Fiction
Ashima, Titip Rindu Untuk Calcutta [2]

25 May 2015

<<<<<<<Cerita Sebelumnya

Bagian 2
Kisah sebelumnya

Ashima, wanita muda asal India, dengan masa lalu yang suram begitu menarik perhatian Saka, pria muda asal Indonesia. Kepada Saka, Ashima berani bercerita mengenai kepahitan hidupnya sebagai wanita India yang menjadi korban sistem masyarakat yang sangat patriarkat. Di satu sisi, Saka tergetar oleh sosok Ashima.

“Ibu menangis waktu itu. Menangisi nasibku. Sama seperti pihak Vikram, ibuku merasa aku membawa dosa turunan darinya. Lalu ayahku datang kepada keluarga Vikram meminta maaf karena sumpahnya telah membuat anak mereka tak bahagia, dan kehilangan keturunannya. Maka, Ayah meminta kepada keluarganya untuk diizinkan menarik sumpah itu. Semua demi kebaikan Vikram. Tetapi keluarga Vikram meminta ganti rugi. Dan Ayah menyetujui.” Suara Ashima parau. Ia menahan tangis lagi.
“Kau tahu betapa sakitnya hatiku, Saka? Kau tahu betapa tak berharganya aku bagi keluarga Vikram dan aku direndahkan oleh ayahku sendiri.”
Saka mengangguk.
“Yang lebih menyakitkan lagi, Ayah mengusirku karena aku dianggapnya petaka. Diiringi tangis Ibu, aku meninggalkan rumah. Tujuanku sudah kutetapkan: ke restoran milik orang Inggris tempat aku pernah bekerja.

Pada penderitaan batin itulah aku memutuskan untuk pergi sangat jauh untuk menyembuhkan hati. Atas saran pemilik restoran, aku mengajukan beasiswa dan disetujui. Putri sulungnya membantuku. Dia sudah menikah dan tinggal di London.
Karena aku memiliki status baru sebagai janda dan tidak dikehendaki keluarga, aku pergi tanpa berpamitan kepada dua orang tuaku.”
Saka mengusap rambut ikal perempuan itu, ujung-ujungnya saling menjalin. Lalu beralih pada pangkal lengannya yang terbuka. Cokelat liat. Mengilat oleh lotion pelembap. Dan Saka menempelkan bibinya di sana. Di pangkal lengan cokelat itu.
“Tentu kamu tahu, intan yang indah tersimpan di dalam kerasnya tanah. Perlu perjuangan yang tidak mudah untuk mendapatkannya, Ashima.” Perempuan itu mengangguk, masih di dada Saka.
“Selama aku belajar di Oxford, aku terus berusaha mengatasi penderitaan dan berdamai dengan masa lalu. Waktu dan pengalaman selalu menjadi sahabat yang baik dan ampuh untuk menyembuhkan luka. Hingga aku bertemu kamu di negeri jauh itu.”

***
British Library, Reading Room
Jika dijajar, panjang buku-buku yang disusun di rak itu bisa berkilo-kilo meter. Berapa ratus juta pemikiran dan persoalan yang tersimpan di  tiap eksemplar-eksemplarnya. Menawarkan satu kunci namun bukan kunci jawaban tetapi kunci untuk menuju pintu misteri yang lainnya. Belum lagi soal keindahan bahasa.

Saka selalu kerasan berada di ruang seperti itu. Baginya, tinggal dalam telikung ruang penuh  buku membuatnya selalu berharap dilimpahi berkah umur panjang agar bisa lebih banyak lagi mencicipi buku-buku. Saka menyimpulkan, sebuah buku tidak memiliki rem.
Ketika sudah membaca satu buku, maka ia akan dituntun oleh sepotong pertanyaan untuk mencari buku yang lain. Tak beda dengan pelayaran panjang nan ajaib. Meninggalkan sebuah pulau, lalu tertantang untuk berlayar menuju pulau lain. Untuk menemukan keajaiban yang terpendam di dalamnya. Buku-buku memenuhi takdirnya. Disinggahi, menjamu, lalu mengantar pembacanya untuk melanjutkan pelayaran di samudra pengetahuan yang amat luas. Dan kini Saka tengah menuju satu rak novel. Bersiap menemukan keajaiban kata-kata, keindahan bahasa.

Ia melangkah melewati susunan buku-buku dalam rak satu setengah kali tinggi tubuhnya. Tegak berlapis-lapis berimpit rapi. Ia yakin pendapatnya masih berlaku: hanya di perpustakaanlah tempat paling aman berada di antara jutaan gelombang pemikiran, kehendak, pendapat keras atau lunak. Lihatlah beberapa orang berbagai warna kulit itu, tampak khusyuk dalam ibadah membaca, seolah mereka meninggali planet-planet berlainan tetapi bertetangga. Tidak mengganggu, tidak terganggu. Tetap di orbit pikirannya masing-masing. Hening. 

Semua begitu seksi di mata Saka. Bau kertas dan fisik buku-buku bisa melesatkan otaknya pada kini dan lampau. Suara halus srek… srek… lembar-lembar buku yang dibuka tiap-tiap halamannya menyerupai gemerisik pasir dan desisan ombak di bibir Pantai Kelayar, Pacitan, tempat ia pernah melarikan diri dari huruf-huruf yang berloncatan seperti kutu, berdesakan seperti laron keluar dari liang sembunyi. Tepat seperti itu kata-kata di otaknya saat menyusun skripsi dulu, bertahun lalu. Jauh sebelum sampai di sini. Di London.

Ia memilih bangku setelah mendapatkan sebuah yang dicarinya. Paling ujung, menghadap utara. Tetapi tak seperti biasanya, kali ini ia membaca lebih cepat seolah besok dunia akan kiamat. Bukan dibaca dinikmati pelan halaman demi halaman. Entahlah, ia merasa diburu oleh kalimat-kalimat itu. Baru beberapa jam, ia sudah membaca  hampir tiga peremat bagian The God of Small Things –Arundhati Roy dan ia memutuskan untuk membeli buku itu besok atau lusa. Ia ingin memilikinya, lalu membaca ulang dan mempelajari pelan-pelan.

Tetapi, jauh sebelum sampai di tiga perempat itu, ia telah merasakan efek kalimat  di hatinya, sehingga ia tersandera oleh cara bercerita dan pokok penulisan Roy. Jenaka, satir, nakal tetapi juga magis. Cara ia menolak globalisasi. Cara ia mengatakan pedihnya perempuan India, kasta-kasta dan gelegak cinta, sungguh memesona. Beberapa bagian, ia perlu mengulang untuk mencecap kenikmatan bahasa Roy.

    Masih ada waktu dua jam untuk bebas mendekam di sudut ruang. Sebelum ia menepati janji temu dengan kawannya. Ketika ia tengah mengulang halaman 290, telinganya menangkap ada langkah pelan yang mendekat. Ia mendongak, matanya menatap seorang perempuan yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Mengenakan celana panjang pipa warna kelabu selaras dengan kardigan yang membuat tampilan tubuhnya anggun. Rambut diikat tinggi. Sepasang anting hula hoop berdiameter nyaris sama dengan koin seratus rupiah keluaran Bank Indonesia tahun 1973, terayun-ayun di daun telinganya. Sempat bersitatap sebelum perempuan itu menghadap ke deretan rak.
Kulit cokelat, postur tubuh Asia. Dia pasti setanah air dengan Roy! Desis Saka yang lekas membeku oleh dingin AC sebelum sampai ke telinga perempuan itu. Hidung mancung, sedikit menggelap pada dua ceruk kecil di antara ujung-ujung mata. Sepasang alis itu seperti sayap elang muda. Hitam dan lebat. Bibirnya… aduh!

Barangkali, merasa ada yang mengamati, perempuan itu menoleh kepada Saka, sementara ujung telunjuknya masih menempel pada punggung buku tebal. Saka tersenyum, tapi terlambat, perempuan itu sudah merunduk pada deretan buku di bawahnya. Rak anthropology.

Tak beranjak sampai beberapa menit. Sebenarnya Saka tergoda untuk mendekati dan ingin menyapa, lalu mengajaknya ngobrol sebentar tentang novel yang tengah dibacanya. Tetapi, ia mengekang. Ia tahu tata krama di perpustakaan. Ini bukan di pasar. Bukan tempat untuk ngobrol, lagi pula ia tak ingin mengganggunya. Siapa tahu ia sedang konsentrasi dengan sebuah pemikiran dan ia butuh referensi. Tidak! Tidak! Putusnya segera. Ia kembali membaca.

Saka sudah tenggelam kembali dalam novel itu. Lalu sempat membandingkan gaya penulisan Roy dengan perempuan India yang menulis sastra berbahasa Inggris: setidaknya ada Divakaruni atau Sara Suleri atau Jhumpa Lahiri yang lebih cair mengalir. Bagaimanapun, konsentrasi Roy pada persoalan yang ia angkat dalam novel itu tetap memiliki posisi tawar yang tinggi di mata dunia. Mereka sama-sama sabar dalam memberi detail cerita. Sama-sama bagus tentunya, tetapi Roy memunculkan kekuatan seorang perempuan pemikir yang jelas ia berpihak di mana. Saka terus membaca hingga tak sadar perempuan berkardigan sudah tak ada di tempat semula.

Lalu gelisah. Ia merasa kehilangan seperti ia kehilangan sebuah kata untuk penutup pada proposalnya. Seperti kehilangan ikan yang baru saja tertangkap mata pancingnya lalu lepas kembali ke perairan. Sedikit ia samarkan gerak dengan pura-pura membaca, matanya berkeliaran mencari perempuan itu. Tak ada.

Pun pada hari-hari dan minggu berikutnya. Ketika Saka kembali ke perpustakaan itu, ia tak pernah bertemu. Baiklah. Ia tak lagi memikirkan. Juga karena waktunya di negeri Shakespeare itu sudah habis beberapa hari ke depan.

Saka makin sibuk ngebut untuk memburu bahan-bahan pendukung tesisnya. Kini setumpuk literatur sudah pindah di laptop-nya, juga buku-buku bagus yang ia buru di toko buku loak. Termasuk The God of Small Things.

Pada jelang kepulangannya ke Indonesia, Saka menyetujui tawaran Moko, kawan yang mengajar di Cambridge University untuk bertemu di Kensington Gardens, taman nan elok di sebelah timur Kensington Palace dan berbatasan dengan Hyde Park. Ia akan berada di sana sampai siang nanti hingga Moko bergabung setelah selesai mengajar. Lalu mereka akan mengadakan pesta kecil di Orangery Restaurant.

Saka menyambut girang saat Moko berbaik hati, menghadiahinya kemewahan dengan menikmati ‘afternoon tea’. Ia tertawa membayangkan dirinya yang proletar akan menikmati momen yang konon dilakukan para borjuis pada awal abad ke-19. Uhuiii…!!
Udara bersih sejuk itu membuatnya tak mudah lelah meski sudah berjalan mengitari sepanjang taman. Saka melangkah. Matanya mengedar, menyusuri  tiap sudut taman menghampar hijau indah. Tuhan telah menciptakan replika firdaus di sini. Tak banyak pengunjung. Lebih sepi dibanding Hyde Park, tetapi indah luar biasa! Tetapi, justru suasana sepi semacam ini yang disukai Saka. Ia sudah menyimpan buku di dalam tasnya: Notes from Underground –Fyodor Dostoyevski. Sebuah kemewahan bisa membaca buku di salah satu bangku itu, pikir Saka.

Mata Saka terlalu asyik melihat bangunan di ujung sana. Kensington Palace nan cantik aristokrat, tempat mendiang Putri Diana tinggal bersama anak-anaknya. Ia terus memikirkannya. Membayangkan bagaimana desain interior di dalam gedung itu.

Bagaimana perabot makan dan ruang baca dan ruang tidur dan kamar mandi, apakah di dalamnya ada lukisan Vincent van Gogh yang asli, atau lukisan Picasso atau… oups!
Tiba-tiba ia sudah bergelimpang  di jalan kecil yang membelah taman. Rupanya ia terlalu asyik melihat gedung itu hingga tak melihat di pojok tikungan ada pot besar dan ia menabraknya. Sialnya, kakinya terlalu ke pinggir saat menjejak pembatas taman bertepatan dengan matanya jeli menangkap sosok perempuan yang berdiri anggun di sisi kiri. Ia terpeleset kehilangan keseimbangan, lalu bergelimpang.

 Ada jeritan kecil melengking di depan sana. Selekasnya Saka bangun dan menepis sedikit kotoran di baju dan tasnya. Sakitnya tak seberapa. Lebih sakit rasa malunya saat seorang perempuan bergegas mendekatinya. Beruntung taman ini sepi.
    “Apakah kamu baik-baik saja? Tidak sedang sakit?”
Yah! Matanya tak salah. Dia perempuan yang di perpustakaan itu. Saka sibuk menata hati. Bercampur antara malu, senang, sakit, dan gugup. Aduuhhh….
“Ya. Aku baik-baik saja. Terima kasih.”
“Oh, aku kira kamu….”
“Serangan jantung? Epilepsi? Tidak! Jantungku sehat. Jiwa ragaku sehat. Aku rajin olahraga dan tidak merokok dan aku bukan peminum.” Saka menyerocos serampangan, hingga membuat perempuan itu tersenyum lebar. Ada tatapan lega. Dan seketika Saka sudah mulai bisa menguasai rasa malunya akibat insiden kecil, kecelakaan tunggal yang beberapa menit lalu ia alami.
“Aku kesandung pot besar itu.”
“Apa? Bagaimana cara kamu berjalan dan melihat sehingga pot sebesar itu bisa menyandung kakimu? Lagi pula, tempatnya bukan di tengah, tetapi di pojokan!”
“Eeemm… aku meleng. Melihat gedung di sana itu sambil terus berjalan,” katanya menyembunyikan sebab lain atraksi spontannya. Andai perempuan itu tahu bahwa dirinya turut andil dalam insiden ini.
“Memang sangat indah.” Perempuan itu tertawa sewajarnya. Mungkin supaya lelaki korban keindahan itu tidak  makin malu. “Tetapi soal jatuhmu, aku jadi ingat. Aku pernah membaca kalau Thales, si Filsuf Yunani, sering diejek kawan-kawannya saat kejeblos masuk lubang jalan karena sibuk mengagumi bintang-bintang di langit. Jadi, kurasa kamu seperti filsuf itu.”
Woww!! Menarik sekali perempuan ini! Teriak hati Saka. Ia sudah berjalan bersebelahan dengan perempuan itu. Saka melirik, betapa manis sekali ia. Mengenakan kaus lengan pendek dengan model leher cukup rendah, dan syal cokelat muda motif polkadot hitam besar-kecil.
“Kalau tak salah, aku pernah melihatmu di British Library beberapa saat lalu. Eemm… di rak….”
“Anthropology. Dan kamu sedang membaca Arundhati Roy.”
“Tepat!”
“Ke mana kamu pergi setelah beberapa menit kutinggal membaca?”
“Ah, kamu memang seperti itu rupanya. Objek selalu masuk ke dalam pikiran tanpa tanggung-tanggung sehingga tak memperhatikan sekitarnya hingga….”
“Terjungkal. Ha… ha... ha….”
“Aku sudah mendapatkan buku yang kucari, dan membawanya ke bangku spesial yang menjadi langgananku saat membaca.”
“Emm... boleh tahu namamu?”
“Ashima Aswari. Panggil aku Ashima.”
“Terima kasih, Ashima. Emm… kamu sekolah di sini? Atau mengajar?”
“Sekolah. Tinggal membereskan bagian-bagian akhir saja. Lalu ujian mastering. Di Institute of Social and Cultural of Anthropology, Oxford.”
“Oh, hebat! Semoga lancar.”
“Terima kasih. Dan kamu?
“Namaku Saka. Saka Mukti, dari Indonesia. Hanya beberapa bulan saja di sini. Untuk studi pustaka.”
“Tentang?”
“Emm tentang… keberpihakan sastra pada  kaum kecil. Bagaimana sastra dan seni mengemban misi mengangkat praktik kehidupan yang realitasnya menafikan yang kecil, lemah dan tak memiliki bekingan atau pembela selain dirinya sendiri, yang sudah pasti akan kalah. Itu yang aku suntuki. Dalam seni dan sastra itulah orang-orang kalah telah menang pada sisi peristiwa, ia menang sebagai manusia.”
“Oww, menarik sekali, Saka! Sekarang aku mengerti mengapa kamu khusyuk membaca Roy. Mungkin juga kamu sudah paham dengan Germinal –Emil Zola?” Saka tersenyum.
“Pada Roy, bagaimana? Kuduga kamu setanah air dengan dia.”
Ashima mengangguk.
“Keberaniannya mengambil jalan perceraian, itu tindakan berani sebagai perempuan India,” Ashima berkata sambil melempar pandangan jauh pada pepohonan.
“Lalu ia bergerak dan mengamati seturut kata hatinya. Itu dalam kehidupan pribadinya,” lanjutnya kemudian. “Kalau novelnya… ah, begitulah negeri kami. Roy menceritakan dengan detail dan natural. Memotret, mengambil angle sistem kasta- yang membuat negeri kami menderita sakit sosial. Akan lebih jelas lagi kalau kamu sempatkan datang ke negeriku, Saka.” Perempuan itu tersenyum kecil.
Benang merah. Saka menemukan itu pada perjumpaannya dengan perempuan ramping beranting hula hoop. Tubuhnya ramping, tapi suara tawanya cenderung berat dan ditahan-tahan.  
“Apa saja yang sudah kamu dapatkan selama di sini?” tiba-tiba Ashima bertanya. Ia terlihat amat bernafsu mengetahui lebih jauh tentang Saka.
“Aku masih dalam tahap mengumpulkan bahan dan belajar pelan-pelan dan….”
“Tunggu!” Ashima menginterupsi. “Apa yang kamu lakukan di sini? Maksudku di taman ini? Hanya sekadar jalan-jalan atau? Jangan-jangan aku telah mengganggu waktumu.” Ashima mengukur kedalaman tatapan Saka untuk memastikan jawaban.
“Ada janji kencan dengan kawan, dari Indonesia juga. Tetapi saat ini dia sedang mengajar. Kami akan mengadakan pesta kecil sebagai acara perpisahan karena lusa aku akan pulang ke tanah air. Kami akan menikmati ‘afternoon tea’, apakah kamu mau bergabung?”
“Tawaran menyenangkan sekali. Tetapi aku khawatir kalau kehadiranku merusak acara kalian.”
“Aku akan sampaikan kepadanya nanti. Kurasa kawanku tidak keberatan jika kamu bergabung dengan kami. Akan kuceritakan tentang insiden tadi. Ha… ha... ha….”
Kening Ashima mengerut kecil ketika tiba-tiba mulut Saka diam mengambang.
“Kecuali kamu sedang menunggu seseorang untuk memenuhi janji temu di taman ini,” kata Saka akhirnya. Secepatnya Ashima menggeleng.
“Lalu?”   
“Aku suka merenung di sini.” Ashima menjatuhkan tatapannya pada  ujung sepatunya.
“Jadi? Kali ini pun kamu ke sini untuk merenung?”
Spontan Ashima menyikut pinggang Saka. Ia tak menduga adanya reaksi Ashima yang berlaku laiknya karib.  Darahnya berdesir. Jantungnya memacu lebih cepat. Meski hanya sedikit, masih ada rasa sakit di tulang rusuk Saka. Tapi justru rasa sakit itu yang memompakan perasaan senang di hatinya.
“Menarik sekali aktivitasmu. Merenung. Jadi, kamulah yang sebenarnya seperti filsuf. Bukan aku. Jika divisualisasikan, kamu seperti patung Auguste Rodin. The Thinker. Hi… hi... hi…,” Saka cekikikan.
“Don’t be making fun of me!” Ashima tiba-tiba memasang muka lucu dan setengah merajuk. Senang sekali Saka melihatnya. Ia bermaksud menggoda lagi, tetapi urung. Mungkin lain kali saja. Oh, adakah ‘lain kali’ itu? Lain kali… lain kali…. Semoga!
“Di mana kamu tinggal, Ashima?”
“Rahasia!”
“Waduh, pelit sekali. Kalau begitu aku mau memberi tahu kamu, aku tinggal di Westminster.”
Ashima terbahak. Terbahak hingga terbungkuk-bungkuk badannya. Baru kali itu Ashima tertawa panjang dan lebih ringan. Tetapi Saka diam saja, pura-pura tak acuh. Namun sebenarnya ia terus mencari cara agar bisa meninggalkan jejak, dan mendapatkan jejak demi sebuah pertemuan susulan.
“Ya sudah, kalau tidak suka aku memberi tahu tempat tinggalku selama di sini. Tidak apa-apa jika kamu menolak tawaranku untuk bergabung di pesta perpisahanku. Aku akan meninggalkan kamu agar kamu bisa segera merenung. Selamat tinggal.”
Saka berjalan cepat mendahului perempuan itu. Ternyata langkah gegas Saka sanggup membungkam gelak Ashima.
“Tunggu! Tunggu! Jangan tersinggung!”
Saka berhenti. Hatinya bersorak.
“Baiklah, asal tidak mengganggu, aku bersedia memenuhi undanganmu.”
***

Orangery Restaurant   
Sudah pasti Moko tak keberatan saat Saka menyampaikan ada kawan yang ingin diajaknya. Apalagi dia seorang perempuan. Wooww..!! Bagi Moko, apa yang tidak buat Saka? Sahabat yang telah menjadi sebelah kakinya di kala pincang karena keluarganya selalu telat mengirim uang kuliah di UGM dulu. Saka yang memotivasi dan membantu dirinya memutuskan berhenti merokok biar irit dan terpenting: kesehatannya. Saka yang merelakan komputernya nginap berbulan-bulan di tempat kosnya demi skripsi yang menguras energi. Saka juga yang mengupayakan agar dirinya bisa berkawan dekat dengan Nesia, tetangga kos di Karang Malang semasa kuliah di UGM dulu. Nesia si jurnalis pemberani yang bekerja untuk majalah papan atas di negerinya, yang menjadi tunangannya sejak dua bulan lalu.

Tiba-tiba Moko kangen sekali dengan Nesia. Tetapi Nesia sulit sekali dihubungi, ia masih di Palestina. Meliput konflik dan peristiwa politik yang sedang berkecamuk di sana. Ia selalu bersemangat saat ditugaskan meliput berbagai event dan peristiwa di berbagai negara. Hanya e-mail yang dikirim Nesia di sela-sela waktu. Ia baru merayakan ulang tahun ke-34, tetapi masih merasa selalu muda untuk melanglang buana, tak jarang meliput di medan perang, vivere pericoloso –nyerempet-nyerempet bahaya. Bikin jantung Moko kerap tratapan.

Dulu, semasa kuliah mereka sering pergi bertiga  tiap ada kesempatan. Tetapi sejauh itu, Saka belum pernah menceritakan perihal perempuan yang menyandra hatinya dan mengusik tidurnya. Saka tetap sendirian hingga lulus sampai kemudian masuk usia kepala tiga. “Belum ketemu yang sreg,” begitu alasan yang selalu ia katakan jika ada yang bertanya mengapa betah single. Bahkan sampai sekarang, setidaknya dua hari kemarin. Karena hari ini (tanpa dikatakan dalam kencan kemarin), Saka memberi kabar akan mengajak seorang perempuan. Tentang pemberitahuan mendadak ini, Moko menduga mungkin saja Saka butuh menimbang lebih matang untuk mengenalkan gadis itu kepadanya. Karena mengajak seorang perempuan untuk acara spesial, jelas bukan kebiasaan Saka.

Semoga bukan sembarang perempuan, tetapi perempuan istimewa bagi Saka.
Apa kata Nesia jika tahu? Seperti juga dirinya, tentu hati Nesia girang sekali. Akhirnya, Saka menghadiahi kegembiraan untuk mereka berdua: mengenalkan seorang perempuan. Moko berencana menulis e-mail nanti malam. Memberi tahu Nesia tentang cerita afternoon  tea ini.

**************
Indah Darmastuti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?