Fiction
Berapa Babi Maskawin, Ko? [7]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Semua berhenti mengisap. Semua mata kini tertuju kepada Nene. Tari menghentikan gerakan tangannya. Ruangan perlahan menjadi sunyi. Melihat kesenyapan itu, dadanya berdetak lebih kencang. “Tong su baku bicara dengan semua tong pu keluarga di sini. Bicara-bicara sampe lama. Jadi sa pikir ada baiknya sa tanya,” Nene tak sanggup melanjutkan perkataannya. Bagaimanapun, untuk urusan yang satu ini, ia tak punya kewenangan. Semuanya harus diserahkannya kepada kaum pria. Kalau saja suaminya masih hidup, kalau saja ayah Fritz masih hidup, merekalah yang akan mengurusi hal-hal demikian.

Bapa ade --yang kulitnya seputih susu itu-- melongokkan wajahnya ke dalam. Inilah saatnya untuk mengambil alih. Ini memang tugasnya. Ia segera masuk ke dalam dan duduk di dekat pintu. Katanya, “Tong su baku bicara. Su baku runding. Begini, kira-kira berapa babi maskawin, ko? Ini kira-kira saja.”

Suasana sunyi. Tari sibuk memandangi lantai. Maklum, ia terlalu kaget mendengar semuanya. Melihat itu, Nonce mencolek pinggangnya. Tari mendongak. Kaget. Untuk kesekian kali. Kaget, karena semua mata kini berpusat kepadanya. Menunggu. Menunggu jawabannya.

Sunyi itu lama sekali. Untuk kedua kalinya Tari merasa tersiksa selama liburan di sini. Pertama ketika di pantai dan sekarang. Lamaran itu… lamarankah itu? Semuanya begitu tiba-tiba.

Tring aling tring aling.

Ponsel Tari berdering. Seperti dugaannya, panggilan dari orang yang sama. Heru. Tari menarik napas lega. Selama tiga tahun hubungan mereka, baru sekali ini ia merasa nyaman menerima telepon Heru. Pelan-pelan Tari berdiri, meninggalkan piring papeda-nya di lantai, sambil meminta maaf ke sana-sini. Terakhir ia menekan tombol bergambar telepon warna hijau. “Ya?”

Terdengar sahutan dari seberang sana, “Besok malam ada rapat pemegang saham. Kamu sudah tahu, ’kan? Papih dan Mamih hadir. Juga Om Beno. Barangkali aku akan mengajak Melisa atau Desi. Seharusnya kamu….”

Bunyi berisik sambungan telepon yang buruk. Kemrosak. Sehingga Tari hanya mendengar sepotong dua potong suku kata. Meski begitu, Tari tak hendak bersusah payah mengingatkan Heru. Pelan-pelan ia keluar ruangan, berusaha mencari sepenggal tempat yang lowong. Kalau bisa.

Di dalam para wanita dan sebagian pria duduk di lantai kayu memenuhi hampir seluruh ruang. Di teras tak kalah padatnya. Hampir seluruh teras sempit itu dipenuhi pria --tua, muda, besar, kecil-- yang dengan sangat antusias mengisap papeda. Tari menyapu sekilas. Dan, ia menemukan bahwa satu-satunya tempat tersisa hanya tangga rumah di bagian depan teras.

Pelan-pelan ia menuruni beberapa anak tangga. Waktu pertama kali kemari, ia melihat anak tangga itu panjang dan berpijak pada dasar laut yang berlumpur.

Di dalam –sepeninggal Tari-- terlihat ketegangan yang nyata. Ini berawal dari protes Fritz yang merasa tak dilibatkan dalam urusan ini. Padahal, ialah nanti yang akan duduk sebagai mempelai pria. Kalau jadi. “Nene… o… Nene. Nene tra bisa begini. Tari pu adat lain, e. Dong tra hitung perempuan dengan babi.”

“Ko…,” Nene sudah akan membantah, tetapi ia melunak sedikit, “jadi deng apa? Manik-manik? Piring? Apa?”

Dengan cepat Fritz menghentikannya, “Sa belum selesai bicara. Yang lebih penting, sa belum bicara dengan Tari. Sa belum berunding dengan dong. Ini tra bisa begini. Sa berunding dulu, to.”

“Ah… ko anak muda tahu apa. Ini urusan torang, kita, semua.”

“Nene tra lihat Tari pu muka, kah? Pucaaaat. Kasihan Tari.”

Bapa ade yang menengahi, “Nene su benar, mo. Ini urusan torang semua. Torang harus jelas dong pu maskawin. Jadi torang bisa siap-siap dari sekarang.”

“Yo…,” sahut banyak orang, membenarkan.

“Jangan sampe seperti dulu. Itu ko pu gadis gunung. Torang tra bisa bayar dong pu maskawin. Torang jadi malu. Akibatnya? Ko tra kawin-kawin sampe….”

“Yo,” angguk yang lain lagi, beramai-ramai.

“Kamorang tahu Marten, to. Yo, orang Kayu Pulo. Teman sekolah Fritz. Dong pu anak su gadis besar sekarang.”

“Magdalena juga. Dong pu anak su es-me-pe, lagi.”

“Itu, sudah.”

Tari masuk. Semuanya diam. Terutama ketika dengan tegas Fritz menunjukkan wajah gusar kepada semua orang. Meski begitu, Tari sempat mendengar bagian yang terakhir. Soal gadis gunung itu, dan uang mahar yang tak mungkin terbayar.

Eta sudah lama terlelap, sementara Tari belum mampu memicingkan mata sedetik pun. Ia masih tergolek-golek gelisah di tempat tidurnya. Lamaran di rumah Fritz tadi, kalau memang mau disebut begitu, meresahkannya.
Dengan enggan ia bangun dari tempat tidur, membuka pintu kamar, dan berjalan ke luar. Ruang tamu begitu gelap. Tari tak hendak menyalakan lampu. Bila sedang gelisah, ia merasa nyaman tinggal dalam gelap. Dengan langkah gontai ia membuka pintu depan dan duduk di salah satu kursi di teras.

Di bawah sana terhampar pemandangan yang menakjubkan. Hampir seluruh bukit berkerlap-kerlip, yang berasal dari nyala lampu rumah-rumah penduduk. Pendar nyala lampu itu sedemikian memesona. Seolah seluruh bukit dipenuhi oleh tebaran kunang-kunang. Sementara di atasnya -di gelap langit- tertebar pendar yang lain. Pendar ribuan bintang membuat hidup begitu sempurna dalam geraknya yang damai dan lambat. Itulah sejatinya gerak alam. Damai, tenang, tidak terburu-buru.

Terdengar pintu dibuka dan ditutup. Kemudian sebuah suara yang dikenalnya benar. Suara Nonce, “Belum tidur?”

“Nggak bisa tidur.”

Sunyi lagi. Nonce ikut-ikutan duduk di kursi di sebelah kursi Tari. Dengan santai diangkatnya kedua kakinya ke atas kursi dan dipeluknya lulutnya. “Ehm… dingin juga di sini.”

“Lihat, deh, Non, pemandangan ini. Bukit berlampu, bintang, bulan, langit yang luas. Indah sekali. Hampir mustahil mendapatkan pemandangan seperti ini di Jakarta.

Nonce mengangguk. Diam-diam dipandanginya seluruh jagat raya yang hampir setiap hari hadir dalam hidupnya. Kota di bawah sana, bukit yang melingkupinya, ditambah langit luas di atasnya, semua tak terasa asing baginya. Tetapi, mengapakah malam ini semuanya terasa baru? Kebaruan itu, bisa jadi, muncul dari komentar Tari yang saat ini sedang terkagum-kagum memandangi semuanya.

Diam-diam Nonce pergi menuju dapur untuk membuat dua gelas kopi panas. Ketika kopi panas itu siap dan ia kembali lagi ke teras, dilihatnya sahabatnya masih dalam posisi semula, masih ter¬mangu memandangi alam luas di sekitarnya.

Nonce ikut duduk. Terpaku. Larut dalam suasana. Keindahan itu menyatu dengan dirinya. Ia merasa damai, penuh syukur, bahwa saat ini ia telah diberi karunia yang luar biasa bisa melihat alam raya yang sangat menakjubkan.

Lama setelah saling bisu, Nonce memulai. Ia, toh, harus menjelaskan semuanya. Soal Fritz itu. Ia sayang Fritz. Ia pun sayang Tari. Ia tak ingin (karena kejadian di awal malam tadi) hubungan akrab yang telah terjadi di antara keduanya retak, hanya karena salah paham.

“Sa ingin bercerita. Dengarkan sajalah.”

Tari mengangguk. Dalam diam.


Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang I Sayembara Mengarang Cerber Femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?