Money
Banyak Primadona Baru Dalam Investasi Syariah

12 Sep 2012

Meski telah satu dekade investasi syariah berkembang di Indonesia, nyatanya masih banyak orang yang masih ragu menanamkan pundi-pundi investasinya di jalur ini. Konsep syariah yang tidak mengenal riba (bunga) yang mengadopsi sistem bagi hasil antara nasabah dan bank, masih dipandang tidak mampu memberikan tingkat penghasilan yang pasti. 
“Dari segi laba, produk investasi  belum bisa bersaing dengan investasi konvensional. Alias, cenderung jauh lebih rendah,” ujar Amelia (27),  saat mengungkap keengganannya untuk mencoba jalur investasi ini. Benarkah demikian? 

“Tergantung jenis produknya. Secara teoretis memang demikian. Terutama, untuk produk investasi tertentu yang terkait dengan saham, seperti reksa dana saham atau campuran,” ungkapTeguh. Hal ini menyangkut terbatasnya pilihan saham yang tersedia bagi para investor syariah. 

Dari sekitar 400 jenis saham yang dijual di Bursa Efek Indonesia, hanya sekitar 270-an saham yang oleh hasil penyaringan Bapepam dinyatakan tidak bertentangan dengan syariah Islam. Nama-nama dari perusahaan yang masuk dalam kriteria syariah bisa dibaca dalam Daftar Efek Syariah (DES). Investor syariah hanya dibenarkan untuk menaruh dana mereka pada perusahaan yang terdaftar dalam DES.

Implikasinya, ketika semua saham yang terdapat dalam DES mengalami penurunan nilai, maka investor nonsyariah  masih dapat melakukan switch dengan menjual saham tersebut, dan mengalihkan dananya untuk membeli saham (dari manajer investasi yang sama) di luar DES yang lebih menguntungkan. “Langkah yang sama tidak bisa dilakukan oleh investor syariah, yang mau tidak mau harus terima ‘nasib’,” jelas Teguh.
Namun, teori ini pun baru-baru ini telah terbantahkan! “Sejak Maret, Mei, bahkan hingga Juni 2012, reksa dana syariah saham dan campuran memberikan return yang lebih besar daripada reksa dana sejenis dari produk konvensional. Bahkan, riset mengungkapkan bahwa untuk produk investasi nonsaham, seperti reksa dana pendapatan tetap (sukuk, obligasi), produk keluaran syariah lebih unggul dari konvensionalnya,” papar Teguh, tentang beragam produk di pasar modal syariah.

Tentang konsep bagi hasil dalam investasi syariah dan ketakutan terhadap ketidakpastian hasil, juga merupakan salah satu imbas kurangnya pemahaman masyarakat. Teguh menerangkan  bahwa bentuk bagi hasil ini biasanya dipakai pada produk investasi yang dikeluarkan oleh bank, seperti tabungan, deposito, giro, pinjaman, serta asuransi. Bagi hasil ini akan diwakili dengan nisbah, yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan awal antara nasabah dan pihak bank, misalnya 60 : 40 (60 untuk Anda, dan 40 untuk bank).

”Keuntungannya bisa naik-turun, sesuai dengan performa bank dalam memutarkan modal nasabah. Kalau usaha yang didanai bank performanya bagus, maka keuntungan tinggi, demikian sebaliknya,” ujar Teguh. Ketidakpastian yang bagi beberapa orang dianggap menakutkan ini sebenarnya justru bisa menjadi sistem peringatan dini. 
Ketika bank krisis, maka pendapatan menurun. Sebagai deposan, kita wajib waspada. Apabila turun terus, padahal kondisi pasar sedang bagus, dan SBI (suku bunga bank Indonesia) juga naik, berarti kemungkinan besar banyak kredit yang macet di bank tersebut. Sehingga, kita bisa mengalihkan dana ke bentuk investasi lain, atau ke bank syariah yang lain,” jelas Teguh.

Sistem peringatan dini seperti ini sulit ditangkap saat Anda menabung di bank konvensional. Sebab, menurut Teguh, di kondisi krisis, bank konvensional justru cenderung meningkatkan suku bunganya. ”Tujuannya, agar nasabah tidak lari,” tambahnya. Hal inilah yang terjadi saat  krisis tahun 1997/1998, di mana suku bunga bank pernah naik hingga 60%! Padahal, banyak kredit yang macet. Tahu-tahu bank ambruk, dan nasabah kebingungan karena tidak bisa menarik dananya.  

Tidak kalah dengan produk konvensionalnya, perbankan syariah juga memiliki banyak koleksi pilihan investasi. Mulai dari yang paling sederhana, seperti tabungan dan deposito, sampai ke reksa dana, saham, gadai emas, dan bisnis properti. ”Sekarang ini gadai emas dan investasi yang menawarkan harga lebih menarik, investasi properti juga menjadi primadona baru di dunia syariah,” ungkap Achmad.

Untuk kredit pemilikan rumah (KPR), perbankan syariah menawarkan fitur pembiayaan yang menarik, yaitu melalui konsep sewa-beli, atau yang dikenal dengan program Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT). Skema pembiayaan ini  memudahkan mereka yang ingin berinvestasi di bidang properti. 

Ketika ingin membeli rumah ke-2 atau ke-3, yang memang ditujukan untuk kepentingan investasi, nasabah tidak perlu memakai atas nama sendiri. Sebagai gantinya, mereka bisa memakai atas nama bank. ”Ketika di tengah jalan properti tersebut akan dijual, pihak bank yang akan melakukan transaksi penjualan. Nasabah juga tidak perlu repot mengurus sertifikat ganti nama,” jelas Achmad.

Anda juga bisa membeli rumah dengan cara jual beli (murabahah). Dengan cara ini, nasabah syariah   tidak perlu khawatir terhadap melonjaknya suku bunga KPR sebagai akibat fluktuasi harga pasar, seperti yang terjadi pada sistem pembiayaan konvensional. Kewajiban nasabah adalah melakukan angsuran tetap hingga jatuh tempo pembiayaan dengan bunga fix. 

Namun, ada yang perlu Anda perhatikan saat ingin mengajukan KPR dengan sistem murabahah. Harap dimengerti, bahwa kredit yang diterapkan merupakan gabungan dari harga rumah plus biaya ‘bunga’ selama tahun pengajuan  KPR (5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan seterusnya). Maka, jika akan melakukan pelunasan sebelum jangka waktu kredit, si debitur harus membayar total nilai kredit yang tersisa (berarti termasuk biaya bunga 5 tahun). (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?