Fiction
DENSEMINA [5]

15 Jun 2012


Harjoyo menyadari satu hal, ketertarikannya terhadap gadis itu. Ketertarikan itulah yang mendorongnya untuk selalu ingin pergi ke rumah panggung tempat Albert dan keluarganya tinggal. Sore itu ia memutuskan untuk sekali lagi menemui Albert. Maksudnya melalui Albert, siapa tahu, ia bisa bersua Densemina di sana.


Waktu itu mentari telah lama condong ke arah barat. Cahaya mentari yang lembut berwarna keperakan jatuh ke permukaan laut, membentuk bintang-gemintang persis seperti pendar nyala kembang api. Sementara permukaan air laut makin lama makin tinggi dan perlahan-lahan menelan bibir pantai.

Saat menjejakkan kaki ke rumah Albert, ia langsung memperoleh yang diidam-idamkannya. Densemina ada di sana. Gadis itu berada di beranda depan tengah mengerjakan sesuatu. 

Gadis itu menurunkan sesuatu, sesuatu yang diangin-anginkan dan bergelantungan seperti tali, dari bawah atap rumah. Entah mengapa, Harjoyo merasakan hatinya bersorak saat melihat gadis itu. Serasa ada gelombang hangat bergejolak di dalam sana.

Ia tertegun sejenak. Setelah gadis itu berada di depan matanya, apa yang akan dilakukannya kini? Tapi, sesaat kemudian ia memilih untuk duduk di depan gadis yang tengah asyik berjongkok dan sibuk dengan tali-temalinya.

Mereka belum lama berkenalan. Meski beberapa kali ia mengunjungi rumah ini, waktunya selama berada di sini selalu dihabiskannya bersama Albert. Karenanya, ia berusaha bersikap sesantai mungkin, agar gadis itu tidak takut akan kehadirannya. Pada saat yang sama ia berusaha keras mencari cara untuk mencairkan kebekuan di antara mereka.

Untunglah Densemina bukanlah gadis pendiam. Setidaknya, saat melihat sahabat kakaknya duduk di depannya, ia mempersembahkan senyum manisnya. Harjoyo tercekat menyambut kehangatan yang terpancar dari gadis itu. Senyum manis itu melumerkan kebekuan di antara mereka.

“Bikin apakah?” sapa Harjoyo, membuka kata.

“Bikin keranjang,” jawabnya. 

Dengan cekatan jari-jemarinya mengatur sulur-sulur panjang dari pandan hutan yang telah beberapa hari ia angin-anginkan. Setelah sulur-sulur itu terjajar rapi, ia mulai menganyam. Mulanya anyaman itu berbentuk jajaran-genjang sederhana. Kemudian, jajaran-genjang itu makin lama makin melebar dan terus melebar.

Dengan leluasa Harjoyo memerhatikan gadis muda yang tengah sibuk menganyam keranjang. Ingatannya berkeliaran jauh, ke kampusnya di Surabaya dan berhenti pada satu sosok, Nastiti. 

Diperhatikannya gadis yang duduk di depannya sekali lagi. Gadis ini jauh berbeda dari Nastiti, kembang kampus yang banyak dikagumi mahasiswa. Nastiti bertubuh tinggi semampai dengan rambut hitam kelam lurus sebahu. Sementara Densemina justru kebalikannya. Rambut gadis ini keriting. Sedemikian keriting­nya sehingga helai-helai rambutnya seolah menempel di kepalanya seperti helm. 

Sekali ia pernah melihat Dense menyisir rambutnya. Rasanya, untuk rambut yang terlampau ikal semacam itu, tak ada satu pun sisir buatan pabrik yang cocok. Dilihatnya gadis itu memakai sisir buatan sendiri. Itu sejenis sisir dari bambu berjari lima. Albert pun memakai sisir yang sama. Tentu saja dengan sisir semacam itu, dan rambut seikal itu, yang bisa dilakukan adalah hanya mencungkil-cungkil rambut sehingga kelihatan seperti gundukan yang lebih besar dari gundukan sebelumnya. Itu saja. 

Tapi, herannya, di mata Harjoyo, rambut Dense yang seperti helm itu justru menambah kecantikan wajahnya.
Apa lagi perbedaan gadis ini dengan Nastiti? Warna kulit tentu. Warna kulit Nastiti kuning cemerlang, persis seperti kulit buah duku. Maksudnya, kuning langsat. Diam-diam diperhatikannya kulit gadis di depannya. Kulitnya gelap. Ya, gelap. Bukan gelap seperti lokomotif kereta zaman dulu. Kulitnya gelap seperti kulit buah salak yang terlampau matang.

Selebihnya? Yang terlihat di hadapannya justru kelebihan gadis itu. Kelebihan gadis ini banyak sekali. Hidungnya mancung, bulu matanya melengkung indah. Sementara kehangatan yang terpancar dari mata, tawa serta senyumnya, benar-benar menyimpan kecantikan tersendiri. Kecantikan misterius yang justru tak disadari pemiliknya.

Hal-hal mendasar inilah yang membedakannya dari Nastiti. Nastiti sadar betul dirinya cantik. Ia sadar betul dirinya pintar. Gabungan antara kecantikan dan kepintaran yang dimilikinya membuat dirinya terlalu sadar diri, sehingga justru terkesan angkuh. 

Sehingga, bagi Harjoyo, lebih baik menghindar berdekatan dengan gadis yang terlampau angkuh seperti Nastiti. Meskipun, beberapa teman mengatakan, satu-satunya pria yang membuat Nastiti tak terlampau menonjolkan diri bila berdekatan, hanya dirinya. Tapi, sejauh ini ia lebih suka menghindari gadis itu. 

Sekali lagi ia mencuri pandang kepada gadis yang tengah mengerjakan anyaman di depannya. Berbeda dari Nastiti yang ingin dijauhinya, kehangatan dan keluguan gadis ini justru menjadi magnet tersendiri, sehingga membuatnya selalu ingin mendekat.

“Boleh sa bantu?” 

Harjoyo tergelitik melibatkan diri dalam proses anyam-menganyam, setelah melihat Dense membuat silangan di sana-sini. Kelihatannya mudah.

Gadis itu tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meski begitu, diulurkannya juga pekerjaannya kepada pria muda di depannya. Setelah itu Dense memberinya petunjuk membuat silangan-silangan yang benar kepadanya. 

“Yang ini masuk ke sini. Lalu, yang ini keluar dari sini. Gampang, Kaka.”

Saat proses belajar-mengajar tengah berlangsung, tanpa sengaja tangan keduanya bersentuhan. Hati Harjoyo bergetar lagi. Tangan gadis ini, pikir Harjoyo, begitu kasar. Tipe tangan pekerja. Pikirnya lagi, berarti telah banyak kali ia pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Telah banyak kali ia menjelajah pinggiran pantai untuk mendapatkan pandan hutan. Telah banyak kali pula tangan-tangan kasar ini menghasilkan keranjang anyaman.

Di teras belakang Albert dan beberapa sepupunya tengah menyiapkan perlengkapan untuk melaut. Ia telah menyiapkan jaring dan pancing serta menaruh sebuah lampu petromaks ke dasar perahu. Kini ia tinggal mengatur bahan-bahan makanan ke dalam keranjang dan kompor kecil yang akan diisinya dengan minyak tanah. Bahan makanan adalah amunisi utama yang tak boleh ketinggalan. Karena, seperti biasa, mereka akan melaut sampai ke perbatasan dengan negeri tetangga, Papua Nugini. Untuk itu awak perahu perlu asupan makanan yang cukup, karena mereka baru akan kembali esok sore.

Saat tengah asyik mempersiapkan segala sesuatu, ia menyempatkan diri melihat ke beranda depan. Sahabat dan adik perempuannya sedang berada di situ. Ia menarik napas panjang untuk dua hal yang melintas dalam pikirannya. Ada dua bentuk pikiran, yang sama sekali tak berhubungan, berlompatan dan saling menunjukkan diri untuk mengada. Sekembalinya dari Jawa, di matanya, sahabatnya itu terkesan terlalu lembut. 

Bayangkan, pada minggu pertama saja ia sudah sibuk mengikuti para wanita mencari kayu bakar. Seminggu kemudian ia asyik berkutat dengan adik bungsunya membuat cakalang bakar dan sambal terasi di atas tungku sederhana rumah mereka. 

Meski cakalang bakar dan sambal terasi buatan sahabatnya itu luar biasa enak, di matanya, aneh saja melihat pria seterampil itu berurusan dengan dapur. Seingatnya, tak ada satu pun pria sesukunya yang berani menyentuh wajan dan belanga. Apalagi seperti itu, terampil memasak. 

Wuih, membayangkan dirinya menyentuh belanga saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri. 

Sekarang? Dilihatnya sahabatnya itu sekali lagi. Apa yang kini dikerjakannya? Menganyam keranjang? Uh, sungguh-sungguh bisa membuat pria seperkasa dirinya menjadi banci.

Di sisi lain pikiran jernihnya melintas. Di samping sifat sahabatnya yang terlampau lembut itu, sesungguhnya pemuda Jawa itu tak ada bedanya dari pria lain. Artinya, ia tumbuh normal sebagai pria muda, lengkap dengan kumis dan jenggot, meski selalu dicukurnya. Suaranya pun sama seperti pria lain, besar, khas pria. 

Lantas apa yang membedakan dari dirinya? 


                                                                                      cerita selanjutnya >>


Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2007


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?