Fiction
Dua Sisi [8]

4 May 2012


“Andy, Aysha melarikan jemarinya ke atas lengan Andari, meng-hentikan kalimatnya. “Apa kau benar-benar percaya semua itu?

“Maksudmu?”

“Kau percaya bahwa agama adalah penyebab kita saling memerangi satu sama lain?”

“Bukankah itu yang kau perjuangkan sekarang?”

Aysha menatapnya, lama. “Semua ini tidak ada hubungannya dengan agama. Hanya politik yang tak kenal manusia. Kau mungkin berpikir bahwa aku punya alasan untuk bersuka cita di atas penderitaan orang lain.” Wanita itu menghela napasnya sebelum melanjutkan, “Muslim macam apakah aku, bila aku menyimpan niat-niat buruk seperti itu? Kenyataannya adalah bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat menghapus sejarah. Semua yang sudah terjadi tidak bisa kita batalkan. Aku tidak pernah berkata bahwa aku senang melihat menara kembar itu jatuh. Aku hanya berkata bahwa….”

“Mereka pantas mati. Itu yang kau katakan padaku,” celetuk Andari mengulangi pernyataan Aysha sebelumnya.
Aysha mengangguk. “Karena apa yang telah dilakukan negeri ini,” katanya blak-blakan. “Bukankah itu hukumnya? Mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa?”

“Dan itu keadilan yang kau pegang teguh?” tanya Andari.

“Aku tidak tahu apakah ada keadilan di dunia ini,” jawab Aysha, pasrah. Matanya menerawang jauh menembus langit-langit di atas mereka. “Mungkin, selama ini aku salah. Tapi....”

“Ah, ya. Tapi…,” Andari tersenyum menggodanya.

“Aku belum pernah melihat dunia ini seutuhnya, Andy,” bisik Aysha, seraya memandang Andari penuh makna. “Apa yang sudah kuutarakan padamu… aku tidak tahu apakah semua itu benar. Kalau kau sudah mengalami apa yang kami alami, kecil kemungkinannya kau akan berpendapat lain.” Aysha terdiam membisu selama beberapa menit, menimbang-nimbang perkataannya sendiri. “Kau harus mengerti bahwa dunia yang kau tinggali selama ini sangat asing bagi kami. Kau harus percaya bahwa aku tidak terlahir dengan niat untuk mencelakai orang lain. Bagaimanapun, jika kau melihat apa yang kami lihat....”

“Hasil akhirnya tetap sama,” Andari berkata, pelan. “Aku tahu.” 

“Bukan,” sanggah Aysha. “Bukan itu.”

Andari mengerutkan dahinya, ingin tahu. 

“Jika kau melihat apa yang kami lihat,” ulang Aysha. “Kau akan berlari seperti kami telah berlari. Menjerit seperti kami menjerit. Menangis seperti kami menangis, hingga tak ada air mata tersisa untuk ditumpahkan. Mungkin pada akhirnya kau juga akan membenci, seperti kami membenci semua yang kami anggap bertanggungjawab akan segala penderitaan dalam hidup kami.” 

Aysha terdiam lagi, lalu berkata, “Suatu hari kebencian itu akan menelan kami hidup-hidup. Dan, aku tidak ingin hal itu terjadi padamu sebagaimana telah terjadi pada Ahmed.”

“Bukankah...,” Andari baru hendak bertanya, tapi Aysha mendahului, dengan cepat meletakkan jemarinya di atas bibir Andari. 

“Tidakkah kau mengerti? Kau jauh lebih baik dari kami semua.” Aysha merendahkan kepalanya untuk mengecup tangan Andari, lalu menatapnya dengan serius. “Kau telah membebaskanku dari belenggu yang kukira takkan pernah lepas.”

“Memangnya aku sudah melakukan apa?” tanya Andari.

“Kau punya semangat,” jawab Aysha. “Kau punya mimpi dan harapan akan dunia yang lebih baik. Dunia tempat semua orang boleh hidup berdampingan bersama dengan perbedaan-perbedaan mereka. Suatu hari, aku berharap untuk tinggal di dunia seperti itu. Namun, saat ini kami hanya bisa berlari. Entah sampai kapan.”

“Kalau begitu berhentilah berlari,” kata Andari, lirih. “Toh, ada aku di sini. Aku takkan pergi ke mana-mana.”
Aysha tergelak manis, menyingkap sejuntai rambutnya ke balik telinga. “Kau bahkan tidak tahu siapa aku,” ucapnya. 

“Kalau begitu biarkan aku mengenalmu lebih baik,” tukas Andari. “Bukalah duniamu untukku, dan persilakan aku masuk ke dalamnya. Merasakan semua yang pernah kau rasakan. Melihat semua yang kau lihat. Biarkan aku menangis seperti kau menangis.” 

Aysha menggeleng sendu. “Sudah terlambat untuk itu,” katanya. 

“Biarkan aku melindungimu,” lanjut Andari. 

“Mungkin di masa lain.”

“Bukan di masa lain,” tegas Andari, menggenggam jemari Aysha seperti yang dilakukannya beberapa hari lalu di tengah peradaban Manhattan. “Sekarang dan selamanya.”

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak ingin mengotori jiwamu,” jawab Aysha. 

“Biarkan aku yang menilai,” sergah Andari.

Aysha mengulas senyum, diam seribu bahasa. 

“Kau tahu, aku harus jujur padamu,” tutur Andari tiba-tiba, mengganti pokok pembicaraan mereka. “Aku sudah jarang beribadah. Aku juga tidak ingat ayat-ayat yang aku pelajari dulu di sekolah pengajian. Dan, karena jadwal kerjaku yang amat padat, aku menelantarkan banyak kewajibanku. Meski gajiku berkecukupan, aku tidak pernah memberi sedekah.”

Aysha tertawa mendengarnya. “Kau juga minum, merokok, dan bercinta sembarangan,” ledeknya.

“Tidak ketiganya,” sergah Andari, membela diri. “Aku benci efek alkohol pada kepalaku, dan aku tidak tahan bau tembakau. Tapi....”

Tawa Aysha berderai.

“Dosa abadiku untuk menginginkan...,” lanjut Andari.

Andari tidak berkata-kata lagi, melainkan hanya menyentuh wajah Aysha dengan jemarinya. Ia belum berani. Tubuhnya seperti disihir menjadi sebongkah batu mati. 

Kemudian, seolah membaca pikiran Andari, Aysha meletakkan telapak tangannya di atas pipi Andari. “Kau pasti ingin menyentuhku,” katanya. 

Andari terperangah. 

“Aku bisa melihatnya di matamu,” lanjut Aysha.

“Aku....” Andari tergagap, tidak tahu harus berkata apa.

“Jangan takut,” bisik Aysha di telinganya, mendaratkan sebuah kecupan di pipinya yang ditumbuhi rambut-rambut halus. “Aku ingin kau menyentuhku.”


                                                                                           cerita selanjutnya >>

Penulis: Maggie Tiojakin


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?