Travel
Cinta dari Tanah Maumere

16 Oct 2012

Epang Gawan!

Bunyi klakson tanpa jeda, diiringi teriakan dua sopir yang saling berbalasan, menyambut saya di bandara yang dulunya bernama Wai Oti itu. Keduanya sedang memperebutkan seorang penumpang, yang akhirnya menolak menumpang di kendaraan mana pun. Sesaat saya menghela napas, sambil membiarkan tubuh ini terbiasa dengan sergapan udara panas Maumere.

Sebuah tepukan di bahu, yang segera bersambut menjadi pelukan erat, seketika mengubah penat jadi tawa. Beberapa menit kemudian, saya sudah duduk di dalam mobil Daihatsu renta yang berderit-derit setiap melintasi jalan yang tak mulus. Sang pengendara mobil, Karel Siga Siprianus, warga Maumere yang menjemput saya, berujar bahwa saya datang di saat yang tepat.

“Ini musim hujan. Di musim kemarau, tanaman mengering, dan tanah jadi tandus,” katanya, sambil menunjuk gugusan bukit hijau di kejauhan, yang mengingatkan saya pada pemandangan negeri para hobbit dalam film The Lord of The Rings. Dentuman suara musik kencang yang berasal dari kendaraan umum yang lewat, mengagetkan saya. Tak disangka, ternyata hampir semua angkutan umum berlomba-lomba memasang musik dan pengeras suara dengan volume pada posisi paling kencang!

Memasuki Desa Nita, tempat kediaman Karel, kendaraan makin sepi. Jalan menyempit, dan rumah  makin jarang. Mata saya terpaku pada satu dua makam yang berdiri di halaman rumah. Menurut Karel, mereka sengaja menempatkan makam anggota keluarga di halaman rumah agar merasa selalu dekat dengan kerabat yang sudah wafat.

Perjalanan 4 jam dalam pesawat dari Jakarta, dan sekitar 45 menit perjalanan darat, membuat perut saya langsung berbunyi begitu mencium aroma sedap makanan. Mata saya terbelalak takjub memandangi hamparan sajian sehat di atas balai bambu di halaman rumah Karel. Kepulan hangat sepiring nasi merah yang dicampur dengan kacang hijau, berpadu sedapnya aroma ikan kerapu bakar dan tuna kuah asam yang disebut mage wair. Uniknya, ikan disajikan bersama dengan potongan avokad Maumere yang terkenal lezat itu. Rasanya ternyata klop, lho!

“Ini hasil dari ladang sendiri. Di sini, beras merah lebih murah daripada beras putih karena kami tanam sendiri,” ujar Karel, bangga. Ryan, seorang warga Maumere lain yang ikut bersantap, menambahkan, “Kami hanya makan buah-buahan segar. Yang jatuh ke tanah, sudah jadi jatah hewan ternak,” katanya berkelakar. Epang gawan! Begitu ia mengajari saya berucap terima kasih dalam bahasa Maumere, setelah selesai bersantap.

Megahnya Kesederhanaan
Lapangan itu tidak terlampau luas. Di ujungnya, berdiri sebuah panggung yang juga tidak begitu besar. Tenda-tenda dari bambu dibangun di sekeliling lapangan. Warga dari berbagai kabupaten di Flores sudah berdatangan di halaman Gereja Katedral St. Yoseph, Maumere, yang tepat berdiri di seberang lapangan. Pandangan saya terhenti pada sekelompok warga yang datang dari Kabupaten Nagekeo, sekitar 300 km dari Maumere. Seorang ibu paruh baya yang mengenakan kain tenun ikat tampak kesulitan turun dari truk yang ia tumpangi bersama sekitar 20 penumpang lain. Mereka akan menari sebelum misa akbar yang mengawali festival budaya bertajuk  Maumere in Love yang akan berlangsung seminggu.

Di tempat yang sama, 23 tahun lalu, sekitar 300.000 umat dari seluruh penjuru Flores berbondong-bondong datang untuk mengikuti misa akbar yang dibawakan pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Yohanes Paulus II. Mendiang Sri Paus bersikeras bermalam di Maumere, meski saat itu ibu kota Nusa Tenggara Timur ini belum memiliki hotel yang bisa dianggap layak untuk menyambut tamu negara. Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret kemudian terpilih menjadi tempat bermalam. Bersama dengan Seminari Ledalero, kedua sekolah tinggi ini dikenal sebagai ‘matahari intelektual dari Timur’ yang telah menghasilkan banyak imam yang tersebar di berbagai negara.

Agama yang tumbuh berdampingan dengan sentuhan budaya lokal membuat misa di Maumere terasa lebih anggun dan sakral. Aplikasi tenun pada jubah imam, alat-alat musik tradisional, menjadi ciri khas tersendiri. Seorang pria yang memutar tubuhnya, berporos pada sebatang bambu, menjadikan tarian Tuaiteleu dari Desa Watublapi, Kabupaten Sikka, paling menyita perhatian.

Saya meninggalkan keriuhan setelah matahari beranjak turun. Niat hati ingin mengintip pemandangan bawah laut dengan  snorkeling. Sayang, hujan turun begitu saya menyusuri Pantai Kajuwulu, di pesisir utara Kabupaten Sikka, tak sampai sejam dari Kota Maumere. Jadilah saya harus puas hanya memandangi hamparan pantai berpasir putih yang  ramai dikunjungi keluarga dan anak-anak muda tiap sore itu.

Pesona bawah laut Maumere telah pulih pascatsunami tahun 1992. Setelah Alor, Maumere adalah lokasi diving favorit di NTT. Di sekitar Maumere, terdapat tiga lokasi favorit untuk snorkeling dan diving: Sea World Club Resort, Ankermi Happy Dive Resort, dan Sao Wisata Diving Center.

Sea World dan Sao Wisata berlokasi di Pantai Waiara, 10 – 14 kilometer dari Bandara Frans Seda dan pusat Kota Maumere. Sementara Ankermi, yang paling direkomendasikan, terletak di Watumita, 29 kilometer dari pusat kota. Dengan 20 dolar AS (±Rp200.000), Anda bisa  snorkeling dari Sea World ke Pulau Babi dengan satu kapal berisi minimal empat orang. Sedangkan untuk diving, dengan biaya 80 dolar AS (±Rp800.000), tiap penyelam mendapat perlengkapan dan makan siang. Sementara di Ankermi, satu kapal dengan minimal tiga orang, bertarif 35 euro (±Rp394.000) per orang untuk diving.

Menelusuri Jejak Sejarah
Keesokan paginya, saya memilih memisahkan diri dari keramaian, menuju ke Desa Sikka, sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Maumere. Para mama (panggilan untuk ibu) yang menenun di halaman rumah, anak-anak yang bersenda gurau saat berjalan kaki ke sekolah, menjadi pemandangan yang membuat senyum terkembang.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba Ryan, yang saat itu mendampingi saya, mengajak berkunjung ke sebuah rumah. Di halaman belakang, kepulan asap menyeruak dari periuk tanah liat di atas tungku berbahan bakar batok kelapa. Seorang lelaki paruh baya dengan sigap memanjat pohon lontar untuk menyadap nira. Sadapan itu kemudian dijerang di atas api dan disuling dengan pipa bambu. Hasil penyulingan itu lalu dikemas dalam botol untuk dikonsumsi sendiri dan dijual. Masyarakat setempat menyebut arak tradisional ini dengan nama moke atau sopi.

Sebotol moke dalam kemasan botol 600 ml dijual Rp20.000 – Rp25.000. Para petani, terutama pria, biasa membawa moke sebagai bekal minum saat berladang, begitu juga dengan para pedagang di pasar. Namun, moke dengan kualitas terbaik biasanya hanya disajikan pada akhir pekan dan acara-acara adat seperti pesta pernikahan. Sebagai pendamping hidangan utama, disajikan juga sirih dan pinang yang biasa dikonsumsi para mama.

Tak heran, sirih dan pinang menjadi komoditas yang paling banyak diperdagangkan di pasar. Pedagangnya pun mengunyah sirih sambil berjualan. Pemandangan itulah yang saya lihat di  Pasar Geliting, yang terletak di Kecamatan Kewapante, saat meneruskan perjalanan ke Sikka. Di pasar yang konon berusia lebih dari 100 tahun ini, para wanita paruh baya berjual beli sambil mengenakan kain tenun ikat mereka. Di sudut lain, anak-anak muda yang juga membuka lapak tampak asyik mendengarkan musik dari headset, menunggu pembeli.

Kebanyakan hasil bumi dijual masih dalam bentuk asli, seperti umbi keladi berukuran raksasa, dan biji kenari yang masih terbungkus dalam kulitnya yang keras. Perpaduan hiruk pikuk pasar, dengan latar laut dan gunung, menghasilkan pemandangan langka yang menakjubkan.

Menjelang tengah hari, kami sampai di Gereja Santo Ignatius Loyola, Sikka. Gereja ini menjadi saksi sejarah masuknya agama Katolik di tanah Flores. Gereja yang mulai dibangun tahun 1893 itu diresmikan oleh Pastor J. Engbers S.J. pada 24 Desember 1899. Namun, sejarah gereja di tepi pantai Laut Sawu ini bermula jauh sebelum itu.
Pada abad ke-15, Raja Sikka, Moang Lesu Liardira Wa Ngang, bertualang ke Selat Malaka. Di sana, ia bertemu para misionaris Portugis, dan kembali ke Sikka dengan nama baptis Don Alexu Ximenes da Silva. Sejak itu, Sikka kerap dikunjungi misionaris Portugis yang menjelajah hingga ke Maumere. Tahun 1617, pastor pertama ditempatkan di desa ini.

Meski bangunan gereja ini bukanlah gereja yang didirikan da Silva,  berbagai tradisi yang dimulai sejak abad ke-14 itu masih berjalan hingga sekarang. Seperti tradisi Logu Senhor, prosesi menunduk di bawah salib, yang selalu dilakukan menjelang hari raya Paskah. Misa tiap Minggu di Gereja Sikka juga masih dilangsungkan dalam bahasa Latin. Makam dan juga kediaman Raja da Silva yang berupa rumah panggung pun masih bisa dilihat di bagian belakang gereja.

Selain Natal dan Paskah, bulan Mei dan Oktober menjadi masa datangnya banyak wisatawan ke Maumere. Tak hanya wisatawan Nusantara, tapi juga mancanegara. Dalam tradisi Katolik, dua bulan ini adalah masa untuk mendekatkan diri kepada Bunda Maria. Saat itulah, patung Bunda Maria Segala Bangsa ini ramai dikunjungi. Patung ini dapat dikunjungi dalam perjalanan dari Sikka ke Maumere.

Patung yang diresmikan pada bulan Mei 2005 itu dibangun di Bukit Nilo, Keling, Desa Wuliwutik, Kecamatan Nita, sekitar 10 kilometer dari Maumere. Patung setinggi 28 meter tersebut disangga empat tiang yang berhiaskan motif tenun ikat Sikka. Di sekelilingnya terhampar tempat yang cukup luas untuk berdoa, lengkap dengan lilin.

Di malam hari, cahaya lilin dan lampu dari dasar patung menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Saat siang, dari atas bukit ini, pengunjung dapat melihat indahnya Kota Maumere dari ketinggian 1.600 meter. Perjalanan untuk sampai di patung ini  butuh perjuangan menaiki lereng dengan kemiringan 45 derajat.

Keriaan kian memuncak saat saya kembali ke lapangan Gereja St. Yoseph, Maumere,. Malam itu, tak ada batas antara penonton dengan penyaji atraksi. Karena tahu bahwa itu adalah hari terakhir saya di Maumere, beberapa anak muda memaksa saya ikut menari di lapangan. Sekitar 50 orang membentuk lingkaran besar, bergandengan tangan, menari sambil menyanyi diiringi musik berirama cepat. Aliran listrik yang sempat padam beberapa kali tak menyurutkan kegembiraan.

Lagu tradisional Maumere, Gemu Fa Mi Re masih terngiang di kepala saat deru turbin pesawat mulai berputar cepat. Setelah menyimpan kain kenang-kenangan dengan mata sembap, penumpang di sebelah saya, Pauline, berkata, “Mereka bilang, Indonesia meninggalkan mereka jauh di belakang.” Saya tersentak. Saat melongok ke jendela, Flores tampak tinggal sebuah pulau kecil tertutup kabut di tengah hamparan samudra. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?