Fiction
Aphrodite [3]

9 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Dengan sebal aku sampai di rumah. Sudah lewat pukul 9 malam. Bisa dibilang, 2 hari ini tidak ada apa pun yang terjadi. Mungkin, Aphrodite masih sibuk mengurus cinta-cinta yang lain. Mungkin, malam ini aku harus lebih khusyuk merapalkan mantra. Mungkin, aku masih harus menunggu giliranku 13 hari lagi. Tapi, aku tetap tidak merasa terhibur, tetap kesal karena mantra yang belum manjur. Ya, ampun! Ternyata, kekesalanku harus menukik sampai ke puncaknya, ketika menemui ujung belakang mobil Tondi meng-halangiku untuk memasukkan kendaraan ke dalam garasi.

Oke, Tondi. Aku tahu orang tuamu punya mobil lebih dari yang diperlukan, sehingga kendaraanmu terlalu sesak untuk diparkir di dalam halaman. Tapi, itu kan urusan kalian sendiri. Bukan berarti boleh melanggar wilayah teritoriku!

Seharusnya, aku turun dan mengetuk pintu rumahnya. Seharusnya, aku berbicara didahului dengan kata ‘maaf’, memintanya menggeser mobil. Seharusnya, aku juga mengucapkan terima kasih untuk dipenuhinya permintaan itu. Seharusnya! Namun, aku sudah puluhan kali melakukan hal itu dan setiap kali Tondi datang menengok orang tuanya, selalu saja terulang kejadian yang sama. Maka, untuk tetangga yang memiliki anak macam Tondi, lupakan dulu semua sopan santun yang sudah ditanamkan orang tua.

Kutekan tombol klakson keras-keras. Tak ada respons. Kutekan lebih keras lagi. Belum juga ada reaksi. Kutekan lagi, berulang-ulang dengan durasi panjang, mirip suara lokomotif kereta api. Masih tak ada tanggapan juga! Aku malah mendapatkan tatapan penuh teguran dari tetangga depan rumah, yang mengintip lewat sibakan tirai jendelanya. Ketika kuputuskan untuk menggedor pintu rumahnya, tiba-tiba saja ia muncul sambil nye­ngir menyebalkan.

“Aduh, Rere, ingin ketemu aku, ya. Ha…ha…he….”

Aku melotot. “Jangan ketawa kamu. Ini sudah kejadian kesekian kali. Nggak bisa, ya, diajak ngomong baik-baik? Kalau tidak punya halaman luas, jangan sok punya mobil banyak. Nggak malu makan tanah tetangga?”

“Oh, kamu cuma mau menyuruh mundurin mobil. Mau ngomong begitu saja berbelit-belit,” seringainya dengan nada merayu, seolah aku tadi sedang malu-malu berusaha mengatakan cinta padanya.

Aku tak sanggup mengucapkan apa pun, ketika Tondi memajukan kendaraannya. Kemarahan sudah menghilangkan kemampuanku untuk mencari kata-kata. Mungkin, sebaiknya tadi aku menabrak mobilnya saja, lalu pura-pura tidak sengaja menyerempetnya, agar bisa berkelit dari tanggung jawab untuk mengganti. Biar mobilku ikut tergores. Rasanya itu sepadan dengan bayaran kepuasan melihat Tondi mengelus-elus bagian belakang mobilnya yang penyok dengan wajah memelas.

“Begitu, dong, senyum!” Ia sudah ada di samping mobilku.

Aku malu sekali tertangkap senyum-senyum sendiri. Sebelum sempat mengambil napas, Tondi sudah berbalik melenggang meninggalkanku dengan tangan yang masih tegang mencengkeram bulatnya setir yang terasa lembap oleh keringatku sendiri.

Tanpa kuduga, ia berbalik.

Aku terkejut. “Ada apa lagi, sih?”

“Kalau marah-marah, kamu tambah cantik, lho! Jangan sering-sering marah, nanti aku makin naksir!”

Hah…?

Setelah kehilangan kata, sekarang aku kehilangan kemampuan untuk berpikir. Dasar! Sok ganteng! Sok paling cakep! Sok banyak yang naksir. Tapi, kenapa aku merasa senang juga, ya? Re, ingat, dia itu Tondi. Buaya berkepala empat dengan hati bercabang yang tak terhitung. Tak sulit untuk bilang cinta, karena hal termudah baginya adalah membagi-bagi hati dan perasaannya. Begitu lihainya, sehingga ia tetap dapat dengan cekatan membaginya, meskipun harus diiris setipis rambut dibelah tujuh.

Tondi terus berjalan memasuki rumahnya dengan santai. Sewaktu kecil kami sempat jadi teman sepermainan. Terkadang bertengkar. Terkadang rukun. Tapi, itu dulu sekali. Mulai SMP, lingkup pergaulan kami jadi berbeda. Ia kehilangan minat untuk bermain denganku, aku juga terlalu minder untuk menggabungkan diri dengannya.

Kepopuleran membuatnya begitu mudah bergonta-ganti pasangan. Bukan sekadar bergonta-ganti, ia juga suka punya banyak pasangan dalam satu waktu. Ia tinggi dan tegap. Tidak terlalu tampan sebenarnya. Namun, ia dikaruniai daya tarik yang turun langsung dari langit. Sekali melihatnya, kaum hawa biasanya tak kuasa untuk melirik, mengerling, dan mencuri-curi pandang lagi, mencari-cari apa sebenarnya yang menarik. Bahkan, dalam keramaian sesesak apa pun, ketika kepadatan seharusnya mengaburkan fokus pada satu sosok, pesonanya tetap mampu membuatnya sebagai figur paling bersinar untuk menjadi pusat semua pandangan.

Yang paling jelek, Tondi menyadari kelebihan itu dan memanfaatkannya untuk mendapatkan siapa pun, tanpa perlu banyak berusaha. Kabarnya, sampai sekarang pun ia masih begitu. Kuduga, dari kariernya yang terus meroket, permainannya dalam menggaet banyak wanita pasti lebih fantastis lagi.

Aku mengeluh. Kalau bukan berstatus lajang, pria-pria yang tersedia hanyalah pria semacam Deden dan Tondi. Tidak heran jika aku sulit mendapat jodoh. Dunia ini isinya cuma pria-pria menyebalkan!

Ketika membuka pintu, Ibu sudah berdiri di depannya. Di tangannya tergenggam sebuah kartu kecil. Sebelum aku sempat bertanya, ia sudah menyemprotku terlebih dahulu.

“Rere, kamu nggak malu sudah besar masih berantem begitu? Yang sabar, dong, Nak. Anak sebaik Tondi, kok, digalakin begitu. Dia itu anak berbakti, begitu rajin menengok orang tuanya. Ibunya bilang, dia sekarang sudah jadi apa, tuh, vice president? Lalu, dia baru saja pindah lagi ke apartemen elite. Masih muda sudah sehebat itu, ya?”

Tampaknya Ibu lupa bahwa Tondi sebenarnya seumur de­nganku. Masih muda, katanya? Seingatku, semua nasihat Ibu untukku selalu didahului dengan kata ‘kamu sudah berumur’ sebagai penghalusan dari kata ‘sudah tua’.

“Aduh, Ibu, itu kan biasa saja. Ibu pegang kartu apa, sih?” tanyaku, mencoba mengalihkan.

“Wah, sampai lupa. Re, ada anak teman Ibu yang sedang mencari jodoh juga. Ibu sempat dikenalkan. Orangnya oke. Ibu perlihatkan foto kamu dan sepertinya dia berminat. Jadi, Ibu beri nomor ponselmu padanya. Tidak apa-apa kan, Re? Yang ini benar-benar oke, kok! Ini kartu namanya.”

Biasanya, aku langsung menolak siapa pun yang ditawarkan Ibu dan marah jika ia telah melakukan inisiatif sejauh itu. Pria yang sampai memerlukan bantuan ibunya untuk mencari jodoh, biasanya aneh. Sempat sekitar 3 atau 4 kali aku mengikuti perjodohan yang diatur oleh para ibu itu. Semua langsung tidak lolos seleksi pada 10 menit pertama. Mereka terdiri dari dua jenis: yang hanya bisa berbicara seputar diri sendiri dan pria yang tidak tahu mau bicara apa. Membosankan!

Tapi, kali ini adalah pengecualian dari yang kemarin-kemarin. Sekarang aku mau mempertimbangkannya. Selain kartu namanya juga mengesankan, kupikir mungkin ini adalah jalan yang ditunjukkan Aphrodite.
Malamnya, ponselku berdering. “Halo, apakah ini Rere?”

Suaranya berat, sopan, dan tenang. Permulaan bagus.

“Ya, benar. Ini siapa, ya?” tanyaku, berpura-pura.

“Ini Andre. Tadi ibu saya mengenalkanku pada ibumu dan ia memberi nomor ponselmu. Kamu tahu kan ibu-ibu itu. Saya rasa, kamu juga sering sebal dengan segala perjodohan ini. Tapi, tidak tahu kenapa, ketika melihat fotomu, kupikir tidak ada salahnya mencoba. Ini pun kalau kamu setuju!”

Pandai berkata-kata dan jujur. Mengesankan.

Aku tertawa kecil. “Oh, begitu. Tapi, ini tidak adil. Aku sama sekali belum melihat fotomu.”

“Kupikir, kalau sekadar foto, aku bisa mengirimimu foto-foto model ganteng yang bisa dengan mudah kucari di internet. Bagaimana kalau kamu melihat aslinya saja? Besok pukul 7.00 malam di Kemang?”
Wah, langkah jitu.

“Oke. Kamu bisa mengenaliku, ’kan?”

“Sepertinya, bisa. Aku akan pakai kemeja putih bergaris dan celana gelap. Kutunggu, ya!”

Ugh, itu bukan tanda-tanda yang mencolok. Hampir semua pria mengenakan pakaian semacam itu. Tiba-tiba aku disergap rasa panik. Bagaimana jika ia sengaja memilih baju itu agar bisa cepat menyelinap tanpa ketahuan, jika tidak tertarik melihat penampilanku sebenarnya?

Cerita Selanjutnya >>

Penulis: Elvi Fianita


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?