Fiction
Dengarkan Kisahku, Hasian [8]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Pada malam itu, ketika sipahut itu masih hinggap di salah satu dahan pohon bintatar di samping jabu gorga milik datu itu, ia mengetapelnya dengan jitu. Burung itu tidak sempat hinggap dan menembangkan kidung laranya di bubungan rumah datu itu. Hanya ia yang mengetahui rahasia itu.

Tapi, saat ini, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menyatukan keping-keping mimpi Jojor, putrinya itu, yang sudah pecah dan berserak.

Jojor berbaring di kamarnya, sebuah ruangan berdinding kayu yang sudah mulai termakan usia. Di kamar itu, ia dan beberapa kakak serta adiknya dulu selalu menghabiskan malam bersama. Sekarang, mereka semua sudah mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Rumah itu tak ubahnya hanya sebuah sarang yang ditinggalkan, ketika anak-anak burung sudah belajar terbang dan bersiap membangun sarangnya sendiri. Adiknya yang bungsu sudah menikah tiga tahun lalu dengan seorang manajer di salah satu perkebunan negara di Pekanbaru dan sudah mempunyai seorang bayi perempuan yang sudah mulai belajar berjalan.

Sebentar-sebentar Jojor membalikkan badannya di pembaringan. Ia tak bisa memejamkan matanya barang sekejap. Hatinya masih terlalu kacau dengan semua yang baru saja menimpanya. Semua itu seperti kepingan-kepingan puzzle yang tidak tahu harus dibentuk menjadi apa. Kacau. Kusut. Rumit.

Diam-diam dia merindukan Togi. Saat dia memejamkan mata dan mencoba bernapas dengan perlahan, ia seperti dapat mencium bau tubuh pria itu. Namun, menyadari realita, hatinya merasa tertusuk. Seonggok benci yang bertunas di salah satu relung hatinya mulai berkecambah. Pada suatu masa ia merasa diinginkan, dan itu membuatnya tersanjung. Tetapi, di suatu masa yang lain ia benar-benar dicampakkan, dan itu membuatnya terhina.

Memikirkan hal itu, ia merasa sesuatu memilin-milin perutnya. Tiba-tiba saja ia merasa mulas dan ingin muntah. Pastilah tidurnya yang tak lelap beberapa malam ini yang menjadi penyebabnya. Terlebih lagi ia sudah cukup bergumul dengan iklim gunung menggigilkan yang sudah lama tidak digaulinya, walau ia sudah membungkus diri dengan pakaian tidur dan sebuah jaket, sehelai sarung, selimut tebal, serta kelambu.

Mual itu makin melilit, membuatnya menahan napas sejenak untuk berusaha meredakannya. Namun, tidak berhasil. Perlahan ia berusaha bangkit. Dikatupkannya mulutnya keras-keras, menahan sesuatu tak mengenakkan yang sudah mencapai garis atas kerongkongannya. Setengah berlari ia menuju kamar mandi dan rasa mualnya mendapat pelepasan di sana. Ia tidak memedulikan kegelapan di sekelilingnya, karena tadi tak sempat menyalakan lampu.

Walau kampung mereka tergolong terpencil, layanan listrik sudah lama mereka nikmati, karena salah satu anak asli kampung itu telah menempati posisi cukup penting di perusahaan negara ini. Dialah yang mengajari penduduk desanya membuat proposal agar mendapat sarana penerangan yang dianggap mewah itu. Sementara untuk pelayanan air bersih, penduduk desa dibantu oleh sebuah pabrik pengolahan kayu dengan membuat jaringan pipanisasi, menyalurkannya langsung dari mata air pegunungan ke desa-desa. Sejak itu kerja keras mengangkat air dari pancuran menjadi cerita, tinggal sejarah.

Tapi, bantuan-bantuan itu meminta tumbal. Perusahaan pengolah kayu itu dengan bebas membabat hutan-hutan mereka. Debit air sungai yang menjadi sumber pengairan sawah-sawah mereka cepat menurun, bila musim kering mulai datang. Sebagian orang mulai menunjukkan protes, tetapi gaung suara mereka sudah diredam bantuan yang mereka terima. Mungkin mereka baru benar-benar berani berteriak bila sungai-sungai itu mulai kering. Dan itu hanya menunggu waktu!

Tiba-tiba lampu menyala. Jojor sedikit terkejut, tetapi pikir¬annya masih terfokus pada mulas berkepanjangan di perutnya. Bisa dipastikan wajahnya pucat. Ia mendengar suara langkah perlahan mendekat.

“Kamu kenapa, Boru?” ibunya datang sedikit tergopoh.

Jojor tak menyahut, memejamkan mata menahan rasa mual itu.

“Kamu pasti masuk angin.” Ibunya mulai mengurut kepalanya dengan kedua tangannya. “Ibu akan ambilkan balsem,” gumamnya, lalu pergi.

Jojor sudah bisa menguasai diri. Rasa mualnya sudah berhenti. Sekarang ia sudah berbaring di tempat tidurnya. Di sampingnya, ibunya yang renta masih setia memijat-mijat kepalanya. Malam itu, ibunya akhirnya tidur di kamarnya. Jojor merasa seperti anak kecil lagi yang merasa nyaman dengan kehadiran sang ibu di sisinya. Hatinya hangat.

“Sebaiknya kita pergi periksa ke bindes (bidan desa) besok,” saran ibunya sebelum mereka berdua terlelap.

Ibu bindes itu memeriksa Jojor dengan teliti. Keramahannya menenangkan hati setiap pasien yang dihadapinya. Ia sudah puluhan tahun berpengalaman menghadapi orang-orang di desa itu. Dan keramahannya itu bisa mengatasi banyak hal. Namun, Jojor dan ibunya benar-benar tidak menyangka ketika bindes berumur empat puluhan tahun itu meminta untuk memeriksa urinnya.

“Untuk apa? Jojor pucat.

“Hanya untuk memastikan. Sebaiknya kita jangan hanya menebak-nebak! jawabnya, berat.

Bindes itu juga pasti sudah mengetahui riwayat Jojor. Di desa seperti ini, kejadian kecil yang dialami seseorang bisa tersebar dengan begitu cepatnya sampai ke kaki-kaki gunung yang masih berpenghuni. Apalagi, yang dialaminya ini, dipulangkan keluarga suami ke rumah orang tua sendiri, karena tidak kunjung mempunyai anak.

Penulis: Hembang Tambun
Pemenang III Lomba Mengarang Cerber femina 2008




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?