Fiction
Berkemas [3]

5 Jul 2015


<<<<<<<<<<<<
Cerita Sebelumnya



Bagian 3
Kisah sebelumnya:
Rika hidup di perantauan dengan prihatin. Ketika sedang menyusun skripsi, Uzi, adiknya, menyusul dari Berastagi ke Lampung untuk kuliah D-1. Suka-duka mereka hadapi berdua. Hingga ketika Rika akhirnya diwisuda yang dihadiri kedua orang tuanya, justru Uzi terkena penyakit aneh hingga meninggal dunia.


Hari sudah malam ketika kami tiba di tempat kos. Tempat kos benar-benar gelap total seperti tak berpenghuni. Bulu kudukku agak merinding, tapi setelah kulihat ke samping ada Putri, aku jadi lebih tenang. Kunyalakan lampu dan kulihat barang-barang kami. Rasanya aku ingin menangis lagi.
Berkemas tidak selalu menjadi hal yang menyenangkan.
Aku mengambil tas besar dari lemari dan memasukkan semua barang-barang Uzi satu per satu. Baju, sepatu high heels, buku-buku soal, botol minum, sweater, peralatan make up, aksesori, tas, dan baju batik yang dibelinya kemarin sore.     
Tanganku gemetar  tiap menyentuh barang-barangnya.
Di kamar ini kami sudah tinggal selama enam bulan. Tidur berdekapan di kasur yang tipis. Bertengkar gara-gara lupa letak sisir. Menangis bersama karena lapar. Bengong di pintu karena tukang es dawet lewat dan kami tak punya uang.
Kamar ini terasa dingin dan pengap. Dinding-dindingnya terasa mengimpit dadaku. Aku bergerak ke jendela dan menutup kaca yang masih terbuka. Kutarik tirainya yang terbuat dari sarung. Kulipat sarung itu dan memasukkannya ke tas.
Di rak piring, makanan yang dibeli Uzi juga masih lengkap.
“Put, nanti kalau kami pulang, ambil saja makanannya, ya,” kataku.
“Kamu enggak bakal balik ke sini lagi?” kata Putri. Matanya tampak berkaca-kaca. Dari sekian banyak penghuni Lampung ini, mungkin cuma aku yang bisa memahami keanehan Putri dan cuma Putri yang  tak mempersoalkan keanehanku. Pasti perpisahan ini berat buatnya.
“Aku nanti sama siapa, dong?” katanya.
“Anak-anak yang lain kan masih banyak, Put.”
“Tapi kan enggak ada yang ngertiin aku.” Dia mengancingkan tas besar itu. Aku kembali melihat ke sekeliling barangkali ada barang Uzi yang tertinggal. Bapak sudah berpesan jangan sampai ada barang Uzi yang tertinggal, arwahnya tak akan tenang.
“Pasti ada, Put. Ada Bejo, ada Mas Galih,” kataku menghibur. Dua pria itu pasti menjaganya dengan baik seperti mereka juga menjagaku selama ini.
“Siapa yang jadi tukang cicip kalau aku masak?” dia mencoba bergurau.
“Makanya cari pacar!” kataku menggeser tas itu ke teras. Putri memonyongkan bibirnya. Sebelum pergi, sekali lagi kupandangi kamar kami. Tinggal barang-barangku karena tak muat masuk ke dalam tas. Putri yang akan membereskannya dan mengirimnya pulang.
Kutatap asbes yang bolong dan meraih tombol lampu. Gelap menyelimuti kami. Juga dingin yang asing.

                Lilin dan Peti
Aku menyerahkan tas ke Mamak dan dia segera menyuruhku menjauhi peti.
“Kalian ambil bantal saja buat di peti!” perintah Mamak, sambil menutup kamar mayat. Uzi akan diberi suntikan formalin dan bajunya akan diganti untuk terakhir kali. Kalau mayat sudah kaku, akan susah mengganti bajunya, begitu kata petugas kamar mayat.
Kepalaku yang sedang kosong menurut saja. Aku dan Putri bergegas ke rumahnya mencari bantal dan tikar kecil.
Saat aku dan Putri kembali ke kamar mayat, kami mendapati puluhan lilin sudah dipasang di sekeliling peti Uzi. Kerumunan orang memenuhi pelataran kamar mayat Rumah Sakit Advent itu.
Aku tak tahu dari mana datangnya manusia seramai ini. Sebanyak inikah orang yang mengenal kami di Lampung ini, padahal sepertinya aku hanya punya sedikit sahabat. Dan entah bagaimana caranya malam itu suster bisa melobi seorang romo untuk membuat misa arwah untuk adikku.
                    ***
Di depan rumah sakit itu puluhan lilin kami mengantar Uzi, menerangi wajah pucatnya. Teman-temanku yang muslim ikut berdiri bersamaku mengikuti misa. Semua anak-anak tari yang tempo hari mendandaniku buat wisuda, berdiri di sampingku. Wajah-wajah mereka diterangi cahaya kuning lilin.
Tubuh Uzi sudah dimasukkan ke peti. Seorang sahabat, Mbak Yuli, sudah memesannya. Sebuah peti yang pas untuk ukuran pesawat terbang karena besok pagi kami akan membawanya pulang ke Medan.
Abang sudah menangis di telepon karena besok akan menjumpai adik bungsunya dalam keadaan tak bernyawa. Adik bungsu yang sudah hampir setengah tahun tak ditemuinya kini pulang dalam peti kayu memakai kemeja berwarna hijau toska.
Aku tak lagi menangis karena  tiap kali menangis Mamak akan mencubit pinggangku dan mengingatkan  bahwa kami harus kuat kalau mau membawa adik sampai di rumah. Aku menelan tangisku dan berusaha tersenyum menghadapi semua tamu yang datang.
Termasuk ketika semua teman-temanku mengucapkan selamat jalan. Aku tak tahu siapa saja yang memelukku malam itu. Siapa saja yang mencium  pipiku dan siapa saja yang memintaku kembali ke kota ini, entah suatu hari nanti.
Aku tersenyum, senyum yang paling manis. Mereka harus punya ingatan yang manis tentangku. Tentang Uzi. Malam itu aku tidur di samping Bapak yang sama sekali tak menangis. Ia hanya memijit-mijit pelipisnya sambil merokok sesekali. Kami tak berbicara sepatah kata pun.
                ***
Pukul enam pagi keesokan harinya kami tiba di Bandara Radin Intan Bandar Lampung. Peti Uzi sudah lebih dulu dimasukkan ke bagasi pesawat. Kami sedang duduk di ruang tunggu ketika hape dalam kantong celanaku bergetar.
Kakak, kami otw bandara mau ketemu Uzi.
Teman-teman  Uzi. Aku sampai lupa memberi tahu bahwa Uzi sudah tak ada. Mungkin mereka tahu dari Facebook.
Petinya sudah dimasukkan ke bagasi pesawat Dek, sudah enggak bisa lihat.
Jarak dari kampus mereka ke bandara cukup jauh, kasihan. Hanya bikin lelah saja.
Tak apa, kami mau ketemu Mamak dan Bapak saja.
Baiklah, ditunggu, jam 7 pesawat kami berangkat.
Benar saja, tak lama mereka datang, mungkin sekelas karena kulihat jumlahnya sampai dua puluhan orang. Aku kembali melihat Uzi pada wajah-wajah mereka. Sebagian dari mereka menangis karena kemarin masih beli baju dan ngobrolin tentang paduan suara.
Aku sibuk menenangkan mereka sekaligus menenangkan hatiku sendiri. Kulihat tas kuliah, buku-buku yang mereka dekap, semuanya mengingatkanku pada Uzi. Biasanya jam segini dia sedang siap-siap berangkat ke kampus. Aku masih malas-malasan dan dia sibuk menata rambut ikalnya. Menyapukan make up kalau ada beauty class, memasukkan high heels ke tas untuk dipakai di kampus. Kemudian dia akan minta dibuatkan segelas susu cokelat.
Pembagian tugas kami di rumah adalah, dia mencuci pakaian. Selebihnya, aku yang membereskan kamar dan menyetrika. Walaupun aku lebih sering mangkir dari tugas.
“Kakak, bajuku sudah habis, setrika, dong!”
“Pakai yang ada saja,” kataku.
“Enggak keren,” katanya lagi.
“Tutup pakai sweater biar enggak kelihatan kusutnya,” kataku santai, tanpa melepas selimut dari tubuhku.
“Enggak wangi.” Dia mulai merengek. Dia bukan sepertiku yang bisa memakai baju dengan sembarangan. Dia adalah nona rapi dan cantik.
“Semprot pakai  pengharum  pakaian,” kataku menutup telinga pakai bantal.
Biasanya kalau sudah begitu dia akan menarik selimutku dan menjadikannya alas menyetrika. Kemudian dia menghidupkan setrika dan mendekatkan kepadaku.
“Heh, yang tua jangan mangkir dari tugas, malu sama yang muda,” katanya. Dan aku terpaksa menyetrika dengan mata mengantuk. Setelah dia pamitan, aku akan kembali tidur.
“Kerjakan skripsi itu. Kalau enggak, pulang kampung saja sana,” katanya sebelum menghilang di balik pintu.
Aku memang kakak yang pemalas, tapi sangat pintar memaksanya untuk belajar.
    Tangisan teman-teman Uzi di depanku membuatku tersadar kembali.
“Kakak kami semua sayang Uzi,” kata mereka memelukku.
Ya, I know. Makanya Tuhan juga enggak mau jauh-jauh dari dia.
Pengumuman dari bandara mengingatkan kami bahwa waktu untuk pulang sudah tiba. Saatnya berkemas. Tangis anak-anak itu makin kencang.
“Kakak kapan lagi kami cari baju sama Uzi? Dia itu paling takut kalau menawar, biasanya aku yang bantuin.”
“Kakak, Kakak harus pertemukan dia dengan Albert, dia masih sering kangen gitu. Dia selalu curhat,” kata yang lain. Aku bahkan tak tahu lagi nama-nama mereka.
Tapi, kalimat itu cukup mengingatkanku untuk memberi tahu Albert, walaupun aku tak tahu di mana keberadaan bocah itu sekarang. Aku hanya tertawa dan meledek  tiap kali Uzi bercerita tentang Albert. Selebihnya aku tak tahu di mana dan bagaimana aku bisa menghubungi Albert, apalagi setelah Uzi tak ada.
Albert. Nama itu terus terngiang di telingaku bahkan saat memeluk semua orang.
“Mbak kapan-kapan main lagi ke sini,” kata Kinda
“Enggak mau, Lampung jahat,” kataku bergurau. Tapi memang, aku merasakan benar kalau kalimat itu benar-benar yang kurasakan saat itu.
“Tuhan yang ambil adik kamu Mbak, bukan Lampung,” katanya mengingatkan. Lampung ataupun Tuhan, aku sudah tak peduli.
Aku tak akan mau kembali ke tempat mengerikan ini. Tak akan.
                    ***
Di dalam pesawat menuju Jakarta, kami bertiga hanya duduk diam. Tak mau menoleh satu sama lain. Kalau aku menoleh ke Mamak pasti dia akan sedih, kalau Bapak menoleh aku, maka aku akan menangis. Maka kami bertiga pura-pura memejamkan mata. Satu patah kata yang keluar saat ini hanya akan membuat pertahanan kami roboh.
Aku ingat betul kata-kata Mamak di rumah sakit, “Menangislah kalau kita sudah sampai di rumah, di tanah kita sendiri. Di tengah orang-orang yang mengenal kita, di tengah orang-orang yang jemarinya bisa mengusap air mata kita, di tengah orang-orang yang bisa menghibur kita dalam bahasa kita sendiri.”
Kuucapkan kalimat itu berulang kali dalam hati agar air mataku tersimpan  makin dalam.
Saat transit di Jakarta, kami duduk mengambil posisi masing-masing. Aku memilih duduk di lantai. Bapak mencari tempat merokok dan Mamak duduk di kursi. Kami tak mau saling melihat. Kami lebih baik berpura-pura sibuk dengan urusan masing-masing saja.
Pesawat kembali dilanjutkan dan pramugari berkata bahwa pesawat kami akan transit lagi di Padang.
Bapak hanya tersenyum. “Jauh sekali perjalanan Adek, ya. Dia sudah sampai di Lampung, di Jakarta, kini kita bawa dia singgah ke Padang.”
Mamak juga tersenyum. “Iya, kita bawa dia berkeliling, meski cuma roh-nya.”
Aku malah membayangkan kalau Uzi sedang duduk di sayap pesawat di samping jendela kaca. Gaun putihnya berkibar tertiup angin dan juga rambut ikal panjangnya. Dia sedang tersenyum padaku seraya melambai. Kedua kakinya digoyang-goyangkan.
Aku ingin mengatakan pada Mamak dan Bapak, tapi tampaknya pikiran mereka sedang tak di sini.
“Lihat Kakak, aku terbang di antara awan-awan.” kudengar suaranya yang masih berlogat Medan. Lucu kalau mendengar dia berbicara dalam bahasa Indonesia.
“Awas nanti jatuh, pegangan.”
“Enggaklah, aku sekarang kan bisa terbang, mana pula bisa jatuh,” katanya lagi.
“Banyak gaya kau.”
“Kakak, sebentar lagi kita sudah sampai Padang.”
“Ya, di bandara doang.”
“Biarin, kan yang penting sampai di Padang.” Dia menjulurkan lidahnya.
“Sore nanti kita sudah sampai di rumah, Kak.”
“Masih lama kali.”
“Nanti ketemu Esa dan Azrel.”
“Memangnya Azrel kenal kita?”
“Kita kenalinlah, kita kan tante kesayangan mereka.”
Esa adalah keponakanku yang paling dekat dengannya, sedangkan Azrel lahir beberapa saat sebelum dia berangkat.
“Azrel enggak akan pernah tahu aku, ya.” Wajahnya terlihat sedih.
“Iya, dia enggak akan tahu ada tantenya yang suka Vidi dan agak alay.”
“Kakak, kita sekarang menurun.” Dia tampak tak peduli dengan kalimatku.
Pesawat memang mulai mendarat di Padang. Sebuah bandara kecil. Hanya kami bertiga yang tidak turun sehingga pramugari langsung tahu kalau kami adalah pemilik peti dalam bagasi. Pramugari tersenyum dan memberi kode pada kami untuk menunggu.
“Kita hanya transit sekitar lima belas menit Pak, Bu,” katanya ramah.
Aku melihat ke samping. Uzi tak ada di sayap pesawat. Barangkali dia hanya muncul kalau pesawat ini melewati awan-awan. Atau malah sekarang dia sedang jalan-jalan di Kota Padang. Menikmati rendang, barangkali. Soalnya dia tidak suka ikan. Dia suka daging dan keripik sukun.
Pesawat mulai naik lagi. Kini kami benar-benar menuju Medan. Namun, aku tak lagi melihat Uzi nangkring di sayap pesawat dengan gaun putihnya. Jangan-jangan dia tersesat di Kota Padang. Ah, tak mungkin orang sudah mati kan ada malaikat pengawalnya enggak mungkin juga dia bisa pergi sembarangan.
                ***

Di Bandara Polonia, kami disambut oleh beberapa tanteku. Peti dipindahkan ke ambulans dan mobil kami mengikuti di belakangnya.
Rumah kami sudah ramai ketika kami tiba di rumah. Kesalahan paling fatal saat itu adalah peti dibuka persis di depan Esa, keponakan kami yang saat itu barus berusia tiga tahun.
Ketika peti itu terbuka, darah membasahi hidung, sebagian pipi kiri dan kain kafannya, dan Esa melihat itu. Serta-merta dia menjerit karena mungkin merasa mengenali wajah itu.
“Itu bukan tanteku, ‘kan? Pasti bukan!” teriaknya, sambil menempel di dinding.
“Iya, itu Tante Uzi,” kata seorang perempuan, mungkin bingung  juga menjawab apa.
“Bohong. Kalian semua bohong. Terus ngapain rame-rame di sini. Tanteku itu kuliah di Lampung dan pulang bawa baju baru,” katanya dengan polos.
Aku bahkan tak bisa mendekatinya karena dia tak terlalu kenal wajahku. Hampir dua tahun tidak pulang hingga sulit bagi dia mengingat. Dia menjerit-jerit dan tak mau masuk rumah. Dia duduk di teras dan bertopang dagu, tak mau dipanggil, sekalipun oleh bapaknya.
Sementara si kecil Azrel tertidur lelap tak jauh dari peti. Dia pasti tak akan tahu kalau dia pernah punya tante berambut ikal dan punya nama Facebook UZIMENGASIHIMUSELALU.
Badanku serasa melayang, mungkin karena kami sudah dua malam tidak tidur. Dan baju yang kami kenakan bertiga adalah baju tidur tiga hari yang lalu. Karena seharian kemarin kami tak tidur dan bahkan sampi di sini kami masih memakai baju yang sama. Awalnya mereka memapah Mamak untuk mandi, kemudian Bapak dan aku.
                ***
Kuguyur tubuhku dengan air bak yang sedingin es. Di rumah, kami selalu menampung air hujan dalam bak, dan air hujan tiga kali lebih dingin dari air biasa, apalagi di kawasan pegunungan seperti rumah kami.
Badanku serasa melayang. Aku tak tahu apa yang kupikirkan. Begini rasanya tak menginjak tanah. Begini rasanya berjalan tapi seperti mayat hidup. Aku yakin kalau aku sekarang berjalan di tengah keramaian aku tak kan tahu siapa di depanku. Kalau aku disuruh menyeberang jalan aku tak akan tahu apakah ada mobil lewat atau tidak. Bahkan kalau seseorang menodongkan pisau, aku takkan lari ke mana-mana. Jangan tanya apa pun saat ini. Otakku terasa kosong seperti tong air di musim hujan.
Selesai mandi aku keluar dan mendapati rumah kosong. Hanya ada kakak iparku yang sedang menyusui Azrel. Aku biasa memanggilnya Eda.
“Ke mana mereka, Da?”
“Sudah berangkat ke los.*”
Aku menggosok-gosok kepalaku dengan handuk. Eda menegurku. “Kok, keramas? Kalau ada pihak keluarga yang meninggal harusnya enggak boleh keramas,” katanya lembut.
“Masa, sih, Da?” aku tak begitu paham.
Aku tak pernah tahu karena sebelumnya tak ada pihak keluarga kami yang meninggal. Lagi pula, dari kecil aku sudah tak tinggal di kampung.
“Ya, soalnya kalau kita keramas itu berarti kita sudah membersihkan diri, dan sudah enggak mau mikirin, kalau kata orang sudah bodo amat!”
“Maksudnya?” kataku tak paham
“Nanti orang bilang begini, ‘Ah dia enggak sedih adiknya mati, buktinya dia keramas, bersenang-senang menghilangkan capek.’”
Aduh. Aku tak paham hubungan mandi dan ketidaksedihan, tapi, ya, sudahlah, karena adatnya begitu, jadi aku menurut saja.
“Jadi gimana?” kataku.
“Pakai tutup kepala saja. Ambil kain di lemari.”
Menurut adat di kampung kami, kalau ada   yang meninggal, semua perempuan harus memakai penutup kepala, namanya uis gara-gara. Dan aku tak pintar memakainya. Eda membantu memakaikan ke kepalaku.
Setelah itu aku dijemput oleh sepupuku karena orang-orang di los menungguku. Aku heran. Untuk apa? Bukannnya acara bisa dimulai tanpa aku? Lagi pula, aku tak mengerti adat sama sekali. “Enggak bisa, kau harus ada,” katanya.
Eda memberikanku jaket dan bilang akan menyusul kalau Azrel selesai menyusui.



*************
Yessy Sinubulan




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?