Fiction
Dengarkan Kisahku, Hasian [3]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Anak-anak gadis di kampung saja sekarang sudah tak suka pa¬kai bahasa daerah. Seolah mereka malu menjadi orang kampung. Padahal, bahasa Indonesia-nya juga marpasir-pasir, campur-campur!” kritiknya. “Makanya, senang kali aku punya calon menantu yang cantik, tetapi juga bisa diajak ngomong dalam bahasa yang dimengerti para orang tua,” tandasnya.

Jojor tersipu mendapat pujian itu. Hatinya mekar sumringah.

“Jadi Mak, bagaimana dengan gadis-gadis yang di foto itu?” tanya Togi.

“Kau ini ada-ada saja. Jangan dipersoalkan lagi itu!” sahut ibunya.

“Padahal, Mamak ini mau menjodohkan aku dengan gadis-gadis pilihannya, Jor. Ada bidan desa, dokter kabupaten, dan… siapa lagi, Mak?”

“Hush…!” Muka ibunya mutung sambil menaruh telunjuknya vertikal di depan bibirnya, sementara  tawa Togi  makin melebar..

“Mamak-nya yang berpikir aku tak pintar cari istri,” belanya.

Ibunya tak lagi menggubris ocehan putra semata wayangnya itu. Ia mulai sibuk martarombo dengan Jojor, menanyakan asal-usul keluarga sebagai sebuah proses penelusuran silsilah keluarga, yang berfungsi menentukan dasar hubungan kekerabatan.

Bagi setiap orang Batak yang belum saling mengenal, ini menjadi ritual wajib di awal pertemuan, yang biasanya dimulai dengan menanyakan marga seseorang. Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan, kata orang Batak! Tanyakan marga dahulu, barulah tahu hubungan kekerabatan. Namun sebenarnya, bagi Jojor dan wanita yang sangat antusias di hadapannya, hubungan itu sudah ditetapkan. Sebagai calon menantu dan calon mertua. Mereka kelihatan seperti sudah akrab bertahun-tahun. Akur, ceria, dan nyambung.

Desember tiba. Terlihat suasana ceria di mana-mana. Seisi kota berhias menyambut Santa Claus. Natal telah berubah menjadi momen hura-hura. Cerita tentang kelahiran bayi suci yang terbaring dalam palungan nun jauh di Betlehem sana hanya terbingkai dalam foto-foto usang. Sekarang semua sudah berubah.

Rasanya, baru kemarin semua pusat perbelanjaan kota ini berhias ketupat Lebaran. Namun, hari ini sudah berganti busana dengan rumbai-rumbai hiasan Natal. Sebentar lagi, pohon-pohon Natal itu juga akan masuk gudang, diganti lampion merah menyambut tahun baru Cina. Ah, betapa cepatnya waktu berlalu.

Dan, kesibukan Desember kali ini menjadi berlipat-lipat bagi Jojor. Ia dengan sukarela mengikatkan dirinya seumur hidupnya dengan seorang pria yang dicintainya. Ia mempersiapkan segalanya demi upacara sakral yang hanya akan dijalaninya sekali seumur hidup itu. Ia pun pulang kampung setelah tiga tahun tak menginjak tanah kelahirannya. Sejak ia tamat kuliah dan merintis karier di kota, inilah kali kedua ia pulang kampung. Sekaligus untuk acara pernikahannya.

Syukurnya, ia masih mempunyai dua orang tua yang dengan rela hati bersusah-susah mengurusi pernikahannya. Para raja adat berembuk mengenai adat yang sudah tak begitu akrab lagi dengan generasi muda, apalagi bagi mereka yang tinggal di rantau. Ia hanya manut seperti kerbau dicucuk hidungnya, mengikuti instruksi yang diberikan padanya. Apalagi ia adalah mempelai wanita. Dalam adat Batak, pihak mempelai prialah yang bertanggung jawab dengan pelaksanaan semua upacara adat.

Rombongan keluarga mempelai pria menjemputnya dengan iringan ogung sabangunan –gendang tradisional Batak, yang sudah jarang diperdengarkan– menciptakan keriuhan dan decak kagum warga sekampung. Jangankan di milenium ini, zaman dahulu saja hal itu sudah merupakan keistimewaan yang cukup langka. Semua gadis berharap dijemput dengan iringan gendang atau musik yang meriah di hari perkawinannya, namun bagi kebanyakan gadis, itu hanya impian yang teramat jauh dijangkau. Maka, tak heran bila semua mata memandang kepergiannya dengan harapan ingin ketiban rezeki seperti dirinya. Tetapi, seberuntung itukah dirinya?

Togi menggamit tangannya dan membawanya ke altar sebuah gereja tua di atas bukit indah yang dikelilingi hutan pinus. Sepertinya lebih indah dari cerita-cerita perkawinan pangeran dan sang putri dalam kisah dongeng. Pangeran gagah itu menuntunnya ke hadapan Tuhan untuk memohon pasu-pasu parsaripeon, berkat suami-istri. Di sana, di hadapan ratusan jemaat yang memadati upacara pemberkatannya, Togi melingkarkan cincin di jemarinya. Namun, ia juga bisa merasakan bahwa pria itu melingkarkan cinta pada hatinya.

Lalu mereka mengikuti ritual adat yang cukup menguras tenaga. Ia masih ingat beberapa petuah dan umpasa, pantun Batak yang disampaikan oleh para kerabat kepada mereka berdua.

Bintang na rumiris, ombun na sumorop
Maranak pe riris marboru pe torop
(Bintang bertaburan, embun bergumpal menutup padang)
(Anak laki-laki berbaris-baris, anak perempuan pun tak kurang)

Lalu tiba-tiba terdengar seruan ‘emma tutu!’ –semogalah demikian– laksana sebuah koor yang sudah terlatih. Ungkapan itu merupakan sahutan spontan yang diberikan setiap orang tiap kali sebuah umpasa selesai diucapkan. Itu sebagai ungkapan persetujuan bersama untuk mengaminkan maksud baik di balik isi umpasa itu. Ketika sebuah umpasa diberikan, secara serentak semua orang akan menyahut ‘emma tutu!’ tanpa dikomando. Dan sepertinya, sahutan koor itu masih terngiang di telinganya hingga saat ini. Memantul-mantul laksana gaung yang terbentur pada sebuah tebing curam.

Giringgiring ma tu gostagosta
Sai tibu ma hamu mangiringiring, tibu mangompaompa
(Lonceng kecil, lonceng besar pula)
(Cepatlah punya anak dan menggendongnya)

Umpasa itu diucapkan seseorang –entah siapa persisnya, ia lupa– sambil menyerahkan sehelai kain gendong bayi setelah melingkarkan ulos ke pundaknya bersama mempelainya. Lagi-lagi koor ‘emma tutu!’ terdengar riuh.

Laklak di ginjang pintu, singkoru ginolomgolom
Maranak ma hamu sampulu pitu, marboru sampulu onom
(Kulit pohon di atas pintu, saga-saga dalam genggaman tidak lepas)
(Milikilah anak laki-laki tujuh belas, anak perempuan enam belas)

Umpasa yang ini betul-betul diingatnya. “Punya 17 putra dan 16 putri? Mana ada wanita yang sanggup melahirkan 33 anak,” pikirnya geli saat itu. Ketika pantun ini diucapkan, ia ingat, tangan kirinya mencubit pinggang Togi dengan gemas. Dan, suami terkasihnya itu masih sempat-sempatnya berbisik nakal, “Kamu kuat nggak ngelahir¬in 33 anak, Hasian?”

Dan koor ‘emma tutu!’ meronai rasa geli mereka.

Sahatsahat ni solu, sahat ma tu bontean
Sahatma hamu leleng mangolu, sahat tu panggabean
(Berlayarlah perahu sampai ke pelabuhan)
(Kiranya hidup kalian panjang dan memiliki keturunan)

“Emma tutu!”

Ia baru menyadari bahwa hampir semua umpasa itu merupakan kata-kata berkat dan pengharapan yang sangat menjunjung tinggi arti pentingnya memiliki keturunan. Apalagi Togi, suaminya itu adalah satu-satunya penerus marga dalam keluarganya. ‘Kebatakannya’ kini memosisikan dirinya dalam situasi sulit. Dan, kesadaran itu makin menghunjam ulu hatinya, saat lima tahun mengarungi mahligai perkawinan tanpa anak.

“Bang, saya sudah putuskan untuk berhenti kerja. Mulai bulan depan, saya tidak akan ngantor lagi!” Jojor memberitahukan putusan bulatnya pada suaminya.

“Prosedur kantormu?”

“Sudah beres!”

Togi menatapnya serius. Keputusan telah dibuat. Apalagi yang bisa dikatakannya? Apalagi, ia sudah tahu betul watak istrinya, berpendirian teguh dan konsisten dengan sesuatu yang sudah dipilihnya. Apalagi, secara finansial mereka memang nggak ada masalah. Tak sampai separuh dari penghasilan Togi saja sudah lebih dari cukup menutupi semua kebutuhan bulanan mereka.

“Abang takut kau tak kerasan di rumah,” ia terlihat khawatir.

“Kita lihat saja,” jawabnya pasti.

Penulis: Hembang Tambun
Pemenang III Lomba Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?