Fiction
Cundamanik [2]

9 May 2012

<< cerita sebelumnya

Dari kawan-kawannya, Prajna tahu, Sekar memang sengaja menghilang. Tapi, ke mana?

Prajna berharap Cunda tak curiga ketika ia sering memandanginya di kala sendirian di ruang baca. Dan memang, Cunda tak pernah tahu, dalam sepotong bulan itu tersimpan masa lalu suaminya.
 
Mencari Hingga Ujung Dunia
Menjelang senja hari itu, hati Cunda cemas karena suaminya belum juga pulang. Sudah terlambat dua setengah jam. Ia tidak menghubungi telepon suaminya, karena telepon itu tertinggal di atas meja kerja. “Terburu-buru.” Pasti Prajna akan menjawab begitu, jika Cunda mengatakan mengapa teleponnya sampai tertinggal. Dan, itu sering,kali terjadi, berulang-ulang hingga Cunda hafal.

Sudah kali kelima Cunda menyibak tirai untuk melihat pekarangan. Musim gugur baru mulai. Daun-daun kering menyerak di tepi jalanan dan pohon maple di depan rumahnya pun sudah merontokkan daun-daunnya. Cunda mendesah. Sebenarnya cukup sering Prajna terlambat pulang, tetapi biasanya tak sampai selambat ini tanpa berkabar, padahal telepon umum sangat mudah didapati. Hati Cunda  makin resah ketika memikirkan itu.

Sekali lagi, ia menyibak tirai hujau muda. Tiba-tiba matanya membulat gembira. Ia lekas berlari ke arah pintu dan membukanya. Menyambut Prajna datang dengan senyum mengembang.
“Kau membuatku khawatir, Prajna! Sangat terlambat kau pulang. Tak mungkin aku hubungi kamu, karena teleponmu tertinggal.”
“Ya, terburu-buru. Maafkan aku tak berkabar juga. Tadi sepulang mengajar ada rekan dari Indonesia yang ingin ditemani ke museum. Maka kubawa ia ke Stuttgart. Lalu aku mendapatkan ini.”

Prajna membuka gulungan lukisan. Kening Cunda mengerut mengamati lukisan itu. Sungguh! Kualitasnya sama dengan lukisan yang kemarin dulu  dibeli Prajna. Biasa-biasa saja. Lukisan perempuan berkebaya menggendong --tepatnya mendekap-- anak kecil melintas di jalanan Kota Paris yang sibuk. Di belakangnya Menara Eiffel menjulang. Cunda tersenyum geli melihat lukisan itu.

“Biar aku yang memberi judul lukisan itu!” kata Cunda, begitu bersemangat.
“Silakan saja!” Prajna membentangkan lukisan tepat di depan Cunda. Perempuan semampai itu menimbang-nimbang.   
“Mencari hingga ujung dunia. Ah… apa yang ia cari?” Cunda tertawa kecil oleh kalimatnya sendiri.

“Kenapa?” Prajna bertanya menakar gemerincing tawa Cunda.
“Sangat mengharukan. Perempuan berkebaya itu, ia mengalami gegar budaya kala melangkah di sana. Wajahnya belum sepenuhnya tinggal di kota itu, apalagi pakaiannya. Bukankah itu kebaya dan kain, dan cara berbusana perempuan Indonesia di masa sebelum merdeka?” Mereka tertawa. Tetapi tawa Prajna lebih berupa erangan daripada kegembiraan akan lelucon yang tadi dibicarakan. Tetapi, Cunda tidak menyadarinya.

“Kau setuju dengan judul itu?”
“Tentu saja! Kurasa itu pas. Dengan judul yang kauberikan itu, justru karakter subjek ini kentara,” Prajna berlagak menjadi komentator. Lalu lanjutnya, “Ia telah pindah dari sebuah dunia ke lain dunia. Kebetulan latar belakangnya menara itu. Barangkali kita bisa membayangkan ia berlatar belakang Niagara, Gurun Gobi, kincir angin, spinx dan piramida, atau patung Liberty. Demi sebuah pencarian,” Prajna berargumentasi dengan menghindari tatapan Cunda.

“Kira-kira apa atau siapa, ya, yang ia cari?” gumam Cunda, sambil memandangi lukisan itu. Prajna mengangkat bahu.    

“Kau mendapatkannya di pasar loak lagi?”
Prajna mengangguk. Lalu berbalik memunggungi Cunda sambil mematut-matut lukisan untuk dipajang di dinding.
“Mau dipasang di mana lukisan itu? Ruangan ini nyaris penuh.” Prajna geleng-geleng kepala.    
“Biar ini kupasang di ruang kerjaku saja,” ucap Prajna pada Cunda.
“Semaumu sajalah!” Cunda mengibaskan jarinya.  Prajna berbalik, melangkah ke arah pintu, tapi tiba-tiba, “Tunggu Prajna, sepertinya pelukisnya sama.” Sekali lagi Prajna mengangguk. Cunda menunduk, mencermati nama yang tertoreh. Nama perempuan.
“Siapa dia ini? Rasanya aku belum pernah mendengar nama pelukis Indonesia yang ini. Mmm….”

“Kalau tak salah baca, Sekar.”
“Mmm…  ya. Sekar. Nama yang indah,” celoteh Cunda, mengiringi Prajna hilang di balik pintu dan tenggelam di ruang kerjanya. Memasang lukisan itu di dinding tepat di depan meja komputernya. Lalu ia tatap terus lukisan itu.

“Lekaslah mandi, Prajna!! Makanan akan segera kusiapkan. Kau pasti lelah!” Suara Cunda menghardik lamunan Prajna. Ia segera meletakkan lukisan. Menyabet handuk dan bergegas ke kamar mandi. Tak ada siulan dari bibir Prajna, seperti yang biasa ia lakukan saat mandi. Hanya ada suara keran mengucur deras, sederas kehadiran wajah perempuan masa lalunya. Yang sekarang entah di mana.

Hanya jejak itu ia temukan ketika membeli Rembulan Di Atas Pekarangan. Prajna ingat betul, saat lukisan itu dibuat. Dan, judul yang ia berikan adalah judul asli yang diberikan Sekar. Ketika ia mengajukan usul untuk menamai lukisan itu di hadapan Cunda, sesungguhnya Prajna tengah mengulang hari ketika ia bertanya kepada Sekar.

“Kau akan menamai apa lukisan ini, Sayang?” Sekar bergeming di depan kanvas, memandang lembut, seperti pandangan mata ibu usai melahirkan anaknya. Ia menarik napas dalam dan menoleh pada Prajna.

“Rembulan di Atas Pekarangan,” jawab Sekar, pada suatu siang di rumahnya.
“Judul  yang indah, romantis.” Dan satu kecupan singgah di kening Sekar.

*****
Prajna menggosok-gosok kulit badannya dengan sabun. Aroma segar menguar, mengantar benaknya untuk singgah pada bayangan malam ketika Sekar memulai goresan pertama lukisannya.

Dan ia ada di sisi Sekar, pada suatu malam di lereng Gunung Lawu ketika lukisan itu belum sempurna. Di sebuah gubuk kecil milik penduduk yang selalu terbuka bagi Sekar di kala ingin singgah dan berdiam, merenung atau tengah murung.

Sekar terus-menerus menatap rembulan di langit gelap. Seperti perawan kesepian. Hawa dingin menusuk seolah terbantahkan oleh kekerasan hati Sekar untuk mengambil ruh rembulan demi ia bisa menyempurnakan lukisannya yang tinggal tahap penyelesaian.
“Kalau kau terus pandangi rembulan seperti itu, salah-salah ada yang cemburu, Sekar.” Ia menoleh sedikit pada Prajna yang duduk mendekap lutut menyebelahinya.
“Sudah larut, tak mungkin kita terus berada di sini. Apa kata pemilik gubuk, jika selarut ini kau dan aku belum kembali.”

“Kembalilah dulu ke rumah Pak Ramli.  Aku akan menyusul nanti.”
“Mana mungkin aku tinggalkan kau sendiri di sini?”

Prajna makin memutar keran kamar mandi hingga air itu mengucur menyuarakan kegaduhan. Prajna berharap suara riuh air jatuh sanggup mengusir bayangan malam itu. Ketika ia mendekap erat tubuh Sekar, semua telah terjadi. Menjadi masa lalu yang getir. Karena setelah itu, setelah Sekar menyelesaikan lukisan itu, Prajna tak lagi bertemu Sekar. Sudut-sudut kampus ISI Yogya tak luput dari matanya. Tetapi, Sekar tetap tak ada. Dari kawan-kawannya, Prajna tahu, Sekar memang sengaja menghilang. Tapi, ke mana? Semua kawannya datang pada Prajna untuk bertanya Sekar ada di mana, sementara Prajna sendiri tengah kebingungan mencari.

Sekar memang pribadi yang tertutup dan misterius. Seolah ada jarak antara ia dan keluarganya. Tetapi, ia tak menjaraki dirinya dengan imajinasi dan model-model lukisannya. Apa yang dilukis, itulah yang tengah berkecamuk dalam pikirannya.
****

Sebenarnya, bukan lukisan rembulan itu ketika Prajna berencana mencari sesuatu untuk menyambut kepulangan Cunda dari rumah sakit dulu. Barangkali sepotong baju, atau sepatu yang akan dicarinya di plaza. Tetapi, ketika  melintas di pasar loak, betapa terkejut dia tatkala melihat lukisan yang dia rasa amat mengenalnya.

Tanpa berpikir ulang, Prajna mengambilnya sebagai hadiah penyambutan kepulangan Cunda pascaoperasi. Meski begitu, Prajna berharap Cunda tak curiga ketika ia sering memandanginya di kala sendirian di ruang baca. Dan memang, Cunda tak pernah tahu, dalam sepotong bulan itu tersimpan masa lalu suaminya.

Setelah tanpa sengaja menemukan lukisan rembulan itu, Prajna selalu menyempatkan diri untuk kembali ke pasar loak, siapa tahu ada lagi lukisan dengan goresan nama Sekar. Ia telah berpesan, jika memang ada, maka ia minta kepada penjual itu untuk menyimpannya bagi Prajna. Hingga akhirnya ia mendapatkan Mencari Hingga Ujung Dunia.
Entah apa judul yang sesungguhnya diberikan Sekar pada lukisan perempuan berkebaya itu, Prajna tak pernah tahu. Hanya, Prajna merasa barangkali dirinya yang sedang dicari hingga ujung dunia untuk membuat perhitungan tentang apa yang telah terjadi pada malam itu. Atau Sekar justru meninggalkan Prajna waktu itu, karena ada sesuatu yang ingin ia cari hingga ujung dunia. Berbagai-bagai kemungkinan berkelindan di benak Prajna.
Ketika dulu melihat Rembulan Di Atas Pekarangan, betapa kaget Prajna, bagaimana bisa lukisan itu sampai ke Jerman dan teronggok di pasar loak. Barangkali Sekar kehabisan uang dan menjual ala kadarnya lukisan itu. Lalu kemunculan Mencari Hingga Ujung Dunia makin membuat Prajna merasa, Sekar tak jauh dari tempat dirinya berada. Tapi, di mana? Di Muenchen? Di Stuttgart ini? Atau… di Paris?
Yah! Paris! Prajna tahu, Sekar bersikukuh dengan mimpinya. Ia ingin melihat mahakarya Leonardo da Vinci di Louvre, Monalisa. Prajna yakin, Sekar pernah tinggal di kota cantik nan glamor itu.

Prajna tersentak. Gayung masih menggantung di udara ketika ia mendengar ketukan pintu kamar mandi.

“Lama sekali kau mandi. Seperti perawan saja!” Suara Cunda menghantui. Tiba-tiba ingin sekali Prajna menyepi. Sendiri dan berbincang-bincang dengan dirinya sendiri. Ia butuh merenung. Butuh waktu untuk berdamai dengan masa lalunya. Dan ini tak ada hubungannya dengan Cunda. Jadi, ia rasa, untuk sementara Cunda tak perlu tahu. Karena, jika tahu, Prajna bisa menduga apa yang akan terjadi padanya.

Prajna keluar dengan tubuh segar. Mengeringkan rambut dengan handuknya, lalu menyeruput cokelat panas yang mengepulkan aroma khas. Ia berharap cokelat itu bisa sedikit mengurangi gemuruh gaduh pikirannya akhir-akhir ini.
Makan malam sudah terhidang di atas meja. Sebenarnya Prajna kehilangan selera, tetapi tak sampai hati ia menyedihkan Cunda. Lalu ia menyantap sambil membincangkan cuaca dan permulaan musin gugur yang terlalu cepat kedatangannya.
***

Akhir pekan yang murung. Prajna masih berdiri di stasiun kereta api di Muenchen, ia akan naik InterCity Express –kereta api supercepat ke Stuttgart-- untuk kembali ke pasar loak dan menanyakan apakah ada lagi lukisan karya Sekar. Ia bertekad untuk mencari dan meyakinkan bahwa Sekar baik-baik saja.

Prajna sudah melintasi taman kota. Lapak-lapak nonpermanen penjual barang-barang bekas berjajar rapi. Ia langsung menuju di lapak nomor empat dari kanan tempat ia menemukan dua lukisan Sekar.

Ada kecewa ketika Prajna tidak mendapati yang ia cari. Hanya dari seorang Spanyol --si penjual barang bekas itu-- ia tahu ada perempuan Indonesia yang sepertinya sakit-sakitan sehingga butuh uang untuk pengobatan. Si Spanyol tidak tahu apakah perempuan itu pelukis yang dimaksud Prajna, atau perempuan lain yang kebetulan memiliki lukisan dan bermaksud menjualnya. Ketika si Spanyol menjelaskan ciri-ciri perempuan itu, Prajna tak mengenali. Dan ia meyakinkan diri, bahwa perempuan yang menjual lukisan itu bukan Sekar.
Prajna meninggalkan lapak si Spanyol sambil berpesan sekali lagi, untuk menyimpan lukisan karya seorang perempuan bernama Sekar. Ia meninggalkan nomor teleponnya dan meminta si Spanyol untuk menghubunginya, jika barang itu ada. Lalu ia menghabiskan sisa waktu siang itu dengan duduk-duduk di taman, membiarkan dirinya, membebaskan dirinya berkelana pada lorong-lorong masa lalu dan sisi-sisi lain dari dirinya. Memikirkan perjalanan hidupnya, berikut pernikahannya dengan Cundamanik.

Lalu bayangan Prajna beralih pada rumah kecil tanpa bocah yang memeriahkan hari-harinya. Di hadapan Cunda, ia selalu mencoba untuk tegar dan menyembunyikan harapan itu. Tetapi, hatinya akan kembali berkata: ketika ia bisa menerima kelebihan dan keistimewaan Cunda, sudah seharusnya ia pun menerima kekurangannya. Lalu Prajna menarik napas lega. Bahwasanya cinta, kebahagiaan, sukacita dan dukacita adalah satu paket kehidupan. Kalimat arif yang dia dapat ketika menemani Cunda berinteraksi dengan warga Gunungkidul. Ya, selama hampir dua tahun Cunda menjadi relawan yang mengajar baca-tulis di daerah tandus itu di luar jam kuliahnya di Gajah Mada.
 
***
Pada akhir musim gugur itu, ketika dahan dan ranting-ranting kering menadah langit, Prajna mendapat telepon dari si Spanyol, memberi tahu bahwa perempuan itu datang lagi dengan lukisannya. Dan si Spanyol mengatakan bahwa perempuan itu memang pelukis yang telah menjual dua karyanya dahulu. Ia adalah Sekar.

Kepada Sekar, si Spanyol menceritakan tentang seorang lelaki bernama Prajna, yang telah membeli dua lukisannya, bahkan ia menanyakan lukisan karyanya. Betapa kaget perempuan itu. Prajna? Benarkah ia Prajna, kekasihnya   dahulu, semasa di Indonesia? Jika bukan, mengapa ia membeli kedua lukisannya dan sering menanyakan dirinya? Seketika Sekar seperti tersedot oleh kekuatan masa lalu yang dengan sengaja dikuburnya. Tetapi, ia lekas minta diri kepada si Spanyol, dan berjanji besok akan datang lagi ke lapaknya.
Rasanya Prajna sudah tak sabar untuk menemui si Spanyol, setelah mendapat kabar tentang Sekar. Tetapi, Prajna harus bersabar menunggu hingga hari Sabtu. Karena, lapak-lapak itu hanya buka pada hari itu.

Maka, pada akhir pekan berikutnya, Prajna segera berkereta api ke Stuttgart. Untuk datang ke pasar loak. Kereta supercepat itu dirasa Prajna begitu lambat. Di benaknya berseliweran sambung-menyambung antara Cunda dan Sekar. Antara pedesaan di lereng gunung Lawu dan Jerman. Antara Menara Eiffel bersama bayi dalam gendongan dan nihilnya rahim Cunda. Semua berkelindan menyedot perhatiannya hingga kereta nyaris membawanya pada perhentian. Bangunan stasiun sudah berada dalam jangkauan mata.   
“Aku datang!” seru Prajna, begitu sampai di depan lapak si Spanyol. Dan penjual itu menyambutnya dengan senyum mengembang.
“Kau disergap hasrat asing tak biasa,” kata si Spanyol, mencoba menangkap gelagat aneh di raut wajah Prajna. Lalu ia membungkuk, dan tanpa membuang waktu ia menyerahkan segulung lukisan. Prajna membukanya:
Sebuah lukisan yang sangat membingungkan. Dominasi warna gelap dengan sapuan kuas serampangan. Berputar-putar di beberapa bagian. Prajna mulai menduga-duga judul lukisan, lalu ia menanyakan apakah si Spanyol tahu judul lukisan itu.
“Kesepian.” Prajna mengangguk-angguk sambil matanya tak lepas dari lukisan itu.

Tanpa penawaran ia segera membelinya. Tetapi betapa kaget Prajna ketika menerima kembalian uangnya disertai dengan sepucuk surat. Dari Sekar!
***
Prajna mulai menderita kesulitan tidur sejak menerima surat yang dititipkan Sekar kepada si Spanyol. Ia sudah menyangka bahwa Sekar berada tak jauh darinya dan kini dalam kesulitan. Dan yang lebih menyedot pikirannya adalah kenyataan bahwa anak yang sekarang ada pada Sekar adalah anaknya.

Tetapi Sekar tak memberitahu lebih banyak tentang keberadaan diri dan anaknya. Apakah anaknya perempuan atau laki-laki, apakah ia sehat atau cacat. Ia juga tak memberitahu penyakit apa yang tengah dideritanya. Sekar hanya memberitahu bahwa keinginannya terjawab. Yaitu: lukisan Rembulan bisa sampai pada seseorang yang menjadi saksi mata kala melahirkannya.  
Kini Prajna dirudung bingung. Apakah ia akan secara diam-diam menemui Sekar dan anaknya yang jelas sangat butuh bantuan finansial. Ataukah berterus terang kepada Cunda dan akan menghadapi kemungkinan tak terduga darinya. Ia takut persoalan ini akan membunuh Cunda perlahan-lahan seperti yang dia katakan saat  mengajaknya menunggu nyala lilin itu mati secara pelan. Tetapi jika persoalan ini ditutupi terus, bukan tak mungkin suatu saat Cunda akan tahu entah dengan cara apa dan Prajna yakin akan terjadi tsunami dahsyat dalam rumah tangganya.
“Tentu ada yang amat serius kau pikirkan, Prajna? Tak biasanya kau seperti ini?”
“Tidak ada apa-apa, Cunda. Aku baik-baik saja.”
“Kalau begitu tidurlah segera!”

Dan malam semakin larut, Prajna tak juga tenang hatinya, seolah ia menunggu-nunggu kepastian yang sepertinya sia-sia. Kemarin atas izin Prajna si Spanyol memberikan nomor telepon Prajna kepada Sekar. Tetapi Sekar tidak memberi tahu di mana Prajna bisa menghubungi atau menemui. Yang akhirnya membuat Prajna setengah mati menunggu kabar dari Sekar.

Karena semalaman susah tidur, dan hanya beberapa jam saja matanya terpejam, Prajna bangun terburu, berkemas terburu hingga sekali lagi teleponnya ketinggalan di meja kerja.       
Cunda baru saja menutup komputernya ketika ia mendengar telepon milik Prajna berbunyi. Ia mengambil dan menerimanya. Seorang perempuan, menyapa dengan Bahasa Indonesia. Cunda kaget bukan main. Tetapi ketika ia bertanya siapa nama supaya nanti bisa disampaikan kepada Prajna, penelpon itu menjawab:
kawannya dari Indonesia.



Penulis: Indah Darmastuti
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2010


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?