Travel
Bertandang ke Kampung Bruce Lee

21 Mar 2014


Bagi generasi sekarang, mungkin nama Wong Fei Hung dan Bruce Lee terdengar seperti legenda atau bahkan dongeng. Meski tak melihat aksi Bruce Lee secara langsung di televisi di  tahun ‘70-an, saya penasaran pada dunia bela diri wing chun dan kungfu yang mereka populerkan di seluruh dunia itu. Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke kampung halaman para legenda bela diri dari Cina ini. Saya juga berkesempatan untuk mempraktikkan beberapa tendangan dan pukulan di hadapan seorang master sungguhan!

Belajar Jurus Wing Chun

Perjalanan memakan waktu hampir 45 menit naik bus dari hotel tempat saya menginap menuju perhentian pertama kami dalam perjalanan napak tilas Bruce Lee. Dua hari sebelum saya tiba di Hong Kong, kota bekas jajahan Inggris ini baru saja kedatangan badai taifun yang memang sudah langganan mampir tiap tahun. Tapi, saya tak melihat Hong Kong seperti kota yang habis diserang topan. Kotanya masih bersih, rapi, dan tertata. Efeknya hanya terasa pada cuaca yang tak menentu, panas lalu hujan bisa turun tiba-tiba.

Bus yang membawa saya berhenti di Nathan Road, di distrik Kowloon. Tiba di sana, saya mencari-cari  tempat  perguruan wing chun yang akan saya kunjungi itu. Tak ada perguruan bela diri seperti yang di film-film, tidak terlihat juga kuil atau murid-murid yang sedang berlatih. Saya malah digiring memasuki sebuah flat yang sepertinya sudah cukup tua dan segera memasuki lift yang membawa kami naik.

Tiba di lantai 4 flat, saya langsung melihat tembok yang bertuliskan “Yip Man Martials Arts Athletic Association Chinese Kungfu International School” dengan tambahan huruf-huruf Cina di bawahnya. Dengan penasaran, saya memasuki ruangan berukuran 7x7 dengan tambahan balkon yang tak begitu luas itu. Tak ada kesan modern, flat tua ini bahkan sedikit kumuh, walaupun cukup bersih.

Bagian depan ruangan terdapat 2 meja dengan komputer di atasnya. Ruangan utama yang sepertinya tempat latihan, berdindingkan kaca dengan deretan  senjata untuk latihan, seperti tombak dan pedang kayu, di sebelah kanannya. Saya mencoba melongok ke teras di belakang, di sana ada samsak dan mok yang jok (boneka kayu) yang sedang dipakai beberapa murid.


Saya disambut oleh Master Sam KS Lau dan beberapa muridnya yang mengenakan seragam kaus hitam. Master Sam KS Lau adalah generasi murid pertama dan dulunya merupakan asisten pelatih Ip Man (guru besar wing chun). Ia menceritakan sejarah seni bela diri wing chun yang dibawa oleh Ip Man dari Cina dan disebarkan di Hong Kong tahun 1950. Meski Ip Man yang menyebarkannya, tak bisa dipungkiri, Bruce Lee-lah yang memegang peran penting hingga seni bela diri ini menjadi terkenal di seluruh dunia.

Sambil mempraktikkan gerakan-gerakan wing chun bersama anak didiknya, Master Sam menjelaskan perbedaannya dengan kungfu. Menurutnya, wing chun lebih straight to the point, dengan teknik bertahan lalu menyerang. Berbeda dengan kungfu, ada keindahan di  tiap gerakannya. “Kecepatan dan konsentrasi adalah poin penting dalam wing chun,” ungkap Master Sam Lau, sambil terus menahan serangan dari sang murid dengan santai.

Sepertinya usia tak mengikis semangat Master Sam Lau. Meski tak lagi muda, ia masih begitu cekatan. Saya dan teman-teman pun berdecak kagum. Tiba-tiba Master Sam Lau ingin menarik salah satu di antara kami. Kami pun serentak mundur sambil tertawa, segan untuk melawannya. Tapi, akhirnya kami semua ditarik oleh beberapa pengajar.

Jujur saya penasaran, apakah saya bisa melakukan gerakan tangan yang sebenarnya kelihatan mudah itu? Betul saja, ternyata gerakan saya payah sekali, kaku dan kikuk. Namun, tak perlu waktu lama, saya pun sudah bisa menangkis serangan lawan. Sambil mengangkat jempol, master yang melatih saya mengatakan saya belajar cukup cepat. Gerakan-gerakan wing chun memang tidak begitu rumit, jadi mudah dikuasai para wanita untuk menjaga diri. Katanya, tak sedikit wanita yang datang untuk belajar bela diri sekaligus olah tubuh.


Ke Kampung Nirwana

Di masa hidupnya, Bruce Lee diketahui banyak bermukim di Amerika dan Hong Kong untuk memperdalam ilmu wing chun-nya. Kampung halamannya adalah Jun’an Town, Shunde, di Provinsi Guangdong. Pemerintah Kota Shunde mengubah Taman Ekologi Shunde menjadi Bruce Lee Paradise, sebuah memorial untuk mengenang perjalanan sang legenda.

Perjalanan dari Kota Zhuhai menuju Shunde kami lakukan di pagi hari. Zhuhai dan Shunde terletak di selatan Provinsi Guangdong. Jangan bayangkan kehidupan metropolitan seperti di Shanghai atau Guangzhou. Di sepanjang perjalanan mata saya disuguhi hijaunya hamparan sawah dan deretan pepohonan di kiri dan kanan jalan. Perjalanan ditempuh kurang lebih selama satu jam dengan cuaca yang cukup panas.

Akhirnya bus berhenti di sebuah gerbang yang tak terlalu besar. Saya disambut oleh para pemandu wisata Bruce Lee Paradise yang telah menunggu. Saya langsung digiring menuju gedung museum melalui jalan kecil yang dipagari pohon-pohon, sangat sejuk. Langkah saya terhenti sebelum memasuki bangunan museum dan terpukau dengan apa yang menjulang di depan saya. Patung Bruce Lee dengan gaya kuda-kudanya berdiri menjulang di sana. Di area yang cukup luas, di depan sebuah tebing yang dihiasi huruf Cina.

Saya memasuki bangunan museum dengan pintu masuk dihiasi patung Bruce Lee. Gedung museum terdiri dari beberapa bangunan yang berdiri melingkar dengan lapangan di tengahnya. Dindingnya abu-abu dengan deretan jendela yang membuat tiap ruangan sejuk tanpa AC. Kami menyusuri ruang demi ruang yang dipenuhi gambar dan barang-barang peninggalan aktor bernama asli Lee Xiaolong ini.


Dengan bahasa Inggris yang tak begitu lancar, Louise, pemandu wisata, menceritakan hidup Bruce Lee. Di ruangan pertama, saya disuguhi poster yang menceritakan bagaimana berdirinya Bruce Lee Paradise. Museum ini merupakan hasil kerja sama antara pemerintah Guangdong dan keluarga Bruce Lee. Anak perempuan Bruce Lee, Shannon Lee, yang juga ketua dari Bruce Lee Foundation, merelakan barang-barang peninggalan ayahnya untuk dinikmati para pengunjung Bruce Lee Paradise. Bruce Lee sendiri hanya sekali pulang kampung ke kota ini saat masih balita.

Di ruangan-ruangan lain, saya melihat rekaman sejarah perjalanan kehidupan dan karier Bruce Lee lewat poster dan tulisan yang tertempel di dinding. Saya, yang bukan penggemar beratnya, jadi terkagum-kagum atas sepak terjang aktor yang terkenal dengan gerakan jet kune do ini.

Semua penjelasan di museum ini ditulis dalam bahasa Mandarin dengan huruf kanji dan bahasa Inggris. Foto-foto masa kecil hingga dewasa sang legenda terpajang rapi di rak-rak. Saya begitu menyukai foto Lee remaja yang sangat tampan. Artikel dan berita tentang Bruce Lee di berbagai majalah dan surat kabar pun tersimpan dan dipamerkan dengan rapi di sini.

Tak ketinggalan juga barang-barang peninggalannya seperti samsak, boneka kayu, double stick, pedang, pisau, dan tombak miliknya serta jaket merah dan jins yang ia kenakan di salah satu filmnya. Ada juga beberapa tulisan pemikiran-pemikirannya tentang wing chung, kungfu, dan filosofi kehidupan. Menikmati semua barang-barang dan kenangan Bruce Lee ini, saya merasa seakan ia adalah seorang bintang yang kini tengah naik daun, bukan yang telah meninggal puluhan tahun lalu.

Selesai menikmati sejarah kehidupan sang bintang, kami diajak berkeliling Bruce Lee Park yan memilliki area seluas 200 hektare. Saya begitu menikmati hamparan hijau yang terbentang di sana. Apalagi saat melewati danau yang di atasnya beterbangan beberapa kumpulan burung putih. Ini menjadi pemandangan yang tak terlupakan. Tak salah kalau tempat ini dinamakan paradise. Louise mengatakan, di musim panas danau ini dipenuhi bunga lotus yang bermekaran. Sayang sekali, saya datang saat musim semi.



Mengunjungi Rumah Sang Master

Foshan terletak di pinggiran Kota Guangdong. Di sini bahasa yang digunakan adalah bahasa Kanton. Di balik kota kecil dengan lingkungan yang masih hijau dan jauh dari metropolitan, Foshan menyimpan sebuah bangunan sejarah yang menjadi kebanggaan penduduknya.

Ancestor Temple, kuil yang saya datangi itu, merupakan kuil leluhur yang dibangun pada pemerintahan Dinasti Northern Song, tahun 1078-1085. Dulunya tempat ini digunakan untuk upacara-upacara persembahan korban yang diberikan kepada dewa air (Xuantian). Kuil yang dibangun di lahan seluas 3.500  m²  itu sudah mengalami beberapa kali pelebaran. Kuil ini juga merupakan rumah peristirahatan Ip Man, salah satu hal yang membuat Foshan juga terkenal sebagai pusat perguruan kungfu.

Setibanya di sana, saya masuk ke museum dari aktor seni bela diri yang sangat terkenal, Huang Feihong (atau yang lebih dikenal dengan nama Wong Fei Hung). Bangunan ini sangat kental dengan arsitektur tradisional Cina. Di  tiap pintu dan jendela terdapat ornamen berbentuk bunga berwarna emas. Dinding abu-abu dengan aksen batu bata membuat bangunan ini  makin tradisional. Di pintu masuk kami disambut oleh patung Huang Feihong yang duduk di kursinya.

Dinding-dinding dipenuhi bingkai-bingkai foto adegan film kisah hidup Huang Feihong. Selain itu, ada juga satu ruangan kaca yang berisi replika Huang Feihong bersama sang istri yang sedang mengobati pasiennya. Ini menjelaskan Huang Feihong yang juga seorang tabib berdedikasi untuk membantu masyarakat. Sayangnya, tak banyak kehidupan Huang Feihong yang kami dapatkan, karena tak ada pemandu yang menemani kami berkeliling di sini.

Setelah itu, kami digiring ke museum pemuda Foshan yang menjelma menjadi guru besar wing chun, yaitu Yip Kai Man atau lebih dikenal dengan Ip Man. Museum Ip Man sepertinya bangunan baru di antara kuil-kuil ini. Bangunannya seperti rumah biasa dengan ruangan yang memanjang.

Setelah menikmati foto-foto kehidupan Ip Man, saya pun mencari jalan keluar yang rasanya sangat jauh. Sambil menunggu teman yang lain, saya berdiri di pelataran kuil yang di bawahnya terdapat kolam yang berisi kura-kura kecil di atas sebuah patung ular yang menonjol di tengah kolam, lucu sekali. Banyak uang logam di atas patung ular itu yang membuat saya tergelitik untuk bertanya kepada Louise. Ia pun menjelaskan, ini adalah uang logam yang dilemparkan pengunjung. Jika uang logam berhasil jatuh di batu ular itu, berarti dia akan beruntung.

Saya segera mencari uang logam, ada uang logam dolar Hong Kong dan Pataca Macau. Saya ambil sembarang. Saat akan melempar, Louise berkata, saya harus melemparkan logam yen, bukan uang logam lain. Tak peduli, saya tetap ingin melemparkan koin untuk mencari sedikit keberuntungan. Tapi, panggilan teman untuk segera pergi membuat pencarian keberuntungan saya batal. Mungkin lain kali.


Tip
  1. Jika waktu liburan Anda cukup banyak, dari Hong Kong Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Macau dengan menggunakan kapal cepat di Hong Kong - Macau Ferry Terminal yang berada di Shun Tak Centre. Waktu tempuh sekitar 1 jam dengan harga tiket Hk$159 (250 ribu rupiah).
  2. Dari Macau Anda juga bisa melanjutkan perjalanan darat ke kota Guangzhou dengan transit melalui kota Zhuhai.
  3. Saat melewati perbatasan Zhuhai, Anda dilarang membawa buah-buahan. Aktivitas masyarakat yang padat untuk keluar masuk Macau dan Cina,atau sebaliknya, membuat Anda harus selalu berhati-hati. Di perbatasan Zhuhai ini, Anda akan disambut dengan travel agent yang sibuk menawarkan jasanya. Anda tidak disarankan untuk berpergian sendiri.
  4. Di Foshan Anda juga bisa berkunjung ke Nanfeng Kiln, museum keramik yang terkenal. Anda juga bisa menyusuri jalanan sekitar Nanfeng Kiln untuk mencari keramik atau porselen yang banyak dijual di kota ini.
  5. Tiket masuk Bruce Lee Paradise yaitu 40 RMB (80 ribu rupiah), sedangkan Ancestor Temple 20 RMB (40 ribu rupiah).



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?