Fiction
Cinta Kala Senja [4]

3 Mar 2012


Wajahnya yang biasanya memancarkan sinar ramah kepada semua orang, tergantikan dengan otot wajah yang selalu tegang dan cemberut. Tumpukan lemak di tubuhnya yang secara perlahan kian bertambah, membuatnya tampak tidak menarik dan terlihat lebih tua daripada usia yang sebenarnya.

Dalam waktu dua tahun saja Lana berhasil menyandang gelar seba­gai manajer terbaik, sekaligus yang paling keras di perusahaan itu.

Dari rumah kecil sewaan, yang dikontraknya dengan alasan supaya dekat dengan kantor, Lana pindah ke sebuah apartemen mewah. Sudah beberapa kali dia membujuk ibunya agar ikut pindah bersamanya. Namun, ibunya selalu saja menolak. Dia tidak mau meninggalkan rumah yang menjadi satu-satunya peninggalan da­ri suaminya. 

Namun, Lana tahu, satu-satunya alasan mengapa ibunya enggan untuk meninggalkan rumahnya yang sekarang. Lana tahu bahwa ibunya itu masih mengharapkan suatu hari suaminya akan pulang kembali padanya.

Pada tahun ketujuhnya di perusahaan tersebut, Lana diangkat menjadi direktur untuk divisi marketing, menggantikan direktur sebelumnya yang naik jabatan sebagai wakil direktur utama. Dalam waktu tujuh tahun saja Lana berhasil meraih gelar wanita terhebat sepanjang sejarah perusahaan, sekaligus gelar wanita paling menyebalkan, paling tidak sabaran dan paling pemarah, yang pernah dimiliki oleh perusahaan tersebut.

Lana bukannya tidak tahu gunjingan-gunjingan yang dilontarkan oleh para karyawan. Dia bahkan pernah secara tidak sengaja mendengar seorang stafnya, sambil tertawa kecil berkata kepada temannya, ”Maklum saja, deh, dia marah-marah kayak gitu. Perawan tua, sih, nggak ada pelampiasan.”

Lana selalu berusaha untuk menutup mata dan telinganya untuk hal-hal seperti itu. Namun, terkadang tak urung hati kecilnya berkata lain.

Bertahun-tahun lamanya sudah dia hidup tanpa cinta. Tidak ada yang dicintainya selain ibunya dan pekerjaannya. Jabatan seba­gai direktur, uang, mobil mewah, apartemen mewah, semua impiannya sudah berhasil diraihnya, kecuali satu hal, cinta dari pasangan hidupnya.

Jauh dalam lubuk hatinya, Lana bisa merasakan perasaan kesepiannya. Terutama, ketika dilihatnya satu per satu stafnya menikah dan melahirkan anak dalam usia yang jauh lebih muda. 

Lana tahu, kesempatannya sudah lama lewat. Usianya merambat naik, seiring perubahan fisik yang membuatnya makin tidak menarik. Lana pernah mendengar pepatah bahwa wanita hanya memiliki satu pilihan dalam hidupnya: karier atau keluarga.

Dia hanya memiliki satu pilihan. Dan Lana sudah menentukan pilihan hidupnya.

Lana memotong wortel di tangannya tipis-tipis.

“Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah bantu Ibu masak.”

Ibunya tersenyum. “Zaman Ibu seumur kamu, Ibu sudah jago masak,” katanya. “Wanita zaman sekarang, mengupas kentang saja lama sekali.”

Lana tertawa kecil. 

“Wanita zaman sekarang tuntutannya juga kan lebih tinggi, Bu. Zaman dulu wanita tidak usah kerja. Cukup mengurus dapur dan anak-anak. Tapi, zaman sekarang, kalau wanita tidak kerja, mau makan apa? Lagi pula, sayang juga kan capek-capek sekolah tinggi, mahal, tapi tidak dipakai.”

“Ibu tidak berniat meminta kamu berhenti kerja. Yang penting, kamu jangan terlalu sering makan di luar, Lan. Tidak baik untuk kesehatan,” kata ibunya. Dengan cekatan dimasukkannya bahan-bahan masakan ke dalam panci yang berisi air mendidih.

Lana tertawa dalam hati. Tanpa ibunya beri tahu pun, Lana sudah mengetahuinya sejak puluhan tahun yang lalu. Namun, Lana hanya mengiyakan saja nasihat dari ibunya itu. 

Tanpa sadar mata Lana menangkap kilau yang terpancar dari jari manis kirinya. Hampir saja dia lupa tujuan utamanya ke sini.

Lana berhenti memotong-motong wortel. Dibalikkannya badannya, kemudian dia bersandar pada meja dapur.

“Bu,” dipanggilnya ibunya yang berdiri membelakanginya dengan jantung berdebar.

“Hmm?” gumam ibunya tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk dengan sayur dan daging yang sedang diolahnya.

“Saya akan segera menikah, Bu,” kata Lana dengan nada sete­nang mungkin, menyembunyikan debar keras jantungnya.

Tangan ibunya langsung berhenti. Dia membalikkan badannya dengan cepat, menatap putrinya dengan terkejut. Lana mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin di jari manis kirinya.

“Surya melamar saya kemarin,” katanya, tanpa mampu menahan senyum bahagianya.

Tanpa berkata apa-apa ibunya hanya menghampirinya, kemudian memeluknya erat.

“Akhirnya Tuhan menjawab doa Ibu. Tidak ada yang Ibu ingin­kan selain melihat kamu menikah,” katanya, terharu. 
Perlahan dilepaskannya pelukannya, kemudian ditatapnya Lana dengan mata berkaca-kaca. Di bibirnya tersungging senyum lebar.

“Selamat, Sayang!” katanya, sambil membelai pipi putrinya dengan punggung tangannya.

Senyum Lana makin melebar. 

Lana mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Diteleponnya Surya. Sudah sepuluh menit dia menunggu, namun Surya tak kunjung datang.

“Kamu di mana, Sur? Saya sudah sampai di apartemen kamu,” tanya Lana.

“Ya, ampun, sudah pukul delapan, ya? Saya baru keluar meeting. Oke, sekarang saya berangkat pulang. Kamu tunggu dulu saja di sana, ya.”

Lana melirik arlojinya. “Oke,” katanya.

Lana menutup ponselnya. Dinyalakannya televisi. Tidak ada satu pun channel yang menarik perhatiannya.
Dibukanya laci di rak bawah televisi, siapa tahu ada DVD yang bisa ditontonnya.

Tapi, tidak ada satu pun CD dalam laci tersebut. Yang ada hanyalah tumpukan kertas yang entah apa isinya. Namun, pandangan mata Lana tertarik pada satu tumpukan foto, yang berbaur dalam tumpukan kertas tersebut. Perlahan dikeluarkannya lembaran-lembaran foto tersebut.

Jantung Lana serasa hendak meloncat keluar, saat melihat gambar yang ada di tangannya saat itu. Hanya beberapa lembar foto, namun berhasil menguak semua rahasia yang selama ini ditutup rapat-rapat oleh calon suaminya itu.

Inilah jawaban mengapa sampai saat ini Surya tidak pernah bersedia menceritakan masa lalunya kepada Lana. Ini juga jawaban mengapa sampai saat ini belum pernah sekali pun Surya mengatakan cinta pada Lana. Mungkin Lana juga salah mengartikan sikap sopan Surya yang selama ini ditafsirkannya sebagai sikap seorang gentleman. 
Belum pernah sekali pun Surya menciumnya. Bahkan, sampai mereka bertunangan.

Inilah yang menjadi jawaban dari semua kecurigaan yang sudah muncul sejak perkenalan pertama mereka, mengapa sampai saat ini Surya belum pernah menikah.

Foto pertama, foto saat Surya sedang tertawa lebar bersama dengan seorang pria yang terlihat lebih muda darinya. Mereka saling merangkul pundak.

Foto kedua, foto Surya masih bersama pria yang sama di sebuah daerah bersalju. Keduanya memakai baju ski lengkap dengan kacamata dan juga tongkat ski.

Foto ketiga, tidak ada Surya di sana. Hanya ada si pria misterius, yang sedang tersenyum, seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Tampaknya, foto itu diambil tanpa sepengetahuan pria itu sendiri.

Siapa pria ini? Kelihatannya mereka begitu dekat. Namun, Lana belum pernah sekali pun bertemu dengan pria tersebut. Surya tidak pernah memperkenalkan mereka.

Foto lembar terakhir membuat Lana spontan merasa mual. Kelihatannya foto itu diambil oleh salah satu dari mereka sendiri, bukan oleh orang lain.

Foto Surya sedang berciuman dengan si pria misterius.

Lana melempar foto-foto tersebut dengan jijik. Kemudian dengan seluruh tubuh bergetar hebat Lana berlari ke luar. 


Penulis: Yesi Marianti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?