Fiction
Cinta Kala Senja [2]

3 Mar 2012


Lana mengempaskan tubuhnya di kursi kelas satu yang besar dan nyaman. Merupakan suatu kebetulan belaka bahwa pria yang tadi dibangunkan olehnya ternyata duduk di kursi sebelah kirinya. Pria itu menyunggingkan senyum, seraya menganggukkan kepalanya.

“Perjalanan bisnis ?” katanya, ramah.

“Ya,” sahut Lana singkat, sambil mengangguk. 

“Sendirian?” tanya pria itu. Lana tersenyum. “Seharusnya saya berdua bersama asisten saya untuk penerbangan pagi tadi. Tapi, saya ada urusan penting, jadi terpaksa saya naik penerbangan selanjutnya.”

Pria yang menarik, pikir Lana. Tapi, dia sama sekali tidak berminat untuk melanjutkan percakapan. 

Lana membuka tas tangannya dan mengeluarkan sebuah novel tebal, berharap pria itu menangkap isyaratnya bahwa ia tidak mau diganggu. Lagi pula, dilihat dari penampilannya, kelihatannya pria itu sudah berkeluarga, meskipun sekilas Lana tidak melihat ada cincin di jari manisnya.

“Saya Surya,” pria itu mengulurkan tangannya.

Lana menahan keinginannya untuk mendelik kepada pria yang bernama Surya itu. Memang apa pedulinya kalau dia adalah Surya? Tapi, demi menjaga kesopanan, Lana membalas uluran tangannya.

“Lana,” sahutnya, singkat.

Perkenalan yang menyebalkan, pikir Lana. Dilihat dari segi umur, mereka sama-sama bukan lagi anak muda yang dengan mudahnya berkenalan, lalu saling bertukar nomor telepon. Lana menebak, usia Surya pasti tidak lebih muda dari dirinya. 

“Profesi Anda, kalau boleh saya tahu?” tanya Surya. 

Lana menatap pria itu tanpa tersenyum.

“Marketing,” jawabnya, datar. “Saya mengepalai divisi marketing.”

Surya mengangkat alisnya. “Cukup menarik,” sahutnya, singkat.

“Nah, saya tidak akan mengganggu waktu baca Anda. Terima kasih sekali lagi sudah membangunkan saya waktu di bandara tadi,” kata Surya masih tersenyum, mengakhiri pembicaraannya.

Lana membalas senyumnya dengan sopan.

Pria yang aneh, pikirnya sambil meneruskan membaca. Lana menduga pria itu akan kembali mengajaknya bicara lagi. Menit demi menit berlalu, Lana justru merasa aneh, karena sama sekali tidak ada tanda-tanda Surya akan kembali mengajaknya bicara. Tersinggungkah dia? Diam-diam Lana memberanikan diri untuk melirik ke samping kirinya secara perlahan sekali. Lana tidak mau Surya tahu bahwa dia sedang melirik ke arahnya.

Ternyata Surya sedang melamun. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi Lana bisa melihat dengan jelas bahwa matanya yang kosong menatap lurus ke depan.

Wanita memang aneh. Itulah yang dirasakan oleh Lana saat itu. 

Lana merasa sebal ketika Surya tidak henti-hentinya bertanya padanya. Entah apa yang membuatnya sebal, padahal pria itu hanya berusaha mengajaknya mengobrol, dan Lana justru merasa sedikit menyesal dan kehilangan, sewaktu Surya berhenti mengajaknya berbicara. 

Seharusnya dia bisa bersikap sedikit saja lebih ramah.

Setibanya di bandara, seperti biasa Lana berjalan bergegas di antara orang-orang yang berjalan sama cepatnya dengan dirinya.

“Lana,” panggil Surya, yang kini berjalan di sampingnya.

“Ya?” Lana menoleh pada pria itu, menyunggingkan senyuman basa-basi tanpa memperlambat langkahnya.

“Senang berkenalan dengan Anda. Saya harap kita bisa bertemu lagi,” kata Surya, tersenyum.

Hati Lana berdesir. Seperti ada sesuatu yang menggelitik perutnya. Apa yang terjadi dengannya? Terakhir kalinya dia merasakan perasaan yang sama adalah ketika dia duduk di bangku kuliah. Sudah puluhan tahun berlalu sejak Lana menutup dirinya untuk sesuatu yang bernama cinta.

Lana balas tersenyum dengan sopan, sambil menganggukkan kepalanya sedikit. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa sampai pria itu melambaikan tangannya dan menjauh.

Lana mengencangkan syal yang dikenakan di lehernya. Hidungnya dingin sampai terasa sakit. Dia tidak pernah suka dengan udara dingin. Apalagi, di bulan November seperti ini. Lana mendorong trolley-nya sambil mencari-cari Amy di antara kerumunan orang di gerbang kedatangan. Senyumnya langsung mengembang, saat dilihatnya Amy bersama Fero sudah menunggunya di sana.

Dengan senyum lebar Lana melambaikan tangannya dan cepat-cepat menghampiri mereka berdua.

“Hai, Amy. Apa kabar ?” sapa Lana. 

Mereka berdua langsung berjabatan tangan dengan hangat.

“Baik, terima kasih. Senang bertemu dengan Anda. Perjalanan Anda menyenangkan, tentunya,” sahut Amy ramah. 

Lana sudah tidak lagi menangkap logat Asia dalam suara Amy. Logat Inggris-nya sudah jauh lebih ‘Inggris’ dibandingkan ketika setahun yang lalu terakhir mereka bertemu.

“Maaf sekali saya terlambat. Ada urusan penting sekali yang tidak bisa saya tinggalkan,” kata Lana menyesal.
“Saya bisa mengerti,” Amy tersenyum, mempersilakan Lana untuk jalan lebih dulu.

Barulah Lana berpaling kepada Fero. 

“Sejauh ini semuanya lancar?” tanyanya pelan dalam bahasa Indonesia, dengan nada suara tegas seperti biasanya.

“Kecuali undangan makan nanti malam, sejauh ini belum ada pembicaraan apa-apa tentang pekerjaan, Bu. Semuanya dimulai besok sesuai dengan rencana kita, ” Fero menjelaskan.

Lana mengangguk-angguk. Untung saja keterlambatannya tidak berakibat buruk pada pertemuan kali ini.

“Tidak ada masalah dengan sampel yang kita bawa?” tanya Lana lagi.

“Bisa saya pastikan semuanya tidak ada masalah,” sahut Fero.

“Oke,” Lana mengangguk sekali lagi. “Berapa perusahaan dari Indonesia yang akan datang nanti?”

“Mungkin sekitar sembilan perusahaan. Yang pasti, enam di antaranya datang dari Bandung dan Jakarta.”
Lana mengangkat alisnya. “Lebih banyak dibandingkan setengah tahun yang lalu.”

Lana mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Baru sepuluh menit lagi meeting akan dimulai, tapi semua tamu sudah hadir. Lana sudah mengenal beberapa orang di antara tamu tersebut pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Dulu mereka akan bersaing mati-matian untuk mendapatkan order dari pihak Inggris sebagai pihak pembeli. Lana terkejut saat melihat pria berkemeja putih yang duduk cukup jauh dari tempatnya duduk. Pria yang dikenalnya di pesawat kemarin sore. Surya.

Pada detik yang sama, pria itu juga kebetulan tengah memandang ke arah Lana. Dia tampak terkejut, namun kemudian senyumnya melebar dan dia melambaikan tangannya. Dengan kaku Lana membalas lambaian tangannya.

Sungguh di luar dugaannya dia akan bertemu lagi dengan pria itu. Terlebih, pria itu ternyata adalah salah satu saingan besarnya.

“Saya tidak lama, Pak. Tunggu saya di mobil saja,” kata Lana kepada sopirnya, sembari keluar dari mobil.

“Ya, Bu,” sahut sopirnya, menurut.

Lana berjalan melewati halaman rumah yang asri ditumbuhi berbagai macam pepohonan. Halaman yang telah dirawat oleh tangan apik ibunya sejak belasan tahun yang lalu. 

Lana menekan bel. Seharusnya pada pukul segini ibunya belum tidur.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat dan membuka pintu.

“Saya sudah pulang, Bu,” sapa Lana segera saat ibunya membukakan pintu.

“Sudah pulang, tho, Lana? Kapan sampai ke Jakarta?” sambut wanita itu antusias, langsung memeluk Lana.

Lana balas memeluk ibunya dengan hangat.

“Kemarin malam, Bu. Saya baru sempat ke sini sekarang,” Lana tersenyum. “Ini, saya bawakan oleh-oleh buat Ibu.” Lana menyodorkan sebuah kantong besar yang dibawanya, yang disambut oleh ibunya dengan gembira.

“Banyak sekali, Lan. Lain kali sebaiknya tidak usahlah bawa oleh-oleh sebanyak ini. Ibu ini sudah tua, sudah tidak perlu banyak barang,” sahut ibunya, saat melihat isi kantong dari Lana. “Kamu ini, pergi-pergi ke luar negeri terus. Ibu sebenarnya suka khawatir,” kata ibunya, yang dengan sayang membelai rambut putrinya.

Lana tersenyum, membimbing ibunya duduk di sofa. 

“Urusan penting di kantor, Bu.”

“Tapi, Ibu kadang-kadang khawatir. Apalagi, kalau Ibu sering dengar pesawat ini jatuh, pesawat itu jatuh. Ya, ampun, Ibu suka takut ada apa-apa dengan kamu, Lan.”

Lana tertawa kecil, “Tenang saja, Bu. Tuhan masih melindungi saya sampai sekarang.”

Ibunya kemudian menatap Lana dengan serius.

“Kamu cepatlah menikah, Lan. Ibu sudah tua, ingin sekali melihat kamu menikah, lalu punya anak. Jangan pergi-pergi terus, tho, Nak. Biar suami kamu yang banyak pergi, cari uang buat kamu dan anak-anak,” katanya, perlahan.

Lana mengalihkan pandangannya ke vas bunga yang berisi bunga plastik berwarna-warni di atas meja. Dia paling tidak suka, jika ibunya sudah membahas topik ini. Tapi, demi menjaga perasaan ibunya, Lana hanya dapat tersenyum, meskipun hatinya sedikit merasa dongkol.

“Pernikahan bukan segalanya, Bu. Ibu lihat saja, banyak pasangan menikah kemudian cerai. Banyak ibu muda yang terpaksa harus hidup susah karena ditinggal suaminya,” katanya, tenang. “Lagi pula, Tuhan belum memberi saya jodoh, Bu.” 

Lana tidak sanggup menatap mata ibunya. Dia tahu, saat ini mata tua ibunya sedang menatapnya dengan pandangan berharap.


Penulis: Yesi Marianti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?