Fiction
Atas Nama Merah Putih [2]

15 May 2013


<<<<<Cerita Sebelumnya

Kisah Sebelumnya
Tak tahan dengan perlakuan suaminya, Rukmini, seorang selir adipati pada masa penjajahan Belanda, memutuskan kabur dari istana dengan mengajak Ningsih, gadis kecilnya. Sayangnya, malam itu sedang ada kontak senjata antara gerilyawan dan penjajah. Kereta Rukmini diberondong senjata dan mereka terjebak di hutan. Di sana, ibu dan anak ini ditolong oleh gerilyawan, Pramono dan istrinya, Sutirah, yang merupakan seorang dokter.


Ufuk pagi menyergap dengan udara yang dingin menyejukkan. Mata Ningsih terbuka seketika dan mendapati dirinya tertidur di atas pangkuan Rukmini yang terjaga semalaman. Ketakutan akan liarnya malam telah membuat ia memaksa untuk membuka mata lebar-lebar demi mengawasi sekeliling. Kini, pagi pun menyapa. Menawarkan sejuta harapan akan dimulainya perjalanan baru menuju dunia luar. Entah karena Tuhan mengabulkan doa Rukmini atau memang takdir telah menuntun mereka berdua menuju jalan keberuntungan, ibu beranak ini tetap selamat mengarungi kejamnya rimba tadi malam.

“Ayo kita pulang, Nduk,” Rukmini kembali menggendong Ningsih menyusuri ilalang. Dengan terpaksa, ia petik helai-helai daun sebagai sumber energi mereka berdua pagi ini sembari terus berdoa dalam hati agar dedaunan ini tidak beracun.
Semangat Rukmini kian membuncah seiring warna pagi yang riang mengawal langkah kaki mereka. Matanya membelalak menatap sinar putih yang menerobos malu-malu melalui celah-celah hutan. Dengan setengah berlari, ia menjemput sinar itu. Sinar kebebasannya.

“Terima kasih, Gusti…,” raung Rukmini penuh haru. Ia menciumi Ningsih, tetapi anak itu tak tersenyum sedikit pun. Matanya sayu menatap sang ibu.
“Nduk, kamu sakit?” Rukmini memegang dahi Ningsih yang terasa panas. Ia khawatir. Jalannya pun tak tentu arah, dilema meradang, dan demi Ningsih, ia terpaksa kembali ke rumah.
    *******************
Temanggung, 1936.
“Izinkan aku ke Batavia, Pak,” pinta Ningsih, memohon. Ia memberanikan diri menatap lekat mata hitam ayahnya --suatu hal yang tabu untuk dilakukan-- walau ia tidak bermaksud untuk berlaku tak sopan. Hal ini sesungguhnya lebih condong kepada cerminan kuatnya keyakinan yang membuahi ranah hatinya.
“Nduk, sebentar lagi kamu akan dinikahkan…. Sudahlah, ndak usah macam-macam,” sahut Tjokro, enggan.

“Aku ingin menjadi dokter. Satu cita-cita yang sudah melekat semenjak Ningsih masih kecil… semenjak Ningsih melihat sendiri betapa mengenaskannya kondisi tentara yang terluka.” Ningsih menundukkan wajah, menahan tangis. Perih ironi ia redam kuat-kuat dalam hatinya. Tak bisakah seorang wanita menentukan sendiri jalan hidupnya?
“Kamu tidak perlu memikirkan pejuang, itu bukan urusanmu. Pergilah tidur sekarang. Hari sudah larut.”

Ningsih mengangguk hormat. Ia berjalan masuk kamar dengan kepala tertunduk karena menahan air mata yang mendesak keluar. Takdir ditiupkan Tuhan kepada roh manusia, namun dengan begitu, bukankah berarti Tuhan yang membenamkan wanita-wanita Jawa dalam tiap gerak keterbatasan? Atau sesungguhnya ego manusialah yang memanipulasi semua itu?

Ningsih menghela napas panjang. Diusapnya air mata di ujung pelupuk matanya. Wanita harus kuat, hibur Ningsih, dan bukan dengan menangis semua permasalahan bisa diselesaikan. Aku harus mencari jalan lain. Harus.

Ningsih pun melirik leestrommel di atas meja samping tempat tidurnya. Tumpukan koran itu begitu menginspirasi karena semuanya bertutur tentang gaung kebebasan untuk para pribumi. Ia takjub betapa dunia luar telah berputar sesuai indah warna yang mereka kehendaki, sementara ia terkurung di rumah bagai makhluk asing yang terlempar dari arus perputaran satelit.
Ningsih tiba-tiba tersenyum. Ia tahu harus berbuat apa.

*******************
Ningsih memandang kertasnya lagi. Ia akan terus menulis sampai ada yang bersimpati dengan keinginan bajanya untuk melanjutkan sekolah di Batavia. Surat kabar De Journalisten Wapen adalah surat kabar yang paling banyak menarik perhatiannya dari sekian tumpuk surat kabar yang sering ia baca  tiap hari.

Koran berbahasa Belanda, Indonesia, dan Jawa itu muatannya penuh dengan kritikan-kritikan tajam tentang nasib kaum pribumi yang menjadi budak di negeri sendiri. Selain itu, para jurnalis yang menulis di sini juga mengungkapkan perhatiannya pada kaum wanita pribumi yang tak lebihnya hanya sebagai pemuas nafsu semata. Mereka dilarang bergerak, bahkan terkurung dalam jeruji keinginannya sendiri.

Bahasa nasionalisme De Journalisten Wapen mengalun merdu dan Ningsih merasa inilah sarana paling baik untuk memberi tahu dunia luar bahwa ia mampu bermetamorfosis menjadi pribadi yang dikehendakinya. Ia pun menulis bahwa keinginan kuatnya dilatarbelakangi oleh niat suci menyelamatkan jiwa para tentara yang bertempur di medan perang. Selain itu, dokter  adalah jabatan terhormat bagi kaum wanita Jawa yang hidupnya selalu terkurung adat. Dengan harapan besar, lebih banyak lagi wanita yang pola pikirnya menjadi maju dan mengikuti jejaknya.

Dilipatnya tulisan itu dengan senyum puas. Akan ia kirimkan melalui kurir ke kantor surat kabar tersebut esok hari. “Biarlah Bapak tahu…,” ucap Ningsih kepada dirinya sendiri.   “… walaupun itu hanya akan membuatnya  makin mengurungku,  setidaknya aku telah berusaha. Aku tak akan menyerah….”

*******************
R.M. Djoko Kartoduwirdjo adalah seorang bupati Rembang yang usianya terpaut tujuh belas tahun dengan Ningsih. Ia kini sedang bercengkerama bersama ayah dan ibu tirinya. Diam-diam, Ningsih memperhatikan Rukmini yang duduk di kursi ruang tamu. Rukmini adalah satu-satunya semangat Ningsih untuk bangkit karena ia telah mengorbankan perasaannya sendiri demi kemajuan putri tunggalnya itu.

“Ningsih akan aku kawinkan seminggu lagi.” Ucapan bapaknya barusan mengagetkan Ningsih yang mengintip dari pintu kamarnya. Ia bahkan tak pernah bertatap muka langsung dengan Djoko. Rencana pernikahannya begitu cepat terjadi dan Ningsih tak kuasa menolak permintaan Tjokro.

Hingga waktu  makin bergulir, mereka bertiga terus bercakap seolah tak ada Rukmini di sana. Ningsih merasa ini bukan harga yang pantas seperti dijanjikan ayahnya agar Rukmini dapat hidup bersama putri tunggalnya itu.
Lamunan Ningsih pun membawanya berputar menjelajahi samudra waktu. Ingatannya penuh dengan bayangan masa kecil tepat di saat ia kembali ke rumah dalam keadaan sakit parah.
*******************
Temanggung, 1922.
 “Malaria?”
Mantri itu mengangguk. “Mungkin digigit nyamuk saat berada di hutan, Ndoro….”
Tjokro memandang Rukmini tajam beberapa lama. Istrinya itu terus menangis di samping Ningsih sembari memanjatkan doa-doa keselamatan untuk anaknya. Air mata yang turun itu adalah tumpahan penyesalannya. Ia merutuki diri dalam hati, ”Duh, Gusti kenapa bukan aku saja yang sakit?”

“Mas, maafkan aku…,” lirih terdengar Rukmini meratap .Tjokro hanya terdiam. Jauh di lubuk hatinya, ia tak pernah marah ketika Rukmini kabur dari rumah membawa Ningsih. Ia paham mengapa Rukmini melakukan hal itu. Namun, ia merasa Rukmini mengkhianatinya. Mengkhianati kepercayaannya untuk dapat menjaga Ningsih baik-baik dan ia berpikir Rukmini harus mendapat pelajaran atas tindakan nekatnya itu.
Hati Tjokro memang telanjur membatu. Ia tak bisa merasakan lagi nikmatnya cinta hanya dengan memandang wajah Rukmini. Semua rasa di hatinya telah berlalu dan tak berbekas barang seujung kuku pun.

“Jangan pisahkan aku dari Ningsih, Mas…,” ratap Rukmini lagi. Tjokro kali ini mengangguk.
“Tetaplah tinggal di sini….”
Senyum Rukmini mengembang seketika. “Terima ka….”
“Tetapi kau tak lagi berhak mengurusi hidupnya.”
“Maksud Mas?” tanya Rukmini, tercekat.
“Jangan campuri urusanku untuk menentukan jalan hidupnya. Kau tahu, kau hanya pengaruh buruk untuknya. Kau memikirkan dirimu sendiri dan kau sungguh bukan ibu yang baik bagi Ningsih….”

 “Baik, Mas.” Rukmini berusaha tersenyum. Ia menelan ludahnya yang terasa pahit. Satu kalimat terakhir itu telah mampu mengoyak batin Rukmini.

Setelah itu, tak ada kenangan berarti yang tetap Ningsih ingat. Tjokro kemudian memperistri salah satu putri dari permaisuri Kasultanan Solo. Hubungan Ningsih dengan R.A. Siti Prameswari Ayudyaningtyas,  ibu tirinya itu,  berjalan biasa-biasa saja. Ia memperlakukan dirinya dengan baik, tetapi tak seistimewa anak-anaknya sendiri. Selepas dari ELS, Ningsih pun menghabiskan masa remajanya dengan dipingit sehingga praktis, ia  makin mampu menangkap bahwa Tjokro memperlakukan Rukmini seperti orang lain di dalam rumahnya sendiri.        

*******************
“Kau menulis di sini? Untuk apa?” tanya Tjokro, sembari menunjuk koran De Journalisten Wapen di tangannya. Harapan Ningsih terwujud. Esok harinya, tulisan berbahasa Belanda-nya dimuat di koran itu.
“Untuk mencari orang-orang yang mau membantuku, Pak,” sahut Ningsih tegas. Bapaknya terkejut.
“Apa yang sudah ibumu katakan sehingga kau berkeras untuk pergi ke Batavia?”
“Kenapa Bapak selalu menyalahkan Ibu?’ Ningsih balas bertanya. Sebuah pertanyaan yang memenuhi ruang benaknya selama ini, tetapi Tjokro tak menjawab.
 “Kalau aku tetap tak mengizinkanmu, apa kau akan kabur seperti ibumu dulu?”
Ningsih menelan ludah. Hatinya kembali bimbang, namun diberanikan dirinya untuk menjawab pertanyaan ayahnya. ”Ningsih akan menulis terus, Pak, hingga mungkin pemerintah kolonial yang membukakan jalan bagi Ningsih untuk melanjutkan sekolah.”
“Tak ada gunanya, Nduk. Sebentar lagi kamu akan kawin.”
“Tapi, wanita juga perlu maju, Pak,” bantah Ningsih lagi. Kali ini dengan penegasan yang lebih kuat.

“Untuk apa? Untuk memberontak seperti ibumu?” sahut Tjokro, kaku.
“Ibu bukan pemberontak, Pak…Ibu hanyalah cerminan keterbatasan seorang perempuan Jawa dan Ningsih ndak mau selamanya jadi budak keterbatasan.” Ningsih berusaha menahan air matanya yang hampir menetes. Ia sangat mencintai bapaknya, namun mengapa ia harus berkorban terlalu banyak bagi sucinya cinta itu?

    *******************
Sepucuk surat mampir ke rumahnya bersama tumpukan leestrommel. Sepucuk surat itu terselip di dalam surat kabar De Journalisten Wapen hari ini. Sepucuk surat yang ditulis dengan jalinan rapi di atasnya seolah-olah menggambarkan betapa kerasnya usaha sang penulis untuk mengayun pena dengan teratur di atas kertas putihnya. Ia menulis sangat singkat namun cukup membuat semangat Ningsih melambung menyentuh langit.
Kita tak saling mengenal sebelumnja.

Akoe poen tak ingin berkenalan denganmoe terlaloe jaoeh.
Akoe handja ingin berkenalan dengan alunan semangat di dalam dadamoe.
Biarkan asa menyentoeh altar suci jantoeng mimpimoe.
Biarkan ia berdetak.

GHS menunggumoe.
Sampai di situ, baitnya berhenti bernyanyi. Ningsih ingin membaca lebih banyak lagi, sungguh, karena surat itu adalah oasenya. Ia sangat membutuhkan dorongan semangat, sebab tak ada seorang pun yang memahami suci niatnya kecuali Rukmini yang terus berbisik bisu di depan matanya. Surat itu tak menandai nama pengirim sehingga ia tak tahu kepada siapakah surat itu akan dibalas.

Setelah menimbang beberapa saat, Ningsih pun memutuskan untuk membalas kembali ke koran itu. Mungkin ia pun mengirimkannya melalui De Journalisten Wapen atau ia salah satu penulis yang kerap mengirimkan karya ke sini, batin Ningsih setelah menimbang beberapa saat lamanya.

Dengan perasaan riang   ia membalas surat itu sembari berharap orang ini akan menjadi sahabat penanya. Tempat di mana ia mungkin akan mendapatkan jalan keluar untuk bisa bersekolah di GHS.

Perempoean Jawa menemoei takdir mereka melaloei perjodohan, tulis Ningsih untuk karya keduanya yang akan dikirimkan ke De Journalisten Wapen. Semangatnya  makin membuncah saat menulisnya. Disebutnja hal itoe sebagai mahakarja dari Tuhan jang bernama takdir. Tetapi, apakah hanya dengan adat kita menemuinya?
Ningsih menulis, menulis, dan terus menulis karena ketakutan mengejarnya. Ia hanya memiliki waktu kurang dari seminggu untuk menarik banyak orang bersimpati  pada keadaannya.
*******************
 “Sebaiknya kau tak usah berlangganan leestrommel lagi.” Bapak tiba-tiba berdiri di sampingnya lalu menyuruh seorang abdi membuang koran-koran itu.
“Pak…,” cegah Ningsih dengan suara tercekat, tetapi Tjokro telah pergi. Ningsih lagi-lagi hanya menunduk. Tulisannya mungkin bernyanyi lantang tentang kebebasan di surat kabar, tetapi ia tak pernah mampu melakukan hal yang sama di hadapan bapaknya.
Tetapi, ini memang mengenai esok. Saat tepat esok tak mengabulkan pintanya agar sang anonim membalas suratnya. Suratnya mungkin terselip di De Journalisten Wapen dan ia kini tak mampu membacanya.

Tetapi, terlepas dari itu semua, kekecewaannya mendadak sirna. Ia membaca sebuah surat dari seseorang berulang-ulang, seolah tak percaya pada apa yang ia baca.
“Apa yang kau bawa itu, Nduk?” tanya Siti tiba-tiba di ambang pintu kamarnya dengan tatapan menyelidik. Ningsih hanya tersenyum.

“Sekeras apa pun kau minta disekolahkan, bapakmu ndak akan menurutinya. Sebentar lagi kau hendak dikawinkan.”
Ningsih lagi-lagi hanya tersenyum. Tangan kanannya tetap erat menggenggam surat itu. Surat yang bahkan ia tak tahu seperti apa rupa penulisnya.

*******************.
Pintu kamar terbuka dan Rukmini tak sengaja melihat Tjokro dan Siti bermesraan di dalam. Itu hal yang sangat biasa baginya karena telah jutaan kali ia melihat pemandangan seperti itu. Darah di hatinya telanjur membeku saat menyadari bahwa mereka sengaja melakukannya di depannya.

“Mas, surat-surat itu…,” mendadak Siti membuka pembicaraan di antara mereka. Rukmini terhenti. Naluri keibuannya berbisik bahwa Siti sedang membicarakan Ningsih.
“…pikiran Ningsih berubah karena sering membaca surat-surat dari luar….”
“Biarlah…,” sahut Tjokro terlihat tenang, tetapi Rukmini menangkap ada nada kegelisahan di suaranya.  “…biarkan Ningsih memiliki teman. Toh, aku tetap ndak akan memberinya izin sekolah ke Batavia.”

“Itu hanya akan mempermalukan nama keluarga saja Mas, kalau ia sampai ke Batavia. Aku heran, mengapa ia sebegitu inginnya menjadi dokter. Apa Rukmini yang menyuruh?”
“Aku tak tahu,” sahut Tjokro singkat.  Ia enggan membicarakan Rukmini terlalu jauh.
“Tapi, Mas…:”

“Sudahlah,”  Tjokro mengibas tangannya. “Rukmini ndak akan memengaruhi Ningsih macam-macam. Ia sudah janji kepadaku dan ia adalah orang yang paling setia kepada janjinya selama ini.”

Rukmini yang masih dalam posisi sembunyi di dekat pintu kamar, merasa terharu. Tjokro ternyata memercayainya lagi, walau dengan cara yang berbeda. Rona beku di antara mereka berdua selama 15 tahun ini, telah menjadikan sebuah kepercayaan abstrak itu memiliki keindahan tersendiri di mata Rukmini.

Sementara itu, Ningsih yang sedang berjalan ke luar kamar melihat ibunya mengintip pintu kamar Tjokro dan Siti. Kekesalan dan rasa iba mulai merayapi dinding-dinding hatinya. Selama ini Rukmini mampu tetap tenang, sekeras apa pun gejolak yang terjabar pedih di depan matanya. Namun kini, yang ia lihat, Rukmini akhirnya takluk juga.

“Ibu tetaplah wanita biasa dengan rasa di hatinya,” batin Ningsih, sembari menghampiri Rukmini. Disentuhnya bahu wanita itu pelan dan membuat Rukmini hampir menjerit kaget.
“Nyuwun pangapunten (mohon maaf), Bu, Aku ndak bermaksud mengagetkan,” ucap Ningsih, menyesal. Rukmini pun seketika menarik tangan Ningsih menjauh dari situ agar tak ada yang tahu bahwa ia tadi sengaja mencuri dengar pembicaraan Tjokro dan Siti.
“Ningsih kamu….”

“Ibu terlalu banyak berkorban. Melihat pria yang kita cintai mencumbu wanita lain itu sungguh menyakitkan, Bu, namun Ibu terus bertahan selama lima belas tahun ini agar bisa mendampingi Ningsih. Ini sudah cukup, Bu. Ini sudah selesai. Kita harus keluar dari sini.”

Mulut Rukmini membuka pelan. Ia berhenti bicara karena takjub dengan apa yang Ningsih katakan. Lima belas tahun, Rukmini bisu demi bisa mendampingi Ningsih, demi janjinya kepada Tjokro. Namun sekarang, jiwa muda Ningsih tetap memberontak. Rukmini pun tak tahu, apakah ia harus merasa gagal atau malah bahagia?

“Ibu selalu ada di samping Ningsih. Jika Ningsih nanti menikah, lalu bagaimanakah dengan hidup Ibu? Ibu hanya sendiri di rumah ini dan itu berarti, Ibu sama saja seperti mati tersiksa di rumah sendiri. Maka dari itu, kita harus keluar dari sini, menjemput mimpi… menjemput kebebasan.”

Air mata Rukmini menetes di sudut matanya. Ningsih memberontak untuk diriku, tetapi bukan karena secuil pun pengaruh ucapanku, melainkan murni pemikirannya sendiri. Sebuah pemikiran untuk bangkit dan merdeka, bisik Rukmini pada hatinya. Ia pun memeluk Ningsih sebagai jawabannya.

    *******************
Akoe ingin pergi dari sini, bagai boeroeng terbang keloear sangkarnja. Karena kawin boekanlah toejoean akhir hidoep perempoean, melainkan hanja sebatas bagian dari perjalanan hidoepnja, tulis Rukmini kepada dr. Wesley petang itu, tolong bantoe akoe dokter. Akoe tak ingin kawin. Akoe ingin menjempoet mimpi sucikoe…
Ningsih terus, terus, dan terus menulis. Segenap perasaannya tercurah di atas kertas putih itu. Ia harus keluar demi mimpinya dan demi Ibu, seberat apa pun risiko yang harus ia terima.

Dilipatnya surat itu dengan penuh harapan. Ia hanya memiliki waktu tiga hari lagi sebelum akhirnya dikawinkan dengan pria yang sama sekali tak ia cintai.
    *******************
Ningsih mematut-matutkan kebaya yang sedang ia pakai di depan cermin dengan setengah hati. Siti ada di sampingnya. Sedari pagi, Siti memilihkan kebaya, jarit, dan segala sesuatu yang akan Ningsih kenakan untuk pernikahannya lusa. Seperti biasa, Rukmini hanya seperti bayangan. Ia ada, namun kehadirannya tak pernah disadari.

“Bu, kebaya mana yang lebih bagus?” tanya Ningsih dengan rasa kesal yang tertahan di tenggorokannya. Bagaimanapun juga, jadi atau tidak jadi ia kawin lusa, toh, tetap saja Rukmini adalah ibu kandungnya. Ia yang seharusnya ada di samping Ningsih dan mendampingi persiapan pernikahan putrinya.

“Yang ini lebih bagus, cocok dengan jaritmu,” sahut Siti, sembari menyodorkan kebaya putih ke arah Ningsih. Ningsih bergeming. Ia menatap Rukmini lurus-lurus.
Rukmini pun hanya tersenyum. Ia menjawab bijak, ”Apa pun yang kau kenakan, itu tetap membuatmu cantik.”

Ningsih balas tersenyum. Ia lalu mengambil kebaya di atas dipan, bukannya  menerima pemberian Siti. Perempuan berwajah bulat itu pun hanya menatap Ningsih sekilas, lalu memutuskan untuk tidak bicara apa pun. Setidaknya bukan dengan mereka.

Tak berapa lama, seorang abdi wanita datang dan bersimpuh di hadapannnya. Ia menyerahkan sepucuk surat dari seseorang yang Ningsih sangat tunggu. Dibacanya surat itu perlahan. Isinya benar-benar membuat mata Ningsih membelalak. Ia seketika berlari memeluk Rukmini erat sekali, bak sandera yang menerima kabar hendak dibebaskan.
“Ada apa, Nduk ?” tanya Rukmini bingung.
“Dokter dari Batavia itu hendak ke sini, Bu….”
Rukmini menatap tak percaya.

“Tetapi Bapakmu tetap ndak akan mengizinkanmu pergi, Ningsih. Sadarilah, kau hanya akan membawa aib bagi keluarga ini,” Siti berkata sinis.
Ningsih seketika berbalik menghadapnya. Ia agak menundukkan wajah sebagai wujud bahwa ia masih mampu berlaku sopan kepada orang yang lebih tua.

“Aku mungkin aib, Ibu, untuk sekarang di mata kalian semua, tetapi aku berjanji akan menjadi seseorang yang mampu memberi nama baik bagi keluarga ini. Dokter itu pekerjaan mulia, pekerjaan suci. Jika aku sudah menjadi dokter, citra itu akan melekat pada namaku dan meghapus semua aib di wajah keluarga ini.”
    Siti hanya melihat sekilas ke arahnya, lalu pergi meninggalkan kamar. Ia sungguh gusar mendapat perlakuan demikian dari Ningsih, anak perempuan yang selalu ia berusaha anggap sebagai anak sendiri.

    “Mas Tjokro, Ningsih, Mas…,” panggilnya kepada Tjokro yang sedang berjalan. Tjokro seketika berbalik menghadapnya. Siti pun mendekat dan mulai berbicara. Tjokro hanya menanggapinya dengan dingin, ”Ningsih tak akan keluar dari rumah ini….”

  *******************
Amelia Indraswari





 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?