Fiction
Ashima, Titip Rindu Untuk Calcutta [3]

25 May 2015


<<<<<<<Cerita Sebelumnya


Bagian 3
Kisah sebelumnya

Ashima, wanita muda asal India, dengan masa lalu yang suram begitu menarik perhatian Saka, pria muda asal Indonesia. Mereka bertemu di Oxford. Kepada Saka, Ashima berani bercerita mengenai kepahitan hidupnya sebagai wanita India yang menjadi korban sistem masyarakat yang sangat patriarkat. Di satu sisi, Saka tergetar oleh sosok Ashima. Saka hendak memperkenalkan Ashima kepada Moko, temannya.


Tetapi sungguh, Moko tak menyangka kalau yang diajaknya adalah perempuan keturunan keseratus Jawaharlal Nehru yang baru dikenalnya siang tadi. Begitu diberi tahu, dia langsung menepok jidat. Ampuuuunn…Tetapi tak soal, Moko tak keberatan.
Siapa pun perempuan itu, dan bagaimana peristiwa perkenalannya, yang penting ia akan memberi kenangan manis bagi Saka, mumpung ia masih berkesempatan merayakan hidup bersama sahabatnya. Dalam hati kecilnya, ia berharap Saka menambatkan hati pada perempuan dari negeri menari dan menyanyi ini.

Bertiga mereka duduk di bangku di dekat jendela. Ashima mendapat hak istimewa untuk memilih tempat. Saka dan Moko memang suka dan sepakat soal tempat pilihan Ashima, di dekat jendela sehingga bisa memandang luas taman Kensington. Tetapi, Saka tetap mengajukan pertanyaan, alasan Ashima memilih tempat itu. Lalu jawabnya:

“Kurasa banyak orang menyukai duduk di dekat jendela, berdiri atau melamun di dekat jendela. Di dalam moda transportasi semacam bus, pesawat, istimewanya kereta api, banyak orang mengincar tempat duduk dekat jendela. Tubuhnya tertahan di sebuah ruang, namun pengamatan bisa jauh ke luar. Keluar melampaui apa yang kasat oleh mata. Sebuah bingkai kecil yang memungkinkan menciptakan bingkai-bingkai yang lain. Atau bahkan meniadakan bingkai-bingkai itu. Tetapi aku memilih karena lebih menyenangkan ngobrol sambil memandang taman indah itu.”
Saka mengangguk.
“Kenapa? Ada masalah?” Ashima menyelidik. Saka menggeleng.
“Aku setuju. Jendela bukan sebuah sekat, tetapi justru mencairkan antara wadah dengan diri. Jendela tempat seseorang menjumpai dirinya sendiri. Atau bahkan mengosongkan diri sama sekali, di balik bingkai jendela. Dan memang taman itu bagus dipandang dari segala arah. Khususnya dari sini (dan bersamamu –batin Saka).”
Dalam hati, Moko menilai Saka menjadi sangat detail dan romantis di hadapan perempuan itu. Saka lebih banyak tersenyum, meski tetap sok teoritis seperti biasanya. Moko melihat pada sahabatnya, ada tanda-tanda kejangkitan sakit asmara. Kali ini virus cinta tak memakan masa inkubasi yang bertele-tele. Cukup kilat. Virus itu sudah bereaksi sejak mereka bertemu siang tadi. Hmm… untung Saka terjungkal.

Waktu menunjuk pukul 16.45 saat pesanan datang. Mereka menikmati teh yang disajikan dengan gula, susu, sandwich, muffin, dan cake dalam nampan bersusun tiga. Saka menuang teh ke dalam cangkir porselen sambil tersenyum membayangkan angkringan di Jalan Malioboro. Jahe gepuk gula jawa, teh krampul, dan kopi joss –seduhan kopi hitam mengepul, yang dicelupi bara panas dari tungku hingga menimbulkan suara josss dan asap menebal di atas gelas. Seperti wedus gembel yang menggumpal dari rahang Merapi.
Di dalam ruang mata Saka ada cangkir blirik hijau telur bebek dan piring gembreng (piring dari aluminium). Padahal, tangannya sedang memegang cangkir porselen cantik bergambar nona kecil membawa keranjang bunga. Ia berangan-angan, tentu menyenangkan sekali andai berkesempatan mengajak Ashima nongkrong di angkringan Malioboro sambil menikmati aksi pemusik jalanan.

Saka menggeser sedikit piring porselen licin, pada tepi melingkar bermotif kotak-kotak biru muda serba serasi dengan semua perabot yang disajikan di meja aristokrat itu. Lalu bergantian di benak Saka melintas tahu bacem, sandwich, bakwan, muffin, jadah bakar, cake keju dan karamel, teh krampul, teh susu, dirinya, lalu Ashima. Sumpah! Saka ingin sekali tertawa sekeras-kerasnya. Menertawakan serangkaian pengalaman dari pagi hingga afternoon itu. Dan sekali lagi, hatinya sangat berterima kasih kepada Moko yang menghadiahi momen seperti ini.

“Kamu tahu, cara menikmati teh seperti ini pernah menjadi perdebatan serius?” Moko membuka percakapan dengan berlagak seperti oknum pembongkar rahasia. Ashima dan Saka menatapnya saja. Tetapi Moko menduga Ashima tahu soal itu.
“Dulu, pada awal abad ke-20, cara menuang rangkaian ini akan menunjukkan tingkat sosial. Ha… ha… ha…” Moko mengomentari ketika Saka mengambil teko cantik berisi susu, lalu menuangkan sedikit ke dalam cangkir tehnya.

“Kalau kamu, Ashima, mana yang akan kamu tuang dulu? Teh atau susu?”
“Teh. Sama seperti Saka.”
“Wah, sudah klop! Dasar jodoh!” Moko berkata serampangan, sempat melihat mata Saka bercahaya dan Ashima tertawa tertahan. Lalu ia melanjutkan:
“Nah, itu kalau pada masa lalu, artinya kalian sudah menunjukkan bahwa kalian berasal dari kalangan atas. Borjuis. Sosialita. Beda denganku. Aku mengambil susu, baru kutuang teh. Itu cara kalangan bawah. Kelas rendah.”
“Bukan main! Hanya persoalan urutan mana yang lebih dulu dituang saja menjadi perdebatan. Kalau logikaku, aku menuang teh dulu karena dilihat dari namanya saja afternoon tea, bukan afternoon milk. Ha… ha… ha....” Saka memasang muka sok serius, sok pengamat.

“Manusia-manusia yang katanya modern selalu mencari-cari alasan untuk menciptakan kelas. Cara menikmati hidangan saja ada sistem kasta. Kurang kerjaan!”
Ashima tersenyum kecil. Ia menoleh menembus jendela, memandang jauh ke taman berumput hijau dan di  tiap bangku diduduki sepasang muda-mudi memunggunginya. Kalimat Saka yang dikatakan baru saja telah mengusik hatinya. Bagaimanapun, semodern apa pun, mau menerapkan paham apa pun, di negerinya tetap saja mempersoalkan kasta. Sudah begitu, ditambah lagi penganut patriarkat tulen.  
“Kalau Nona India ini, pasti banyak cerita.” Ashima sedikit geragapan ketika nama negerinya disebut. “Pastinya masakan di negerinya lebih kaya. Seperti masakan di negeri kita ya, Saka? Tidak melulu steak dan cake, dan serba resmi seperti ini.” Ashima tertawa kecil dan mengangguk setuju, lalu katanya:
“Aku mengundang kalian. Silakan singgah di negeriku. Aku akan hidangkan menu spesial untuk kalian.”
“Wah, menyenangkan sekali. Jangan sampai ingkar janji, ya! Pengin mencicipi nasi biryani,” kata Moko, setelah menggigit muffin, sementara Saka menikmati teh-susunya.
“Tentu. Akan aku hidangkan semua yang spesial. Nasi briyani, prata, naan….”
“Di mana kamu tinggal?” Moko bertanya. Dalam hati Saka sangat berterima kasih atas pertanyaan kawannya yang ia anggap mewakili dirinya.
“Di London, aku tinggal di Oxford, tidak jauh dari universitas. Kalau balik ke India nanti, eemm…. Aku akan memberi tahu kalian jika aku sudah pulang nanti.”

          Mata Ashima bercahaya. Anting hula hoop-nya berayun-ayun. Hati Saka berbunga. Artinya, ia akan menerima kabar, artinya ada harapan untuk berkomunikasi dengan perempuan itu. Artinya, cerita tidak berhenti di tempat ini, hari ini, di London.
Ah, pertemuan itu. Saka tak pernah melupakannya. Bahkan ia akan menjadi demam jika seminggu e-mail-nya tak dibalas setelah ia kembali ke Indonesia dan suntuk menyusun tesisnya. Ia akan terserang migrain jika Ashima menjawab e-mail pendek-pendek, sementara ia berharap mendapatkan e-mail yang panjang.

Hanya e-mail, jarang telepon. Tetapi, kabar-kabar dan cerita-cerita dari Ashima sudah berubah menjadi candu. Sehingga bila lebih dari seminggu Saka tak menerima kabar, ia akan membaca-baca ulang e-mail terdahulu dan matanya akan terus-menerus memeriksa inbox. Adakah surat baru yang masuk?  

Hingga Saka mendapat undangan simposium  di Calcutta sehubungan dengan tesis yang sudah dikerjakannya, yang salah satu referensinya menggunakan novel Arundhati Roy. Betapa akar budaya, sistem kasta tetap lebih kuat dari ideologi apa pun yang hendak diterapkan oleh sebuah negara. Nyatanya, salah satu tokoh dalam novel itu, yang berkasta rendah tetap mampu, meski ia adalah tokoh penting dan pejuang sebuah ideologi yang mengampanyekan bahwa  tiap manusia bermartabat sama.

Maka, setiap ideologi, mestinya menggunakan pendekatan budaya dan aturan setempat, untuk membuatnya tumbuh subur. Mestinya para politikus itu belajar dari alam. Pohon dan tanaman. Sama-sama tanaman padi, tetapi harus memilih padi gogo jika daerahnya bertanah kering. Sama-sama pohon kelapa, akan berbeda pertumbuhannya antara pohon kelapa di kampung-kampung dengan pohon kelapa di tepi pantai.  Begitu yang digarap oleh Saka. Yang membawa dirinya diundang ke negeri Ashima dan Arundhati Roy. 
   
Ah, apa kabar Ashima? Dari foto-foto yang dikirimkan di e-mail, Saka melihat Ashima lebih kurus dibanding perjumpaan dulu. Kantong matanya tercetak kuat. Mungkin banyak begadang, banyak pikiran. Ketika Saka menerima undangan itu, ia segera menelepon Ashima.
“Aku akan datang beberapa hari sebelum acara di Universitas Calcutta itu dimulai. Aku ingin bertemu kamu lebih dulu. Bagaimana? Apakah kamu terganggu?”
“Tidak sama sekali. Aku senang mengetahui kabar ini. Aku akan menjemputmu. Aku akan mengadakan pesta kecil untuk menyambutmu.”
“Terima kasih, Ashima. Tunggu aku. Awal bulan depan.”
Kini rindunya menggelegak. Ia pandangi foto berdua yang diambil Moko pada afternoon di Orangery Restaurant. Duduk bersebelahan. Tangan molek Ashima tergolek di atas meja. Matanya menatap kamera. Lalu ia memandangi foto yang lainnya, foto dirinya yang berdiri di depan British Library, 96 Euston Road. Tempat pertama kali ia bertemu dengan intan hatinya. Ia pandangi sepuasnya sebelum kemudian dua foto itu  ia simpan kembali, diselipkan pada halaman buku dan makalah untuk simposiumnya.
Saka sudah  makin tenggelamkan kepala di bantal tidurnya. Menghitung hari. Tak sabar menunggu hingga awal bulan. Ia sudah siapkan kain batik motif sekar jagad. Ia akan hadiahkan untuk Ashima. Untuk mengatakan bahwa Ashima adalah bunga dalam jagad kehidupannya.
***

Ashima berjanji menjemput Saka di Stasiun Howrah yang riuh. Stasiun paling besar di India. Saka berjanji akan segera menghubungi begitu mendarat di bandara.
Saka tidak merasa asing saat tiba di Stasiun Howrah. Kesibukan dan keadaan di tempat itu sudah bisa mewakili mayoritas kehidupan India. Tak jauh beda dengan Indonesia, stasiun ini tak ubahnya bangsal tidur di rumah sakit kelas bawah. Di bangku-bangku panjang, orang-orang tidur bebas dan sepertinya pulas. Ia berada di India, tetapi yang tercium adalah aroma khas rakyat jelata, yang terpinggirkan di negerinya.   
Lepas dari pintu stasiun, seorang perempuan tergopoh. Langkahnya panjang-panjang, ranselnya bergelayut di punggungnya. Blus kotak-kotak merah lengan pendek dan jins ketat menampilkan tubuh yang sehat energik.

“Saka…! Saka…!” ia memanggil.
Saka menoleh. Matanya menatap tak percaya.
“Nesia?? Kau di sini?” Saka tak menyangka ia bertemu tunangan Moko di stasiun hiruk-pikuk ini. Ia tak berubah. Masih ceria seperti dulu. Rambutnya legam tergerai jatuh di punggung. Kacamata hitam ditarik ke atas menyingkap rambut bagian depan. Saka masih melongo, sementara Nesia sudah berdiri di hadapannya mengulurkan tangan.
“Apa kabar? Apa aku boleh menebak apa yang kamu lakukan di sini?” Nesia tak berubah. Selalu blakblakan, hangat, dan ramah.
“Apa coba?”
“Emm… kutraktir kamu jika tebakanku salah. Kamu mau temui seseorang, ‘kan?”
Saka terbahak. Ia yakin Moko menceritakan lebih dari yang ia tahu dan amati.
“Tolong kamu cerita yang bener sama tunanganmu itu. Aku ada undangan simposium di University of Calcutta!” Saka memberi penekanan pada kata simposium.
“Mampus gue. Harus traktir loe! Tapi tenang saja, aku profesional. Akan kutraktir kamu kapan saja kamu mau.”
“Ha… ha… ha… awas kalau bohong! Tapi, kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini? Ada liputan?”
Nesia mengangguk. Tepat saat itu, seorang perempuan dengan sari warna cokelat kayu melangkah mendekat. Kaus ketat  lengan pendek itu menampilkan tubuh rampingnya. Semampai cokelat sehat. Saka lekas menyadari kehadirannya dan ia merasa begitu spesial sehingga Ashima mengenakan sari saat menjemputnya, bukan memakai blus dan jins.
Benar, ia lebih kurus dan tirus, begitu batin Saka. Tangan Saka mengulur menjabat Ashima, lalu katanya, “Senang bertemu kamu lagi, Ashima. Apa kabarmu?”
Mereka berjabat tangan dan tak juga tautan itu dilepaskan. Baik Saka maupun Ashima masih sama-sama ingin saling menggenggam tangan lebih lama. Dan pertukaran mata itu, Nesia menangkap aura rindu, lalu curiga ia kena tipu sahabatnya. Simposium gombal!
“Ah, iya. Kenalkan, dia tunangan Moko yang dulu pernah mentraktir kita saat di Orangery Tea.”
“Oh yah?” Ashima memandang Nesia. Ia tertawa takjub akan keajaiban itu. Dunia ini sempit. Ashima merentang tangan dan langsung disambut Nesia dengan hangat bersiap menerima calon sahabat.
“Saya Nesia, kawan Saka dan Moko dari Indonesia. Senang berkenalan dengan Anda,” ucap Nesia kala mereka berjabat tangan. Mantap dan kuat.
“Terima kasih sudah mengunjungi negeriku. Bagaimana, apakah penerbangan kalian tadi menyenangkan? Apakah perjalanan kereta apinya juga menyenangkan?”
“Oh, sejak tiga hari lalu aku sudah berada di India. Tugas kantor. Aku berjumpa Saka di tempat ini. Baru saja.”
“Oh, pantas. Karena Saka tidak memberi tahu kedatangannya ke sini akan bersama siapa.” Nesia tertawa riang dan menang. Kampret loe, Saka. Tukang ngibul.
“Saya ditugaskan membuat liputan kunjungan beberapa pejabat di negeri ini.”
“Oh, hebat sekali. Kemarin acara para petinggi negara itu di Khasmir, ‘kan?”
“Khasmir hari sebelumnya. Sejak kemarin di kota ini dan besok di New Delhi dilanjutkan ke Agra. Sungguh, saya ingin sekali melihat Taj Mahal. Bangunan dahsyat yang dibangun Kaisar Mughal Shah Jahan sebagai pusara bagi istri tercintanya itu. Megah dan indah. ”
Ashima mengangguk. “Ya, konon Kaisar Mughal sangat mencintai Mumtaz Mahal, istrinya yang meninggal dunia saat melahirkan pada tahun 1631. Hingga ia bangun makam indah itu untuk mendiang istrinya.”
Nesia menatap Ashima kala ia berbicara. Sudah tidak orisinal lagi. Gaya dan sikap bicaranya sudah terkontaminasi Barat.
“Lalu agenda berikutnya?”
Nesia menggeragap. “Sekarang aku harus ke New Delhi dengan kereta api. Senang sekali sempat berjumpa kalian di sini. Semoga lain kali kita bisa bertemu dan melewatkan waktu bersama-sama.”
Mereka berpisah. Nesia mengedipkan sebelah mata pada Saka. “Hubungi aku jika sudah mau menagih janji,” katanya, sambil melangkah ke arah barat.
Saka dan Ashima langsung mencari taksi kuning, menuju hotel tempat Saka menginap. Nesia berbalik, di dalam pikirannya sudah menyusun sebuah liputan yang akan dilaporkan kepada tunangannya di London. Dalam hatinya berkata: “Kamu benar, Moko. Aku melihat cinta di mata sahabat kita. Dan perempuan itu, ah… demi semesta! Ia serasi sekali dengan Saka.”
***

Saka lupa berterima kasih padanya. Saka tak tahu pasti apa yang menyebabkan lupa berterima kasih. Mungkin karena ia terlalu terpesona dengan sosok langsing-liat Ashima ketika menyiapkan jamuan kecil yang ia janjikan, nasi briyani yang terbuat dari beras basmati dibumbu kuning, atau prata atau karena terbius oleh cita rasa naan, roti berasa tawar yang disajikan dengan ayam tandori dan kuah kari kental beraroma harum. Bumbu rempahnya begitu kaya. Hingga lidah Saka terasa dimanjakan semua menu olahan Ashima.

Atau ia masih jet lag setelah melanglang seperti Gatotkaca menembus mega-mega di atas samudra. (Beberapa jam lalu di atas sana, Saka sempat berpikir mengapa di Indonesia tidak ada maskapai yang dinamai Gatotkaca? Kan keren! Gatotkaca terbang menuju India, ke negeri asal-muasal epos yang menciptakannya). Bisa juga  karena kurang fit gara-gara insomnia yang menyiksanya menjelang keberangkatan ke India.
Atau, ini yang paling menjadi kecurigaan Saka: kegugupan karena deraan rindu yang ditahan terlalu lama. Yang pasti, Saka menelepon Ashima pada malam menjelang tidur.

Begitu tersambung, ia langsung bicara:
“Ashima, aku minta maaf karena meneleponmu malam-malam begini.” Tak lekas dijawab. “Ashima,” ulang Saka.
“Yeah…,” suaranya agak gugup. Saka dilanda rasa tak enak. Rasa bersalah telah mengganggunya. Maka ia pelankan suaranya.
“Ashima, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas penyambutanmu dan jamuanmu tadi siang hingga sore. Aku terlalu senang sehingga lupa berterima kasih. Hanya itu. Hanya itu  yang ingin kukatakan. Selamat malam.”
“Terima kasih kembali, Saka. Senang kamu mau mengunjungi  negeriku lagi. Semoga kamu baik-baik saja dan menikmati semua agendamu di negeriku.”
Saka hanya berkata, “Ya... ya….” Lain tak ada, atau tak bisa.

Telepon mati. Mati begitu saja, tanpa ucapan perpisahan. Saka terpukul hatinya. Tetapi sedih kacau-balau itu terlalu lemah untuk melawan lelah tubuhnya. Ia sudah limbung sempoyongan. Ia sangat mengantuk. Ia butuh istirahat. Ketika sudah berbaring, ia sempat berpikir, mengapa Ashima menjadi aneh. Apa salah dirinya?  
Baru pada esoknya, ketika ia menggeliat untuk pertama kali di atas kasur hotel, ia merasa segar dan kuat. Ia teringat Ashima. Ada apa? Ia meraih telepon, tetapi Ashima tak bisa dihubungi. Saka resah bukan main. Berkali-kali ia mencoba, tetapi selalu gagal. Tanpa buru-buru Saka bangkit dari kasurnya. Membuka gorden jendela. Langit India cerah, hiruk-pikuk lalu lintas di bawah sana mengingatkannya pada Yogya, lalu Jakarta. Pukul delapan pagi. Kopi, roti, terbayang di matanya. Andai ada Ashima.
Saka merenung. Sebaiknya ia langsung ke rumah Ashima tanpa menelepon, untuk menagih janji mengantarnya mengunjungi Varanasi dan Agra jika simposiumnya selesai besok. Maka ia segera mandi dan berpakaian casual. Ia teliti penampilannya, menyiapkan diri demi sebuah pertemuan.

Ada panggilan dari hotel. Breakfast sudah siap, akan ditutup pada pukul sepuluh.
Saka ke sana. Lalu ia sempatkan mengambil surat kabar berbahasa Inggris. The Times of India. Pada halaman depan terpampang foto banyak sekali perempuan. Satu orang yang ada di baris paling depan itu, sangat ia kenal. Jantungnya berdegup kencang. Ia lekas membaca. Ashima Aswari. Astaga! Ia memimpin demo, menuntut hukuman mati bagi pemerkosa. Dan tadi malam, sekitar pukul sebelas, ia diculik seseorang tak dikenal.
Kaki Saka terasa lumpuh. Tak puas membaca berita dari The Times of India, ia mengambil surat kabar lain: Hindustan Times. Pemberitaan yang sama. Saka pusing bukan main. Ia bingung harus bagaimana.

Oh, yah! Nesia! Saka harus menghubungi dia. Ia hanya makan sepotong roti,   meneguk sedikit kopi, lalu mencoba mengontak Nesia. Sial! Saka hanya menyimpan nomor Indonesia. Lupa minta nomor selama ia berada di India. Moko. Moko pasti tahu, maka ia menelepon sahabatnya. Minta ampun. Lama sekali baru terhubung. Tapi syukurlah, ia mendapat nomor Nesia.
“Kamu di mana? Aku butuh kamu. Aku yakin kamu lebih tahu dari aku.”
“Ada apa? Butuh untuk apa? Apakah gadismu tak bisa membantu?” Nesia menjawab tak kalah kenceng.
“Justru aku butuh kamu untuk dia. Kamu jurnalis. Pagi ini aku baca berita, Ashima diculik orang tak dikenal sehubungan dengan aktivitas demonya. Menuntut mati pada pemerkosa.”
“Yah! Aku tahu.”
“Nesia, maksudmu apa? Tahu apa? Tahu di mana dia disembunyikan?”
“Bukan. Tahu beritanya.”
“Nesia. Besok tak ada waktu. Aku harus menghadiri simposium. Hanya tinggal hari ini. Bantu aku. Insting jurnalismu tentu banyak membantu.”  
“Jadi soal simposium itu benar?”
“Ya ampuuunn… Nesia. Aku memang ada undangan simposium di sini. Sekalian jalan, aku menambah waktu untuk bertemu Ashima. Kenapa?”
“Ok… ok… beri tahu posisimu. Aku akan datang.”

**************
Indah Darmastuti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?