bergaris keras. Tetapi,, ya Tuhan… ia berkaki kuda. Persis di pinggang, setelah pusarnya, ia menjelma seekor kuda.

Bokongnya, atau yang seharusnya adalah bokong, menerus ke belakang sehingga ia bisa ditunggangi seandainya saja ia tidak liar. Ia berkaki empat. Jika lepas, ia akan berlari dan menyepak seperti seratus ekor kuda. Ia akan merebut senjata kunonya --sebuah busur dan panah-- yang disembunyikan petugas museum dalam peti kaca di sebuah ruangan lain. Namanya adalah Sagitarius.
Indira mencoba mendengarkan gaung suara kedua makhluk itu. Tapi ruang itu begitu rapat menyimpan rahasia.

“Hanya Sagitarius yang bisa mengalahkan Minotaurus,” kata Ayah. “Karena itu kita harus menyimpan kedua-duanya.”
Kelak, tatkala sudah besar, Indira tahu sebuah kata: antidot. Antidot adalah racun penawar racun. Antidot biasanya ada bersama atau dekat dengan zat berbisa yang akan dinetralkannya. Demikianlah manusia banteng dan manusia berkaki kuda itu harus berpasangan. Yang kedua mematikan yang pertama. Tetapi, jika ia ada tanpa yang harus dimatikan itu, ia menjelma bahaya. Sebab, ia ada untuk mematikan. Jika yang harus ia matikan tidak ada, maka ia akan mematikan yang ada. Termasuk kau, ataupun anak kecil.

Ah. Sulit bagi Indira untuk merasakan soal dualitas yang aneh itu. Ayahnya selalu tertarik dualitas. Tapi bagi Indira, apa pun itu adalah mengerikan. Ia gelisah menunggui ayahnya mengerjakan entah apa pada meja kayu yang kini terasa misterius. Ada kertas-kertas dan tabel-tabel. Ada buku-buku besar.
“Ayolah Papa, kita ke Kebun Raya!”

Si ayah tersenyum. Beberapa saat kemudian mereka telah berada di dalam Kebun Raya, masuk melalui pintu kecil tersembunyi yang tak diketahui orang. Itu membuat Indira bangga pada ayahnya dan merasa istimewa. Mereka berjalan berdua, bergandengan tangan, melewati jalan setapak yang jarang dilewati para tamu umum. Ayah selalu tahu rute rahasia. Mereka tiba di danau dengan teratai raksasa dan tiba-tiba bisa melihat istana. Jangan khawatir ikan paus tidak hidup di danau air tawar. Lalu mereka menyusuri sepanjang pagar di bawah pohon-pohon besar yang mengeluarkan hawa dingin. Lantas ternyata mereka sampai di taman anggrek.

“Lihat, Nak. Pada sekuntum kembang pun ada dua bagian: bagian jantan dan bagian betina.” Di rumah kaca itu Ayah menunjukkan bagannya: benang sari dan putik sari. Yang satu jantan yang satu betina, dalam sekuntum bunga. Tapi Indira hanya bisa membedakan kelopak dan bagian yang berserbuk, apa namanya? Barangkali mahkota. Apa pun itu, ayahnya suka dualitas.

 “Ada Papa  ada Mama. Dua, bukan?”
Indira mengangguk. Rumah kaca itu menyimpan hangat dari matahari yang mulai beranjak.
“Ada siang ada malam.” Pada siang hari hewan-hewan dalam terarium membisu. Pada malam hari mereka akan hidup kembali. Dua dunia.
“Burung-burung yang diawetkan itu juga jantan dan betina agar tidak kesepian.”
Dan di museum yang sama, tempat Ayah bekerja: ada Minotaurus dan Sagitarius. Apakah mereka jantan dan betina? Tampaknya tidak. Keduanya jantan, sepertinya. Hanya saja mereka merupakan dualitas perihal yang lain, yang tak bisa dipahami Indira.

Kedua ayah-anak itu berjalan kembali, melewati taman kaktus dan hutan pandan, masuk ke bayang-bayang lalu muncul dekat gerbang di mana ada monumen. Dalam bayangan Indira itu adalah sebuah gazebo untuk para peri. Sebuah tempat berteduh dengan atap kubah. Hanya saja, yang ditudungi bukanlah tempat duduk melingkar, melainkan sebuah loh batu dengan kata-kata seperti sebuah sajak.

“Ini monumen untuk istri gubernur jenderal Inggris yang dulu tinggal di istana. Olivia namanya, meninggal di sini.” Ayah tampak membaca baris-baris tulisan itu: “Olivia”.
“Apakah ini kuburan?”
Apakah seorang wanita putih terbaring di bawah bangunan beratap kubah itu? Tidak. Jenazahnya dikuburkan di tempat lain. Ini hanya tugu kenangan. Tugu menghubungkan dua: yang lalu dan yang sekarang. Yang mati dan yang hidup. Tugu mengabadikan yang telah punah. Olivia istri Sir Stamford Raffles meninggal pada bulan Sagitarius, 26 November 1814. Tapi orang tidak menghubungkan zodiak dengan tanggal kematian. Ia lahir 17 Februari 1771. “Jadi bintangnya Aquarius, Nak. Bintangnya di masa hidup.” Adakah bintang di masa mati? Ayahnya sering mengatakan sesuatu yang tak bisa dimengerti anaknya.

Lalu mereka kembali ke museum zoologi lewat pintu rahasia lagi. Kerangka ikan paus, burung-burung jantan-betina, serigala krem-kelabu yang akan melolong nanti malam, sebagai tanda bagi hewan-hewan lain untuk hidup kembali... dan pintu misteri yang menjaga rapat-rapat Minotaurus dan Sagitarius.

Ayah membereskan berkas-berkas. Setelah itu mereka pulang naik delman. Indira suka duduk di samping kusir, memandang ke depan. Sekaligus tak sengaja melihat ekor kuda, yang kadang-kadang menjengat, lantas bokong si kuda mengeluarkan bubur hijau sambil terus berjalan. Tapi kali ini tak bisa tidak ia membayangkan bahwa kuda itu bukan kuda yang biasa. Sebab pada bahu dan punuknya bukanlah leher dan kepala kuda yang bersurai, melainkan sesosok tubuh yang dilihat imajinasinya di museum zoologi. Tubuh lelaki berkepala manusia. Rambutnya ikal. Ia membayangkan bahwa kereta ini ditarik oleh seekor Sagitarius….

***
Perpustakaan itu terletak tak jauh dari museum zoologi. Seperti dua yang selalu berdekatan. Sekalipun waktu telah lewat nyaris dua puluh tahun. Itu sebuah perpustakaan herbarium, salah satu yang tertua di negeri ini. Didirikan oleh orang-orang putih yang dulu menjajah Nusantara. Literatur tentang flora lengkap di sana. Juga spesimen daun keringan. Sedangkan museum itu, yang jaraknya sekitar satu kilometer, menyimpan binatang-binatang awetan.

Indira kini seorang perempuan dua puluh tahunan yang turun dari delman itu. Sebetulnya ia tak senang lagi naik kendaraan tersebut. Kota ini kini begitu padat. Jalanannya penuh dengan mobil dan angkutan umum yang semua mengeluarkan asap. Ia kasihan pada kuda yang harus bersaing dengan hewan-hewan besi yang pantatnya menyemburkan karbon monoksida dan segala racun. Tapi dari rumahnya ke perpustakaan ini, delman adalah salah satu yang paling praktis.

Lagi pula, apa yang akan terjadi dengan binatang dan kusirnya jika kita tak mau lagi naik delman? Ia ingin sais maupun si kuda terus memiliki martabat seperti yang ia tahu di masa kanak-kanak.

Ia membayar ongkos dan melangkah masuk ke tempat kerjanya yang baru. Ini hari pertama ia menjadi pegawai di perpustakaan itu. Masih sebagai tenaga paruh waktu. Itu pekerjaan pertamanya dalam hidup. Ia sedikit berdebar-debar. Tapi mungkin ia berdebar lantaran teringat ayahnya. Teringat pelajaran pertamanya tentang herbarium dan jantan-betina bunga di rumah kaca kebun anggrek. Di dunia ini ada dua-dua. Jantan betina. Atas bawah. Siang malam. Hidup mati. Depan belakang. Maju mundur. Ada racun dan penawarnya.

Sebelum masuk ke pintu utama perpustakaan itu, ia memandang ke seberang jalan. Ke arah gedung tua yang tetap berdiri tak jauh dari sana: museum zoologi, tempat ayahnya pernah bekerja. Di dalamnya, di sebuah ruangan rahasia yang pintunya selalu tertutup rapat, entah siapa memelihara sepasang Minotaurus dan Sagitarius sejak kapan. Sebuah cerita yang sangat purba dalam ingatannya. Yang paling menakutkan, Nak, adalah yang tak bisa dilihat. Ia terbayang wajah ayahnya, suaranya yang sok serius dan senyumnya yang menyenangkan.

Indira menarik napas sebelum berpaling. Ia membayangkan ayahnya ada di dalam gedung museum itu, di meja kerjanya yang terbuat dari kayu, di mana ada kertas dan tabel serta buku-buku besar. Ia membayangkan ayahnya ada terus di sana. Dan ia di sini. Dua dunia yang seperti samar-samar berpasangan.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?