Fiction
Berapa Babi Maskawin, Ko? [9]

20 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Mentari sore bersinar lembut di latar belakang. Sinar lembutnya menimpa lautan biru membentuk garis jingga kekuningan sampai ke batas cakrawala. Keduanya tidak bicara. Hanya berjalan pelan-pelan. Menikmati pantai dan desiran ombak. Ada lagikah yang lebih indah dibanding kebisuan yang menenangkan?

“Masih ingat tempat itu? Itu tempat ko memandangi laut tempo hari.”

Di bawah rerimbunan daun kelapa hamparan pasir itu terlihat sejuk. Tempo hari tempat itulah yang dipilihnya untuk bermeditasi. Tari ingat benar tempat itu. Ia mengangguk membenarkan.

“Ko mau memandangi laut lagi seperti tempo hari?”

Tari ingin menjawab tidak, tetapi Fritz keburu melangkah ke bawah pohon kelapa. Persis seperti yang dilakukan Tari dulu, Fritz mencoba menirunya. Ia menggali pasir dan menumpuknya menjadi gundukan di satu sisi.

Tari mengamati pria itu. Mengamatinya saat menggali. Pria itu sebaya dirinya. Tampan, gagah, dan kekar. Kulitnya yang hitam legam dan rambut keritingnya yang terpotong rapi membentuk keindahan yang khas, yang tak dilihatnya ada di antara teman-temannya di Jawa. Tetapi, lebih dari semuanya, perhatian kecil yang selalu ditunjukkannya, seperti saat ini, membuat segalanya terasa manis sekaligus mengharukan.

“Cukup begini tingginya, Tar? Mau dicoba dulu?”

Tari tercekat. Buru-buru ia mendekat dan mencoba duduk di atas gundukan pasir. Rasa hangat menyentuh bokongnya. Seperti yang dulu dirasakannya pasir hangat ini membawa kelembutannya sendiri. “Kurasa ini sangat enak. Empuk.”

Fritz tersenyum puas. Keringat menetes dari keningnya. Diamati Tari yang mulai bersiap melipat kaki. “Sa pergi dulu. Jalan-jalan. Silakan menikmati laut.”

Ingin Tari berkata, aku tak hendak menikmati laut, duduklah di sini saja bersamaku, tetapi Tari mengurungkan niatnya. Karena, dilihatnya Fritz sudah mulai berjalan menjauh.

Ketika Fritz telah jauh, Tari mulai memejamkan mata. Ia sudah memantapkan hati. Kali ini aku akan mengamati diri, melihat kembung-kempisnya perut. Seperti dulu juga, disapunya seluruh tubuhnya, mengendurkan seluruh ketegangan mulai dari kepala, leher belakang, bahu, sampai ke bokong dan paha. Dalam proses relaksasi itu tubuhnya menjadi harmonis disusul pikirannya yang berubah tajam dan jernih. Setelah itu ia turun ke perut, mengembang dan mengempis dengan beraneka ragam irama yang berubah setiap saat.

Tari mengamati dengan ketat dan mencatat secara teliti, “Kembung... kembung... jeda… kempis... kempis... kembung....

Tring aling tring aling.

Dering merdu dari ponsel Tari. “Siapa lagi yang menelepon sore-sore begini. Mana pikiran sedang jernih-jernihnya….”

Tari merogoh kantong celana dan meraih ponselnya.

Dari Heru.

Gerutunya, “Mengganggu saja.”

Meski begitu, ditekannya juga tombol bergambar telepon dan menjawab dengan suara dilembut-lembutkan, “Ya… halo?”

Terdengar suara serak dari seberang sana, “Mamih, Papih, dan Om Beno telah sepakat untuk membuka satu kantor cabang di Medan. Untuk sementara aku akan melihat-lihat calon lokasi kantor. Ada teman Om Beno yang menawari tempatnya di sana. Tetapi, kurasa aku perlu kamu untuk pergi bersamaku. Biasanya kamu itu punya ketajaman rasa melihat sesuatu. Maksudku, apakah tempat itu bagus, feng shui-nya oke untuk usaha?”

Tari tak menyahut. Angin dingin mengelus pipinya. Awan putih di kejauhan, sinar mentari sore yang menimpa bahunya, semuanya menciptakan sensasi tersendiri. Membantunya membentuk kedamaian di dalam diri. Tangannya mencengkeram erat ponsel, pikirannya menjelang ’diam’. Sehingga hanya suara Heru saja yang mewakili dunia luar yang hiruk pikuk.

Semua unsur-unsur itu –keheningan di dalam dan hiruk pikuk suara Heru di luar-- begitu kontras dan aneh. Sehingga, tanpa sadar Tari telah menjauhkan tangannya yang menggenggam ponsel dari telinganya. Dan, pikiran-pikiran yang mengendap selama tiga tahun ini muncul dengan deras menjadi pertanyaan tajam (pertanyaan yang selalu mengusiknya dan yang anehnya kerap ia abaikan). Kini, ketika berjarak dengan Jakarta dan Heru, pertanyaan ini mengalir keluar dengan bebas.

“Heru… siapa Heru?” tanya Tari, kepada dirinya sendiri. “Pacarku… ups… begitulah kesepakatan yang terjadi di antara kami.”

“Apakah aku mencintainya? Apakah dia mencintaiku…?”

Tari mendesah resah.

Heru memang memesonanya. Heru itu tampan. Itu yang tertampak oleh matanya dan di mata banyak wanita lain. Karena itu, hatinya sempat berdesir ketika pertama kali melihat pria itu di perusahaan keluarga (dulu ketika pertama ia diterima bekerja di tempat itu). Pada perkembangannya, ketika akhirnya Heru memilihnya, betapa bahagia hatinya. Ia begitu bangga. Terlebih mengingat Heru itu anak laki-laki satu-satunya Tuan Gondokusumo yang kaya raya itu. Semua alurnya persis kisah Cinderella, bukan?

Sejak itu ia telah menjadi partner paling setia Heru. Karena, mereka selalu ke mana-mana bersama-sama mengurusi semua kebutuhan kantor, ke Batam, ke Singapura, ke Bandung, ke pertemuan para pemegang saham. Dan juga –dan ini yang paling penting-- menghabiskan akhir minggu mereka di kantor untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai. Selain itu?

Mengapakah kini saat di Papua, justru setelah bertemu Fritz, ia melihat hubungannya dengan Heru bukanlah hubungan dua kekasih yang saling mencintai, tetapi lebih sekadar hubungan dua pekerja yang saling terikat demi kebutuhan yang sama, yakni pekerjaan itu sendiri.

Dan, pengalaman hari ini menyadarkannya benar. “Fritz membuatkanku gundukan pasir.”

“Heru?”

Lama Tari berpikir dan mencari sesuatu yang mungkin pernah dilakukan Heru khusus untuknya. Meski telah memeras otaknya, ia tak menemukan sesuatu –jejak Heru-- yang mengingatkannya akan statusnya sebagai kekasih.

Suara di ponsel Tari mengeras. Heru menjerit-jerit dari seberang sana. Herannya, Tari sama sekali tidak takut. Karena, ia telah menemukan jawaban dari keterikatannya kepada pria ini. Ketakutannya yang begitu tradisional: usia. Bahwa ia akan memasuki usia rawan di tahun-tahun mendatang. Dan, bahwa karena ketakutannya itulah, ia sangat ’memegang’ Heru. Berharap pria itu mau menyelamatkannya pada saat yang tepat. Padahal, harapan itu dari saat ke saat makin jauh dari genggaman.

Ketika secara jernih ia melihat ketidaktakutan dalam dirinya, dengan berani ia mengambil keputusan tepat. Keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Bahwa detik ini juga ia adalah wanita bebas. Wanita cantik yang sama berharganya seperti wanita lain. Wanita yang layak untuk dicintai. Dan… oh... tentu… ia dengan tegar masih akan kembali ke kantor lamanya di Jakarta sebagai karyawan. Seperti karyawan-karyawan lainnya. Apanya yang aneh dengan itu?

Maka, pelan-pelan ditempelkannya lagi ponselnya di kupingnya. Katanya dengan suara tegas, “Heru, kali ini kamu perlu mendengarkan aku. Aku sedang berlibur. Dan, aku berhak untuk menikmati liburanku. Seratus persen….”
Tak ada sahutan dari seberang sana. Sepertinya makhluk itu, Heru, seperti baru disambar petir atau tengah berhadapan dengan makhluk asing. Makhluk yang sama sekali tak pernah diduganya akan berbicara seperti itu kepadanya.

“Sudah, ya…. Ada yang harus kulakukan,” kata makhluk yang baru merasa terlahir kembali itu. Klik. Tari mematikan ponselnya. Untuk pertama kali dalam tiga tahun ini ia berani mematikan sambungan telepon terlebih dahulu, saat berbicara dengan Heru.

Sambil memasukkan ponselnya ke saku, dilihatnya satu sosok di kejauhan. Sosok itu begitu kecil –seperti liliput-- yang berjalan pelan memunggunginya. Ia kenal benar sosok itu. Segera Tari bangkit berdiri dan bergegas menyusul liliput itu.

“Fritz… Fritz…!” Tari berteriak.

Fritz tidak mendengar. Angin laut telah membawa suara Tari ke arah berlawanan.

Tari tidak putus asa. Ia berlari mengejarnya, “Fritz… tunggu aku... Fritz...!” (tamat)

Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang I Sayembara Mengarang Cerber Femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?