Fiction
Aslan dan Aquila [1]

15 Jun 2015



Waktu itu aku hanya menumpang sementara selama musim panas. Temanku yang orang Indonesia sedang pulang ke tanah air, dan uangku sudah menipis. Uang beasiswaku belum turun. Sewa kamarku di asrama sudah habis. Jadi, atas kebaikan hatinya, ia menawarkan kamarnya untuk aku tinggali tanpa perlu membayar sepeser pun. Ia sudah membayar uang sewa satu tahun penuh. “Sayang kalau kamarku kosong,” begitu katanya.

    Jadi, pada hari itu, seraya menggeret-geret dua buah koper besar, aku mendatangi sebuah flat mungil di Via San Vitale. Kunci kamar ia titipkan ke teman satu flatnya, seorang pria berkebangsaan Turki. “Nanti tinggal pencet bel saja. Aku sudah sampaikan ke Aslan kamu akan datang besok,” pesan temanku itu via telepon.

    Tidak lama kemudian, aku sudah berada di lantai empat. Persis di depan lift, pintu bertuliskan 402 sudah terbuka lebar. Aroma rempah dan makanan yang baru matang dari dalam menggelitik hidungku. Wah, Aslan masak? Sesosok pria, tidak terlalu tinggi, berkulit cokelat, muncul di hadapanku.

    “Selamat datang, Diana. Aku baru saja selesai memasak. Kau mau ikut makan bersamaku?” tanyanya dalam bahasa Inggris.
    Aku yang kelelahan setelah menggeret koper dari asrama, yang berjarak sekitar 45 menit naik bus ke Via San Vitale ini, tentu tidak menampik tawarannya.  
    Aku pikir, makanan apa pun setelah selesai dimasak, pasti akan menimbulkan bau harum yang mengundang selera. Tapi, belum tentu dengan rasanya. Kuiris sedikit hidangan berkuah dari buah terung yang dimasak dengan daging sapi, tomat dan daun seledri. Lalu kukunyah pelan, sambil kunikmati. Anggapanku buyar seketika.
    “Ini lezat sekali, Aslan,” ucapku dengan mata berbinar-binar.
    “Tesekkürler¬,” jawab Aslan. Senyum simpul di bibir tipisnya membuat wajah berparas Mediterania  itu terlihat lebih tampan.
    Dan saat itulah aku mulai kagum kepadanya.
*
    “Diana, aku mau masak malam ini dan mengundang teman-temanku untuk makan malam bersama. Aku ingin kau ikut dan berkenalan dengan mereka,” kata Aslan padaku di suatu pagi.
    “Ha? Masak lagi?” tanyaku heran. Tapi, tentu dengan senang hati aku menyambut tawarannya itu. Selama aku tinggal di negeri pizza ini, paling-paling aku diajak makan oleh teman-teman kuliahku yang perempuan.
    “Mau saja. Kalau kau butuh bantuan….”
    Aslan menggeleng cepat. “Tidak usah. Kau payah sekali kalau memasak. Terakhir kali aku mencicipi supmu, rasanya seperti air bergaram.” Ia lalu tertawa kecil.
    Sialan! Memang, sih, aku tidak jago memasak. Apalah aku dibandingkan dia. Waktu itu aku memasak sup ayam untuk aku makan sendiri. Lalu, karena Aslan pernah memasakkan makanan untukku, aku ingin membalas jasanya. Tetapi tidak dia habiskan dan mengatakan supku kurang bumbu.     Mukaku langsung merah padam.
           “Baiklah. Lalu aku bisa bantu apa?”
    “Tidak usah. Kau datang saja dan habiskan makanannya kalau masih ada sisa di wajan,” cetusnya terkekeh, lalu beranjak meninggalkanku ke dapur.
    Huh, tahu banget dia bahwa aku tukang makan. Saking laparnya aku pada hari pertama datang ke flat ini, setengah wajan besar karniyarik, atau terung berisi daging, tomat, dan daun seledri, nyaris kuhabiskan. Aslan melongo dengan tatapan tidak percaya, karena temanku yang orang Indonesia tidak pernah makan dalam porsi banyak.
    Baru saja aku hendak membuka pintu, Aslan keluar dari dapur, memanggilku.
    “Diana, aku mohon datang tepat waktu ya, jam tujuh.”  Wajah Mediterania-nya berubah agak serius.
    “Jangan khawatir. Aku akan datang sebelum jam tujuh.”
    Aslan pun tersenyum. Sorot matanya begitu teduh. Dan jantungku berdesir.


Teman-teman Aslan mengasyikkan. Mereka adalah teman sesama kandidat doktoral, satu lab dengan Aslan. Ada yang berkebangsaan Italia. Ada yang berdarah Inggris. Mereka sangat ingin tahu tentang negaraku, dan banyak melontarkan pertanyaan. Aslan ikut menyimak penjelasanku. Sesekali ia tersenyum, sambil menatapku lekat-lekat. Aku jadi agak kikuk.

    Aku tahu, orang Turki mempunyai sifat keramah-tamahan yang luar biasa terhadap orang yang sudah dikenalnya dengan baik. Sewaktu aku tinggal di Turki selama musim panas satu tahun yang lalu, aku merasakan keramah-tamahan itu dari teman-teman Turki yang kukenal di asrama. Mereka suka mengajakku ke rumah, lalu dikenalkan pada keluarga. Yang aku amati, pria Turki suka sekali dilayani, oleh istrinya, ibunya, kakak atau adik perempuannya. Aku belum pernah melihat pria Turki yang suka memasak. Biasanya, ia akan duduk di ruang keluarga sambil menonton acara teve, sekaligus menunggu istrinya memasakkan makan pagi, siang atau malam untuknya. Tapi, Aslan seperti mematahkan kesimpulan hasil observasiku di Turki selama ini.

    “Diana, kau mau ikut aku ke taman?” tanya Aslan  usai makan malam. Kedua temannya sudah pulang.  “Aku ingin menunjukkan sesuatu.”
    Deg! Jantungku langsung berdebar tidak keruan. Aku belum pernah pergi berdua saja dengan seorang laki-laki. Apalagi ke taman. Malam hari pula. Kali ini bukannya aku tersanjung, tapi malahan takut.
    Namun, sepertinya Aslan membaca kekhawatiranku itu. “Kau tidak perlu khawatir. Taman di dekat sini selalu ramai. Yah, tidak terlalu ramai, sih, tapi aku sering ke sana malam hari dan masih banyak orang.”
Aku masih menunjukkan tatapan ragu.  
    “Lihat sebentar saja dan kalau kau masih takut, kita bisa langsung pulang,” ujar Aslan lagi, tersenyum.

*
    Parco di Angelo, atau Taman Malaikat, nama taman itu. Pada musim panas seperti sekarang ini, menghabiskan waktu di taman di malam hari terasa lebih adem dibandingkan siang yang panas menyengat.  Aslan benar. Bahkan pada malam hari, masih ada saja yang mengunjungi taman yang luasnya berhektare-hektare ini. Tapi tidak seramai siang hari, ketika orang-orang memanfaatkannya untuk berjemur.
Di sana, ada sebuah ayunan. Aslan menghambur ke ayunan itu, lalu menepuk bangkunya. “Ayo, duduk sini, Diana, aku yang mengayunkan.”
“Jangan kencang-kencang, ya,” pintaku memelas. “Aku pernah jatuh dari ayunan waktu kecil.”
“Yes, Ma’am, kali ini kau takkan jatuh.” Aslan mengedipkan sebelah matanya. Halah, bisa aja dia! Aku merutuk dalam hati. Awas saja kalau aku sampai jatuh….
Namun, tidak lama setelah itu, ayunan yang kududuki sudah melambung tinggi.
“Kau lihat di atas sana?!” teriak Aslan dari bawah.
“Lihat apa?”
“Konstelasi!”
Boro-boro bisa baca rasi bintang, nilai pelajaran fisikaku di sekolah zaman SMA dulu tidak lebih dari angka enam. “Well, di atas sana memang banyak bintang!” balasku tak kalah kencang.
Tiba-tiba Aslan menghentikan ayunannya, lalu menarik rantai ayunan ke arahnya. Dalam sekejap aku kebingungan. “Boleh aku duduk di sebelahmu? Aku akan tunjukkan dari sini.”
“Tentu,” jawabku, masih bengong, lalu menggeser tubuhku ke pinggir. Untung bangku ayunan ini cukup lebar.
Lalu, Aslan mengacungkan telunjuknya ke udara, membuat garis-garis seperti bentuk segitiga. “Yang satu itu terlihat seperti segitiga bertindih. Itu dinamakan Aquila. Kau tahu Aquila? Kau belajar sastra Eropa, ‘kan? Pastinya kau belajar mitologi Yunani juga, betul tidak?”

Aku membalas rentetan pertanyaannya dengan nyengir lebar. Tiba-tiba aku merasa tidak ada apa-apanya ketimbang laki-laki di hadapanku ini. Sudah pintar masak, paham rasi bintang dan mitologi Yunani pula. Bidang yang seharusnya kukuasai dengan baik. Di Eropa ini aku mengambil studi pascasarjana pengkhususan sastra Eropa. Tapi, aku hanya tahu segelintir tentang mitologi dan sejarahnya. Memalukan! Aku berusaha menjawabnya dengan pengetahuan terbatas, “Ya, aku tahu itu nama sebuah kota dekat Roma. Tapi aku tahu Hercules….”

Aslan memotong lagi, “Ya, ada juga konstelasi bernama Hercules. Kelihatan jelas dari sini. Bentuknya segi empat!” Telunjuknya lagi-lagi menggambar di udara. Air mukanya berseri-seri, menambah ketampanannya.

Diam-diam aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Kulitnya sangat bersih. Ia selalu mencukur kumisnya, hanya menyisakan jambang yang tebal di kedua sisi dekat telinga. Ya,  tiap pagi aku selalu mendapati pisau cukur yang digeletakkannya di dalam sebuah gelas bening di atas wastafel. Peralatan mandinya disusun sangat rapi. Tiap aku memasuki kamar mandi yang baru dipakainya, wangi sabunnya semerbak tercium ke seluruh ruangan.

“Diana? Diana, kau dengar aku?” Aslan menowel hidungku.
Aku kaget, lantas tersipu-sipu. “Oh, sori, Aslan, kau bilang apa tadi?”
“Pulang sekarang, yuk? Aku besok harus bangun pagi jam lima.”
Aku tambah kaget lagi, karena Aslan tidak biasa bangun sepagi itu. Kecuali ia ada temu janji dengan penyelia di laboratorium fisika, tapi itu pun jam delapan pagi.
 “Kenapa pagi-pagi sekali?” tanyaku dengan suara tertahan.
“Aku harus kembali ke Turki. Pesawatku berangkat jam tujuh.”  
“Apa?” pekikku tidak percaya.

         Jam lima pagi sudah terdengar suara berisik dari balkon dapur. Jam lima pada musim panas langit memang sudah terang. Tetapi, orang-orang di tanah Julius Caesar  jarang bangun pada jam segini. Balkon dapur flat ini bersebelahan dengan balkon kamarku. Terdengar suara Aslan berbicara di telepon. Ia berulang kali menyebut ‘Elif’. Elif adalah nama Turki untuk perempuan. Aku jadi gelisah, siapa Elif? Aku ingin menghambur ke dapur, melontarkan segala macam pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Tetapi mataku masih terkatup rapat. Semalam aku tidak bisa tidur.

    Jam sembilan pagi, barulah aku terbangun lagi. Sepi. Aku bergegas keluar kamar. Ketika kudorong ke luar pintu kamarku, pintunya terasa agak berat. Ada sepucuk surat terselip di bawahnya, tertulis dalam bahasa Inggris. Tapi di sini kuinterpretasikan dalam bahasa Indonesia.

Dear Diana,
Aquila adalah nama Latin untuk ‘burung elang’. Ia adalah abdi Zeus, memiliki senjata berupa pedang petir. Aquila dibunuh oleh Hercules ketika pria ini sedang menyelamatkan Prometheus, sesosok Titan yang menerima hukuman dari Zeus karena mencuri sinar matahari untuk diberikan kepada manusia agar mendapat kekuatan.   
Diana, bagaimana kau menentukan hidupmu kelak? Sebagai Aquila atau Hercules? Keduanya sama-sama melayani: Aquila melayani Zeus, dan Hercules melayani demi kepentingan manusia. Aku menikahi Elif karena aku melayani kebanggaan keluargaku, dan aku mempelajari fisika agar suatu hari aku dapat melayani umat manusia. Tapi aku ingin sebebas elang, dan sekuat Hercules atau Singa (arti dari namaku) sehingga aku dapat dengan leluasa menemukan misteri dunia melalui penelitianku tanpa campur tangan orang lain.  
Maaf aku meninggalkanmu begitu cepat.
Seni çok ozledim, Diana….

Lalu, aku bergegas ke kamarnya. Pintunya terbuka lebar. Parfum beraroma musk dan kayu  manis memenuhi rongga hidungku. Menimbulkan rasa rindu seketika. Tempat tidurnya telah ditata rapi. Selimut dan seprainya telah dilipat. Sarung bantal juga dilipat rapi, diletakkan di atasnya. Aku terduduk di atas kasur itu.

Kemudian aku berbaring, sehingga tercium aroma sabun mandi yang biasa ia pakai, di sekujur kasur ini. Air mataku meleleh. Aku kembali terlelap, memimpikan Aslan berubah menjadi sosok burung elang berkepala singa yang mengangkasa.(f)

**********
Dina Mardiana

Catatan:
  Terima kasih dalam bahasa Turki.
2 Aquila adalah nama sebuah kota kecil di Provinsi Abruzzo, berpenduduk 72.000 jiwa, letaknya di tengah-tengah Semenanjung Italia. Kota ini pernah mengalami gempa pada tahun 2009 berskala 6,3 Richter yang guncangannya terasa hingga ke Roma.
3  I have missed you a lot already, Diana….



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?