Fiction
Dengarkan Kisahku, Hasian [9]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Hati Jojor berdentam-dentam, seperti sebuah genta besar bertalu-talu di lembah sunyi. Ia seperti digodam palu raksasa. Ibunya memucat memandangi wajahnya yang juga memucat. Bagaimana bila bindes itu benar? Bagaimana…? Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa siklus bulanannya sudah terlambat beberapa minggu.

Bila itu terjadi beberapa minggu lalu, berita itu bisa mengakhiri semua gundahnya. Ia akan merasa bahwa seluruh langit kebaikan bergulung menyelimuti dirinya, menudunginya dari semua aib dan nestapa. Namun kini? Bukankah itu malah akan menjadi bencana besar baginya? Mengapakah Tuhan terlambat menjawab doanya?

“Kamu memang positif hamil! bindes itu menunjukkan sebuah alat tes kehamilan. Ia tak tahu apakah harus bergembira atau bersedih menyampaikan kabar itu. Bindes itu hanya memberinya tatapan ‘aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.’

Jojor terpaku. Ibunya memeluknya sambil menangis. Jojor mematung lalu menyurukkan badannya ke dada tua ibunya.

Ingatan Jojor menerawang, melintasi lapisan-lapisan kenangan yang sebenarnya hendak dikuburnya. Diingatnya waktu terakhir kalinya ia berseranjang dan memadu kasih dengan Togi. Ya, dua hari sebelum kedatangan kedua mertuanya yang kemudian memberi vonis tergetir dalam hidupnya. Itu sudah sekitar tiga minggu lalu. Berarti, sebuah kehidupan lain sudah bersemayam di rahimnya selama itu tanpa disadarinya. Inikah jawaban doanya? Telah ingatkah Tuhan dengan kandungannya? Tetapi… mengapa selambat ini?

“Kita harus segera memberi tahu keluarga suamimu, simpul ayahnya tegar dan tegas.

“Ya, Ibu pikir juga begitu!

“Tidak! sahut Jojor tegas.

Kedua orang tuanya membelalak, tidak menyangka jawaban putri mereka.

“Tidak boleh begitu, Boru! Biar bagaimanapun, itu adalah anak Togi. Anak itu punya ayah. Ketidakhadirannyalah yang membuat rumah tangga kalian jadi seperti sekarang. Jadi, kehadirannya pasti dapat memperbaiki semua ini, dengan berusaha tenang, ayahnya memberi wejangan.

“Sekarang kita tak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan mereka! Mereka tak berhak apa-apa atas kita! suara Jojor dingin.

“Setidaknya, mereka harus tahu bahwa kesalahan bukan sama kamu. Bukan kamu yang tak bisa memberi anak. Mereka saja yang tidak sabar menantikannya, ujar ibunya.

“Apa gunanya lagi? Jojor menyeringai sinis.

“Kalian bisa membangun keluarga kalian lagi, suara ibunya terdengar lagi.

Jojor menatap kedua orang tuanya. Tak tega ia menentang mereka, tapi dirasanya ada yang lebih kuat berbicara dalam hatinya.

“Mereka sudah mencampakkan saya, Ibu. Lalu, ketika pada akhirnya mereka sadar bahwa ternyata saya masih bisa berguna, mereka akan memungut saya lagi. Apa gunanya bagi saya? Itu hanya akan membuat saya merasa bahwa saya memang tidak berarti apa-apa. Seolah-olah saya tidak bisa hidup tanpa mereka. Saya tidak mau menjadi manusia seperti itu.

“Kamu masih mencintai Togi? suara ibunya menohoknya.

Jojor terenyak dengan pertanyaan itu. Seolah ia digiring ke satu pojok sempit dan dipaksa membuat pengakuan. Tapi, disingkirkannya perasaannya. Sekarang bukan saatnya bicara cinta. Pun sudah terbukti bahwa cintanya tak bisa mempertahankan mahligai yang sudah dibangunnya bertahun-tahun. Jadi untuk apa segala kepentingan harus dilabur dengan hiasan renda cinta di tepinya?

“Jangan membicarakan itu lagi, Bu. Tidak ada gunanya lagi.

“Itu artinya kamu masih cinta pada dia.

“Tapi, itu bukan berarti saya harus bersedia menjadi keset yang harus diinjak-injaknya setiap kali dia keluar masuk rumah.

“Jor… cinta itu pengorbanan. Dan tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk seseorang yang kita kasihi.

Jojor mengeraskan hati. Baginya itu bukan berkorban, tapi ditumbalkan.

“Kami datang untuk menjemputmu lagi!

Jojor menatap wajah-wajah di hadapannya yang berselimut cemas dan bersaput rasa bersalah. Beberapa wajah itu sangat dihafalnya. Ada ayah dan ibu mertuanya, ups… bekas mertuanya, serta beberapa tokoh adat yang mendampingi mereka. Dan… ada Togi, bekas suaminya, yang tak henti-hentinya menatapnya dengan pandangan ‘aku telah salah, bersedialah kembali ke pelukanku’.

Jojor tak membiarkan seorang pun membaca isi hatinya. Ia berusaha terlihat setenang mungkin. Sekarang ia mempunyai posisi tawar yang sangat tinggi, semua keputusan ada di tangannya. Akhirnya, roda hidup itu berputar dan kini gilirannya berada di atas.

Ditatapnya Togi, pergi yang di matanya telah berubah menjadi pecundang yang tak berjuang cukup keras untuk mempertahankan apa yang dimilikinya. Namun, ia masih belum bisa menakar besarnya rasa cinta dan benci yang tersisa di ruang yang sama di hatinya. Masih bisa dirasakannya sakit, karena tercampakkan itu. Sebuah pengkhianatan yang manis!

Cinta itu pengorbanan, Boru! Sekelebat petuah ibunya juga terngiang di telinganya.

Saat ini mereka masih diliputi rasa tegang yang sama. Akankah putri mereka cukup berbesar hati untuk melupakan semua kepahitan yang telah direguknya dan menawarkan telaga pengampunan untuk membasuh kesalahan itu? Atau ia akan berdiri di menara gading keangkuhan dan membiarkan tiap mata memandangnya dengan rasa bersalah karena perbuatannya sendiri?

Jojor membuka mulutnya.

Semua menantikan jawabannya. (tamat)

Penulis: Hembang Tambun
Pemenang III Lomba Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?