Fiction
Dua Sisi [10]

4 May 2012


Sepanjang pagi, Andari mendatangi tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama Aysha, mengikuti jejaknya sendiri. Dari satu pemberhentian ke pemberhentian lain, Andari terus mencari. Ia mampir di setiap toko di kawasan Soho yang disukai Aysha, masuk ke dalam gedung teater tempat mereka menonton film, duduk di dalam teater tempat mereka menyaksikan pertunjukan opera, berlari melalui jalan-jalan setapak di Central Park, menumpangi kapal feri yang berlayar menuju Ellis Island, berdiri di samping Monumen Liberty. Tetap nihil.

Ia berusaha mengingat tempat yang mereka singgahi di Queens, namun ingatannya tidak mau bekerja sama. Membuatnya tersesat.

Dengan panduan buku telepon, ia mencari semua nama yang dimulai dengan Aysha dan menekan nomor-nomor mereka, berharap salah satunya akan membawa hasil. Nihil. Ia duduk di depan laptop dan mengetik nama Aysha di dalam internet search engine, namun yang keluar adalah nama-nama figur bersejarah yang tidak ada hubungannya dengan orang yang sedang ia cari. 

Ia menghubungi salah seorang temannya di kepolisian dan memohon untuk dicarikan lewat database negara bagian seseorang bernama Aysha dengan ciri-ciri yang tergambar di kepalanya. Masih nihil. 

Seharian Andari termangu di apartemennya yang mungil, menunggu di samping telepon, kalau-kalau Aysha mencoba mengÂ-hubunginya. Tapi, hanya sepi yang datang. Begitu malam turun, harapan Andari ikut sirna bersama senja yang memudar. Dan air mata yang selama ini ia tahan di dalam kerongkongan mulutnya akhirnya tumpah tak tertahankan. 

Di bilik kantornya, di atas gedung perkantoran berlantai empat puluh, Andari duduk menatap layar komputer yang menampilkan sederet angka tanpa makna. Tragedi 11 September yang terjadi minggu lalu kini hanya tinggal cerita, dibiaskan oleh layar televisi di seluruh negeri, menjadi bahan pembicaraan yang masih hangat dan mengena, meski semua sudah berlalu bagai mimpi buruk.

Saat jam makan siang, Andari turun ke lantai dasar untuk membeli segelas kopi hangat dan sebuah bagel bertabur wijen, yang kemudian ia olesi dengan krim keju. Ia duduk di meja kayu yang terletak di belakang gedung, menghadap ke arah sebuah taman kecil yang sengaja dibangun sebagai dekorasi, menatap ke halaman gelanggang olahraga di koran New York Times, mencari skor playoffs antara tim baseball kesukaannya, The Red Sox, yang baru saja bermain melawan The New York Yankees semalam.

Pukul lima sore, ketika kebanyakan koleganya mulai membereskan tas kerja mereka dan bersiap untuk pulang, Andari tetap duduk di mejanya, di dalam kungkungan biliknya, memandangi angka-angka yang tampak berbaur dan membentuk wajah Aysha. 

Dari jendela kantornya, ia bisa melihat sepasang cahaya putih yang mencuat dari dalam tanah menyambut bintang di langit, menembus gelapnya malam, di mana menara kembar dulu berada. 

Niatnya untuk bisa menjalankan salat lima waktu kembali tertunda, dan hari-harinya berlalu makin cepat, mengikuti arus pekerÂ-jaan yang tak ada habisnya. Bagai mayat hidup ia naik-turun subway, menelusuri jalan-jalan kota New York yang selalu padat akan pejalan kaki, makan di kedai-kedai restoran yang sering didatanginya sejak dua tahun yang lalu, duduk di bar-bar malam menenggak dry martini sampai ia merasakan kepalanya berat, mengikuti ajakan rekan kerjanya untuk pergi berwisata ke Long Island dan bermukim di sebuah rumah sewaan, berbaring di depan perapian, tanpa merasakan hangat yang berlebihan. 

Sesekali ia menghubungi kerabatnya di Jakarta, menanyakan kabar mereka, bersenda gurau dengan adiknya hanya sebagai basa-basi, bersopan-santun kepada orang tuanya, karena itu kewajibannya sebagai anak. 

Menjelang awal musim dingin, ada desas-desus bahwa Amerika akan melancangkan perang melawan Irak. Ada desas-desus bahwa seorang gembong teroris menantangi Amerika akan sebuah perang biokimia yang takkan terlihat ujung pangkalnya. Berbagai macam upaya pencegahan dirancang oleh para jenderal berbintang lima, dikepalai oleh sang presiden yang sejak kejadian bulan September lalu jadi sering muncul di layar televisi. 

Ada desas-desus bahwa kedua pesawat yang menabrak menara kembar di tengah kota New York, dan dua pesawat lain yang menghantam markas tentara Pentagon di Washington, D.C. dan yang tumbang di Pennsylvania, dibajak oleh sejumlah teroris yang sempat menuntut ilmu di sekolah penerbangan di Florida. Ada desas-desus bahwa rakyat Palestina bersorak-sorai menyambut jatuhnya pusat perdagangan di New York, mengundang caci-maki dari berbagai pihak yang bersangkutan. 

Lalu, ada juga sejumlah fakta yang dipublikasikan berulang-ulang, sulit diterima oleh hati nurani: metode pembajakan, rekamÂ-an pembicaraan antara para penumpang pesawat dengan keluarga mereka, kesaksian para korban yang sempat menyelamatkan diri dari runtuhnya menara kembar, data-data kecepatan pesawat di udara saat terjadi tabrakan, sampai jumlah tubuh manusia yang diduga masih terperangkap di bawah reruntuhan. 

Andari berhenti membaca koran. Lima tahun mendatang, saat ia mulai membaca koran lagi dan mulai membiasakan diri untuk salat lima waktu sebagaimana diwajibkan kepadanya, ia akan membaca serentetan kejadian yang menyerang ketenteraman kota Beirut. Israel dan jet-jet perangnya akan kembali memborbardir Lebanon demi mengusir kekuatan Palestina keluar dari sana. Ribuan nyawa hilang tanpa alasan. 

Sekali lagi, pertumpahan darah menghiasi setiap media massa di dunia. Gambar-gambar mengerikan yang mengiris hati kembali tampil sebagai headline, dan selama beberapa minggu serangan itu akan terus berlanjut, menyulut perang baru yang menyedihkan. Tapi, itu nanti. Sekarang, Andari puasa membaca koran. Mencoba untuk tidak peduli. 

Andari hanya ingin mencairkan hatinya yang makin membatu dengan jalannya waktu. Setiap malam ia pergi bersama rekan-rekan kerjanya untuk merayakan lajang mereka, berkaraoke di bar, menyanyikan lagu-lagu lama karya Frank Sinatra, Nat King Cole, Engelbert Humperdink, dan menyaksikan gadis-gadis penghibur berdansa di hadapan mereka. Mencoba menu restoran baru yang mulai bermunculan di seluruh pelosok kota, mencicipi masakan berbagai bangsa. Berjoging di tepi Sungai Hudson sebelum matahari terbit, memeras keringat, dan melahap sarapan di kedai kopi terdekat

Menerima tawaran kencan buta dan bercumbu di dalam bioskop, membiarkan penari telanjang berambut pirang dan bermata biru berdansa di atas pangkuannya di dalam klub eksotis, bercinta di kursi belakang mobil, dan bercinta lagi di kamar-kamar motel. Di akhir semua itu, ia kembali ke apartemennya yang kosong melompong seperti ruang dalam dadanya. 

Suatu hari, saat salju mulai jatuh bertaburan dari langit, Andari berjalan bersama salah seorang rekan kerjanya di daerah Queens, hendak mencicipi sebuah restoran Padang yang terkenal masakannya di kalangan perkumpulan mahasiswa Indonesia. 

Sambil menghindari genangan salju cair yang menitiki tepi-tepi jalan, Andari tidak sengaja melihat sebuah toko kelontong yang samar-samar ia kenal. Ia meminta izin pada rekan kerjanya untuk mampir sebentar, maka mereka pun masuk ke dalam toko tersebut. 

Andari mengenali barang-barang keperluan rumah tangga yang menumpuk di sudut-sudut ruangan, di atas rak plastik yang sudah reyot, sama seperti ketika ia melihatnya dulu, untuk pertama kali, bersama Aysha. Mendadak harapannya tumbuh kembali. 

Telinganya menangkap dengungan listrik yang merambat keluar dari balik lampu neon di atasnya, dan ia tersenyum. Tidak salah lagi, pikirnya. 

“Permisi,” panggilnya. Ia menemukan sebentuk bel yang diletakkan di atas counter dengan secarik kertas bertuliskan: “bunyikan jika butuh bantuan” terpampang di sampingnya. Andari menekan bel itu berkali-kali, yang kemudian mengundang seorang pria Timur Tengah seusianya untuk keluar dari pintu yang dulu juga pernah dilewati Andari. Mulutnya penuh nasi.

“Maaf,” ujar si pria, sambil buru-buru mengunyah makanan dalam mulutnya. “Saya tidak mendengar Anda masuk.”?
Andari tersenyum kikuk. “Oh, maaf. Justru saya yang mengganggu makan malam Anda,” ujarnya menyesal.

Si pria mengibaskan tangannya di udara. “Ah, tidak,“? katanya. “Pelanggan selalu nomor satu. Ada yang bisa saya bantu?“

“Saya tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini,“? tutur Andari, malu-malu. “Tapi, beberapa bulan yang lalu saya sempat datang kemari bersama seorang teman, dan tampaknya ia kenal dengan orang yang bekerja di sini.”
Pria itu menatap Andari. Tidak mengerti.

“Well, teman saya itu tiba-tiba menghilang. Saya berharap Anda tahu di mana dia berada sekarang.” 

“Siapa nama temanmu?” tanya pria itu.

“Aysha,” kata Andari, dadanya berdebar kencang menyebut nama itu. 

“Aysha?” tanya pria itu, seraya mengusap kedua belah tangannya di atas selembar handuk kecil. “Anda sendiri siapa?” 

Andari mengeluarkan kartu namanya dari dalam saku, meletakkannya di atas counter. “Nama saya Andari Maimar. Saya teman dekat Aysha,” kata Andari.

“Saya Khaled,” ujar pria itu, yang hanya melirik sekilas ke arah kartu nama Andari, tanpa mengulurkan tangannya untuk dijabat. “Saya sepupu Aysha.”


                                                                                           cerita selanjutnya >>


Penulis: Maggie Tiojakin



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?