Travel
Berkelana Rasa di Selandia Baru

6 Jun 2014


Pengantar Redaksi:

Atas undangan Auckland Airport, Redaktur Pelaksana femina, Yoseptin Pratiwi, berkunjung ke Selandia Baru awal Maret lalu. Selama 8 hari, menjelajahi Auckland, Napier dan Queenstown untuk mencicipi kelezatan kuliner Negeri Kiwi ini.

Selandia Baru memang terkenal dengan keindahan alamnya yang mengagumkan. Tapi, kali ini saya memiliki itinerary yang membuat penasaran, yaitu Sachie’s Kitchen Gourmet Tour. Sachie Nomura, celebrity chef Selandia Baru, memandu saya untuk menikmati kuliner negeri Middle Earth ini. Berawal dari Auckland di North Island menuju ke Napier, lalu terbang ke South Island, menuju Queenstown. Karena percaya pada ungkapan: your body is your temple, maka inilah saatnya memuja ‘kuil’ saya dengan fine dining dan mencicipi wine yang enak.


Rasa Mediterania di Tepi Pelabuhan
Sachie menjemput saya di Auckland Airport, dengan tas tangan rajutan besar yang isinya ternyata botol-botol air mineral. Sambutan yang manis dari chef berdarah Jepang yang ramah ini. Lalu, kami segera menuju tengah kota yang ditempuh dengan bermobil sekitar 35 menit saja.
Tuhan sepertinya tak hanya tersenyum ketika menciptakan Selandia Baru, tetapi juga tertawa. Betapa tidak, pemandangan yang tertangkap mata saya indah adanya. Tanah berselimut rerumputan hijau kekuningan berselang-seling dengan pepohonan berbatang besar yang tampak tua, dengan daun-daun rimbun meneduhkan. Di awal musim gugur, yang jatuh pada bulan Maret-Mei,  langit Auckland tampak biru cerah.
Dengan luas 1,086 km², kota ini dihuni oleh sekitar 1,7 juta penduduk. Karena terbiasa dengan kepadatan Jakarta, berada di Auckland seperti mendapatkan sanctuary yang mengesankan. Meski gedung pencakar langit bertebaran,  kota ini bukan kota dengan penduduk dan kendaraan yang bergegas tak sabaran.
 Berjalan kaki berbaur dengan penduduk kota, saya menyadari betapa multietnis warga kota ini. Selain warga kulit putih dan keturunan Maori, orang-orang berwajah India dan oriental banyak saya temui. “Bisa dibilang, 1 dari 4 warga Selandia Baru adalah imigran,” ujar Sachie, yang sudah menetap di Auckland sejak 16 tahun lalu.
    Untuk merayakan kedatangan kami, Sachie memilih Ostro Brasserie & Bar untuk makan malam. Resto ini terletak di lantai 2 Seafarers Building yang dulu menjadi tempat persinggahan para pelaut, dengan menghadap pemandangan pelabuhan yang dipenuhi kapal-kapal bersandar. Aroma laut itu terasa bahkan ketika Anda membuka pintu gerbang dari besi tempa dan menyusuri foyer yang dindingnya berhias panel-panel gambar khas pelaut seperti jangkar dan istilah-istilah pelayaran.
Digawangi oleh chef kondang Josh Emett --juri di Masterchef Selandia Baru dan pernah menjadi juri tamu di Masterchef Australia-- resto ini menjadi favorit sosialita Auckland. Beberapa kali Sachie menyapa pengunjung lain,  salah satunya adalah seorang wanita cantik,  desainer sepatu.
Set menu diedarkan, yang menurut Josh rutin diperbarui tiap minggu. Setelah mencicipi sepotong roti dengan olesan seaweed butter dan menyesap anggur putih chardonnay, saya pun menetapkan pilihan: Smoked Kahawai Omelette untuk appetizer, dan Wakanui Scotch, yaitu steak daging seberat 250 gram yang dilengkapi french fries. Untuk dessert, saya memilih vanilla panacotta.  
Ketika omelette ikan kahawai asap –ikan yang hidup di laut dingin daerah Tenggara Selandia Baru dan Australia-- disajikan, saya segera jatuh cinta pada hidangan berwarna oranye gelap itu. Aroma smokey ikan kahawai tidak berebut perhatian dengan lembutnya telur yang membingkainya.
    Mencicipi satu demi satu hidangan pesanan, termasuk satu-dua sendok hidangan pesanan teman rombongan, saya menemukan rasa Mediterania. Di antaranya adalah aroma herbs dan bahan-bahan yang biasa ditemukan dalam hidangan khas Mediterania, seperti caper, buah zaitun, dan tomat segar. Mungkin ini juga sejalan dengan nama Ostro, yang merupakan kosakata bahasa Italia yang berarti ‘angin selatan’.


Cooking Class at Sachie’s Kitchen
Sachie Nomura adalah satu contoh kisah sukses warga Selandia Baru imigran. Datang ke Auckland untuk belajar bahasa Inggris, wanita kelahiran Nagoya ini kemudian meniti karier sebagai chef yang ilmunya ia dapatkan secara autodidak. Ia kemudian mendirikan sekolah memasak makanan khas Asia di kawasan Parnell, sebuah kawasan elite di mana ia bertetangga dengan Perdana Menteri Selandia Baru. Sachie juga memiliki acara memasak di televisi.
Ruangan kelas yang terdiri dari 1 meja panjang untuk pengajar dan 4 meja panjang yang disusun dua lajur untuk murid itu berdesain simpel dengan lukisan tulisan kanji di dinding. Di sebuah sudut diletakkan meja makan mungil lengkap dengan kursi-kursinya. Para murid, selain menggunakan apron juga diberi kain ikat kepala… yang membuatnya seperti koki kedai ramen di film-film Jepang.
Ada 5 masakan Jepang yang akan kami pelajari hari itu: Mini Pavlova, Okonomiyaki (semacam dadar sayuran), Tofu and Wakame Miso Soup, Teriyaki Chicken, dan tentu saja sushi.  
Tanpa kesulitan, saya bersama Anna Black, teman satu tim, berhasil memasak satu demi satu resep andalan Sachie, termasuk sushi yang cantik, yang saat dipotong bentuknya   bulat tapi tidak gemuk dan isian yang warna-warni. Untuk isian sushi, tergantung selera dan kesukaan kita. Salmon, wakame, selada, mentimun, bahkan ayam teriyaki pun bisa dibuat isian.
Selesai beres-beres, tiba saatnya kami menikmati hasil masakan sendiri. Dengan membawa makanan masing-masing kami duduk di meja makan sambil mengobrol seru. Saya sengaja save the best for last. Oh, ternyata… sushi saya yang cantik itu tidak enak! Rasanya terlalu pedas karena kebanyakan irisan jahe warna pink itu. Padahal, penampilannya cantik betul.


Parade Wine di Hawke’s Bay
Sinar matahari yang panas  dan embusan angin laut yang menderu menyambut kami di Napier setelah perjalanan udara selama sekitar 1 jam dari Auckland. Napier terletak di Hawke’s Bay Region, sebelah barat daya North Island.
    Deretan rapi kebun anggur menyambut kami begitu memasuki Hawke’s Bay. Dengan gerombol-gerombol kecil anggur hijau di sana sini, Hawke’s Bay merupakan daerah penghasil wine terbesar kedua di Selandia Baru. Winemaking industry Selandia Baru dimulai di sini, sejak tahun 1851, ketika misionaris Katolik asal Prancis membuka kebun anggur untuk pertama kalinya di kawasan Taradele. Kini, kebun anggur milik para biarawan itu menjadi perusahaan penghasil anggur yang bernama Mission Estate Winery. “Para biarawan itu membuat anggur untuk keperluan misa perjamuan di gereja,” ujar Peter Holley, CEO Mission Winery, yang menyambut kami.
    Siang itu, Paul Mooney, winemaker yang sudah meracik wine selama lebih dari 30 tahun, mengajak kami  mencicipi anggur langsung dari tong-tong kayu oak di gudang. Hawke’s Bay terkenal dengan produksi white wine chardonnay (dari anggur hijau chardonnay) dan red wine bordeaux-blend (gabungan dari berbagai jenis anggur).
Paul memberi kami red wine pinot noir, sauvignon, dan syrah. Meski masih ‘mentah’ dan butuh diperam lagi dalam tong, pinot noir dengan warna merah keunguan (warna ikut menandakan usia wine, makin tua  warnanya merah gelap hingga merah kecokelatan) dengan aroma buah yang menyeruak, rasanya nikmat.
    Puas menikmati red wine langsung dari gudangnya, kami menuju ruang makan. Kali ini kami diberi white Jewelstone Chardonnay, yang saya sesap pelan-pelan. Lidah saya merasakan rasa yang kaya, seperti perpaduan antara buah nanas, plum, citrus, dan sedikit aroma kayu ek yang eksotis. Rasanya, segelas saja tidak cukup.
    Acara wine testing kami berlanjut menuju Craggy Range yang berlokasi di Hasting District. Winery yang didirikan sejak tahun 1997 ini dikelilingi   bukit-bukit kecil yang memanjakan mata. Winery ini berdiri karena keinginan seorang pebisnis Australia, Terry Peabody, untuk membangun winery yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi dalam keluarganya.
    Craggy Range memiliki Terroir, restoran bercita rasa Prancis yang romantis dan klasik. Kami memilih meja di luar, di samping deretan kebun anggur hijau yang buahnya masih kecil-kecil. Sambil menikmati matahari Hawke’s Bay, saya mencoba white wine riesling, chardonnay, dan sauvignon blanc. Dari ketiganya, favorit saya adalah riesling, yang terasa manis dengan aroma buah yang kental.


Burger Jumbo di Queenstown

Penggemar wisata alam dan extreme sport pasti akan jatuh cinta pada kota yang dikelilingi gunung-gunung dan di pinggir Danau Wakatipu ini. Gerimis tipis menyambut ketika saya menjejakkan kaki keluar dari pesawat. Namun, tak lama kemudian, hujan itu sirna dan berganti dengan cuaca cerah.
Perut yang lapar membuat saya tak sabar untuk segera mencicipi makanan paling hits di sana, yaitu di Fergburger. Resto burger ini memang kondang namanya, bahkan oleh CNN Travel disebut sebagai the best burger in the world. Tentu saja saya penasaran.
    Terletak di tengah kota, tepatnya di Jalan Shotover, restoran burger ini dibuka sejak tahun 2001. Sebetulnya saya lebih suka menyebutnya kedai ketimbang restoran, karena tempatnya sederhana saja. Namun, jangan ditanya rasanya. Saya sengaja memilih burger orisinal dari 20 varian burger yang mereka punya. Harganya berkisar antara 10-15 dolar NZ (1 dolar sekitar Rp9.000). Mahal memang, tapi sepadan dengan rasanya.
    Burger itu berukuran jumbo, dengan patty daging yang gurih, tebal, dan empuk. Lelehan keju dan segarnya selada membuat saya tak kuasa untuk berhenti mengunyah. Apalagi, saya menikmatinya sambil duduk di tepi danau kecil yang tak jauh dari kedai itu, di tengah siraman sinar matahari yang ramah.
    Sachie juga telah memilihkan fine dining restaurant untuk makan malam kami.  Maka, dengan berjalan kaki dari hotel, kami menuju Rata Dining. Restoran ini milik Josh Emett, yang bedanya dengan Ostro, mereka lebih banyak memakai bahan-bahan lokal. Karena itu, menu di sini bisa berubah  tiap harinya tergantung musim panen bahan makanan penyusunnya.
    Restoran ini terlihat maskulin namun alami dengan meja kayu yang tebal dan kokoh menjadi meja makan yang harmonis dengan lantai batu. Di dinding terpasang gambar besar sebuah hutan. Dengan penerangan yang redup, suasananya menenangkan untuk menikmati kelezatan makanan racikan chef yang pernah bekerja dengan Gordon Ramsay ini.
    Cured Malborough King Salmon untuk pembuka dan Merino Lamb Rump untuk makanan utama, serta Black Doris Spiced Plums untuk penutup. Ikan salmon yang segar, daging domba yang empuk membelai lidah. Dessert pilihan saya yang berupa   macaroon cokelat dengan filling buah plum yang pekat menjadi penutup yang sempurna.


TIP
•    Tidak ada penerbangan langsung ke Auckland. Beberapa maskapai yang terbang ke Auckland adalah Singapore Airlines, Malaysia Airlines, dan Qantas dengan estimasi biaya (pp) US$ 1,100 – US$1,900, termasuk tax.
•    Musim di Selandia Baru, musim panas (Desember-Februari), musim gugur (Maret-Mei), musim dingin (Juni-Agustus), dan musim semi (september-November).
•    Selain kuliner, aktivitas yang bisa dilakukan adalah wisata adventure, fotografi, atau olahraga ekstrem seperti bungy jumping.
•    Untuk informasi lebih lanjut, bisa cek Facebook.com/LuxuryNZ.Indonesia atau LuxuryNZ.co.id (Yoseptin Pratiwi)





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?