Fiction
Dua Sisi [3]

4 May 2012


Entah kenapa, beberapa hari berikutnya, Andari membiarkan wanita yang baru saja dikenalnya itu masuk ke dalam hidupnya. Karena diliburkan dari kantor selama satu minggu, Andari jadi terlampau sering menghabiskan waktu bersama Aysha. 

Demi mengusir penat di kepala, Andari setuju menemani wanita itu melakukan berbagai kegiatan di seputar kota New York: nonton film mancanegara di teater klasik, menyaksikan pertunjukkan opera di Broadway, window shopping di Soho, ngopi di Times Square, makan hotdog di pinggir jalan, bersepeda di Central Park, menumpang sebuah kapal feri ke Ellis Island, dan berpose di dekat monumen Liberty, layaknya sepasang turis. 

Aysha bercerita tentang masa kecilnya di kota Beirut, Lebanon, tentang ayahnya yang menjabat sebagai dosen ilmu alam di sebu­ah universitas di Beirut, tentang kakak perempuannya yang mati terbunuh di tengah amukan politik negara, tentang sahabatnya yang kini membelot menjadi kaki-tangan Israel, tentang boneka kesayangannya, Majnun, yang ia namakan dari karakter novel Persia berjudul sama. 

Menatap lekat-lekat ke kedua bola matanya, Andari merasa seolah ia sedang tenggelam di dalam masa lalu wanita muda itu. Banyak luka menganga di sana, bermacam pertanyaan yang takkan pernah terjawab. 

“Beirut pernah menjadi kota yang indah,” Aysha melanjutkan kisahnya di sebuah kursi taman di depan Museum Metropolitan, membelakangi display air mancur yang terkenal keindahannya. “Aku hanya menyesal tidak pernah melihatnya.”

Kesedihan mendalam masih menggantung di udara, masih sulit untuk dicerna, namun setidaknya kota ini sudah mulai bangkit, marak akan hiruk-pikuk warga yang hilir-mudik entah ke mana. 

“Apa kau pernah pulang ke Lebanon sejak tiba di New York?” tanya Andari, menarik tepi jaketnya agar lebih erat menghangatkan tubuhnya. 

Aysha menggeleng. “Baba (ayah) bilang, tidak ada satu hal pun di sana yang akan kami temukan, kecuali puing-puing masa lalu,” ujarnya, sedih. “Beliau juga berpesan bahwa Israel akan menghancurkan kota kelahiran kami.” 

“Apa kau betah di sini?” Andari meneguk cairan minuman ringan dari kaleng dalam genggamannya. 

“Entahlah,” jawab Aysha, menerawang jauh. “Tidak peduli di mana aku berada, kalau aku tidak ada di Beirut, tetap saja aku ‘menumpang’ di rumah orang, ‘kan?”

Terdorong oleh rasa simpati yang sering ia dapat dari sesama ‘perantauan’, Andari melarikan jemarinya ke atas jemari Aysha, menggenggamnya erat-erat. “Jangan putus asa,” katanya, memberi semangat. 

Wanita itu melempar pandangan bersahabat pada kawan bicaranya.

“Aku ingin tahu lebih banyak tentang kau, Andy,” pinta Aysha. “Dari mana asalmu, seperti apa tempat kelahiranmu, siapa orang yang paling kau percayai.” 

Andari menghela napas pendek, tersenyum. “Nanti kau bosan,” godanya.

“Aku janji tidak akan bosan,” kata Aysha, dengan sigap mengangkat tangan kanannya di udara sebagai simbol sumpah. “Ayolah, ceritakan padaku.”

Walau ia keberatan dipanggil dengan sebutan ‘Andy’, yang terkesan terlalu kebarat-baratan, Andari tidak menolak ketika diminta untuk bercerita. Ia mengawali dengan kota kelahirannya, Semarang, yang menurutnya sudah terlampau padat dan tidak teratur. Ia berlanjut menceritakan kepindahan keluarganya ke Jakarta, menggambarkan rumah tempat keluarganya bermukim, yang terletak di bilangan Kebayoran Lama, dan betapa asingnya hidup di kota besar, karena hidup bertetangga nyaris mustahil dipertahankan. Ia malu mengakui bahwa selama sekian tahun tinggal di Jakarta, ia tidak pernah sekali pun bertandang ke rumah tetangganya. 

Andari bercerita tentang Puncak, Bogor, Bandung, dan tempat-tempat lain yang biasa dikunjungi keluarganya saat berlibur. Tentang pengalamannya bersepeda pertama kali, terjatuh ke dalam selokan yang membuatnya basah kuyup oleh air got. Aysha melepas cengir canda mendengarnya.

Andari juga bercerita tentang keluarganya: ayahnya yang punya bisnis percetakan di dalam kota, ibunya yang berjualan rantang, adiknya yang sekarang masih duduk di bangku SMA, tentang beasiswa yang didapatnya semasa kuliah, yang memungkinkannya untuk melanjutkan sekolah di salah satu kampus ternama di Boston, yang kemudian memberinya peluang untuk mencari pengalaman di New York sebagai konsultan keuangan sejak dua tahun yang lalu. Usianya 28 tahun. 

Bibir Aysha tersungging mendengar cerita teman barunya. “Aku iri padamu,” tutur Ayshah jujur. 

“Kenapa?” tanya Andari.

“Karena, hidupmu sempurna,” sahut Aysha. “Mungkin, bagimu itu tidak sempurna. Tapi, kalau dibandingkan dengan kami, kau sungguh harus bersyukur.”

“Bukankah semua itu relatif?” tukas Andari. 

Aysha menggigit bibirnya sendiri, menyusun kalimat di dalam kepalanya. “Di masa lain, aku mungkin punya kesempatan yang sama seperti dirimu. Sekolah setinggi-tingginya, hidup layak dengan gaji memadai, mengkhawatirkan hal-hal kecil yang tak berarti. Aku sering tertawa melihat orang berjoging di sini. Karena di Beirut, orang berlari bukan untuk kesenangan ataupun kebugaran. Orang berlari menghindari kematian yang mengenaskan.”

“Aku tidak bisa membayangkan apa rasanya hidup seperti itu,” kata Andari, menawarkan simpatinya sekali lagi. “Dan aku tidak ingin berpura-pura mengerti apa rasanya hidup dalam teror berkepanjangan. Tapi....”

“Nah, ini dia,” putus Aysha, melirik penuh canda. “Selalu ada tapi.”

“Tapi, itu bukan berarti kau harus melepaskan harapanmu begitu saja,” lanjut Andari. “Iya, ‘kan?” 

Aysha tersenyum, seolah ingin menertawai keluguan Andari. “Harapan kami tak lebih dari sekelumat mimpi. Semua yang berarti bagi kami sudah habis digerogoti perang. Hanya ini,” ia merentangkan kedua lengannya lebar-lebar di udara, “Tubuh yang tak ada artinya sama sekali.”

“Walau begitu, kau tetap menyetujui apa yang terjadi di kota ini beberapa hari yang lalu,” tegas Andari, melempar kaleng minuman yang telah kosong ke dalam tong sampah di sisinya. 

“Kau tidak tahu apa yang sudah kami hadapi selama ini,” keluh Aysha.

“Kekerasan tetap bukan solusi, apa pun alasannya,” bantah Andari.

“Kau tidak tahu rasanya hidup seperti tahanan di dalam rumahmu sendiri, selalu dikecam rasa takut, selalu dibayangi maut,” serang Aysha, kukuh pada pendiriannya. 

Andari ingin memeluknya, memastikan bahwa saat ini ia takkan mengizinkan apa pun melukainya, tapi ada jarak di antara mereka yang tidak berani ia seberangi.

“Orang-orang ini pantas mati, Andy,” tuduh Aysha, dengan mata berkaca-kaca. “Kami dibombardir dan tidak ada seorang pun yang mau memikirkan nasib kami. Mereka membiarkan kami hidup di dalam reruntuhan, mengais-ngais seperti anjing kelaparan.”

“Kurasa kau hanya membesar-besarkan masalah,” cetus Andari, enggan melanjutkan topik pembicaraan yang mulai membuatnya rikuh.

“Kau membela negeri ini?” 

“Aku tidak membela siapa-siapa. Aku hanya tidak suka kekerasan,” balas Andari. 

“Kau pikir aku berbohong?” pancaran mata Aysha berubah menantang. 

“Aku tidak mau asal tunjuk jari,” tegas Andari. 

“Ayo,” ajak Aysha, bangkit dari duduknya seraya menggenggam jemari Andari. “Aku mau kau bertemu seseorang.”

“Hari sudah sore,” Andari beralasan. “Mungkin lebih baik kita pulang.”

Aysha mendekatinya, mengecup bibirnya. Ciuman itu berlangsung amat singkat. Basah di bibir Aysha melekat di sudut bibir Andari. “Demi aku,” mohon Aysha. “Nanti kau bisa menilai sendiri. Aku janji.”

                                                                                                          
                                                                                           cerita selanjutnya >>


Penulis: Maggie Tiojakin


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?