Fiction
Aphrodite [1]

9 Mar 2012

Malam memang selalu gelap. Namun, malam ini lebih gelap dari malam-malam lainnya. Bulan hanya serupa garis lengkungan tipis yang redup. Hampir mati cahaya. Angin diam menunggu. Langit menahan napas. Tapi, ini adalah waktu yang tepat. Alam telah menunjukkan tanda-tandanya. Kunyalakan lilin putih. Perlambang pasangan idealku. Nyalanya terang. Angin kecil membuat nyalanya bergoyang-goyang bicara. Kuacungkan benda itu sampai panasnya terasa menerangi wajahku. Aku merasa mantap.

“Dewi Aphrodite, aku menginginkan pria yang bisa membuatku melupakan kekuranganku. Yang peka menjaga perasaanku. Yang bisa kuajak berbicara apa saja. Yang tidak pernah membagi hatinya untuk orang lain.”

Kuletakkan lilin berbatang putih tadi pada wadah kerucut perak yang lekuk ukirannya telah berwarna hitam. Kunyalakan sebatang lilin berwarna merah. Warna perlambangku. Warna yang selalu mampu merambati setiap ujung sarafku dengan api secara hampir serentak. Ketika kugenggam batangnya, panas tetesan lilin melelehi jari-jariku, mempertajam tekad. Aku akan terus melanjutkannya. Kugenggam batangnya menjauhi dadaku.

“Dewi Aphrodite, berikanlah untukku cinta sejati. Cinta yang tidak pernah berpaling. Cinta yang selalu penuh kegairahan. Cinta yang selalu ingin memberi dan cinta yang selalu banyak diberi. Cinta yang membuatku menyesal bahwa hidup harus selalu ditutup dengan kematian. Cinta yang….”

Aku kehabisan napas. Apa lagi, ya? Aku terdiam. Sebenarnya, apa yang kuinginkan? Arti cinta sejati pun aku tak tahu.

“Pokoknya, Dewi Aphrodite, aku menginginkan cinta. Pasangkanlah dan satukanlah aku dengan pasangan sejatiku.”

Kuletakkan lilin merah pada tempat perak lainnya. Kedua lilin berbeda warna itu kini berada pada dua sisi berlawanan di sebuah meja kayu cokelat tua. Kugoreskan kapur pada permukaannya yang kasar. Jejak yang dihasilkan terputus-putus oleh parutan arah serat kayu yang melintang. Namun, tetap bisa membentuk gambar hati kecil yang jelas dan simetris pada bagian tengah.

Kupejamkan mata, setengah memaksa anganku untuk mengembara. Mencoba, merasai, dan meraba adalah hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai cinta yang bahagia. Cukup sulit membayangkannya. Namun, setidaknya jiwaku berhasil dibawa melayang sejenak untuk kembali jatuh mengayun perlahan dalam balutan rasa damai. Itu cukup. Kutiup nyala lilin. Besok aku akan bermeditasi lagi, merapal mantra, dan menutup ritual dengan mendekatkan kedua lilin itu satu inci setiap harinya. Sehingga, pada malam purnama, kedua benda itu akan bersentuhan di tengah hati. Demikian juga aku dan pasanganku.

Hari yang kutunggu akan tiba. Hanya 15 hari lagi.

Hari pertama

Aku penasaran luar biasa. Bagaimana tanda-tanda itu akan terbaca? Apakah ia akan begitu saja menyeberangi perlintasan diagonal garis hidup kami? Apakah aku dapat mengenalinya dalam waktu seperseratus detik? Mungkinkah semuanya terjadi jauh lebih cepat dari yang kuduga? Apakah kami akan saling menyatakan cinta dan menikah pada hari itu?

Masih pukul 7 pagi. Aku terlalu cepat sampai di kantor. Antrean di depan pintu lift tidak ramai seperti biasanya. Hanya ada seorang pria dalam setelan kemeja hijau lumut yang membuat bahu besarnya makin kontras dengan dinding kuning pucat lift. Tengkuknya berwarna cokelat gelap, namun bersih oleh cukuran rambut yang rata dan rapi.

Langkahku yang kian dekat memperjelas sosoknya. Sebelum sepuluh langkah terakhir terjembatani, jantungku berhenti berdegup. Keterkejutan membuatku mengambil langkah berlawanan, berbalik cepat seperti kucing tergebah air panas. Tapi, itu tidak terasa cukup. Sesuatu mencambukku untuk bergegas menghilang. Bersembunyi. Secepat mungkin membuat jarak, menghilangkan ruang yang menghidupkan lagi masa laluku dengannya. Bowo.

Di balik dinding menuju basement, yang menutupi keberadaanku dari pandangannya, aku memejamkan mata, sambil menyadarkan tubuh pada dinding yang dingin. Aphrodite, kenapa aku harus melihatnya lagi? Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kenapa harus berjumpa setelah aku merapalkan mantramu. Apa maksudmu?
Aku ingat obrolanku dengan Ibu, ketika umurku masih 27 tahun.

“Re, kamu boleh bilang cinta ketika berpacaran. Tapi, kalau mencari jodoh, pilihlah pria yang paling mencintaimu. Jangan pilih yang paling kamu cintai. Dalam suatu pernikahan, seorang wanita akan makin banyak berkorban, sementara cinta pria akan makin luntur. Memilih pria yang mencintaimu akan lebih memudahkan hidup. Sementara memilih pria yang paling kau cintai, akan terus menuntut pengorbanan.”

Aku terdiam. Bukan termakan oleh nasihatnya. Terkadang, ketika orang bercerita, akan terefleksikan sesuatu yang sebenarnya adalah cerita tentang dirinya sendiri. Ibu, ada hal yang tidak pernah kau ceritakan. Pantas saja hubungan Ibu dengan Ayah begitu datar. Ibu, sebenarnya siapa yang dulu kau cintai? Tidakkah sekarang kau masih tetap merindukannya?

“Ibu, karena itukah Ibu memilih Ayah? Apakah Ibu yakin tidak bisa lebih bahagia dari sekarang, jika memilih pria yang Ibu cintai?”

Raut wajah Ibu berubah. Antara sedih dan marah. Ia kehilangan kata. Ia berbalik meninggalkanku. Sejak itu, tidak pernah ada perdebatan lagi.

Aku menggigit bibir. Dulu, aku begitu yakin dengan pendapatku. Kini, setelah umurku merambat naik, tanpa pernah bisa menemukan pria yang kucari, aku mulai sangsi, apakah sebenarnya aku dulu telah melakukan kesalahan. Tak kusangka, aku akan melihatnya lagi di sini. Di gedung yang sama. Bowo. Ia masih berkulit gelap, namun kelihatan lebih bersih dan tampan.

Bagaimanakah kabarnya? Sudahkan ia menikah? Bahagiakah ia? Menyesalkah aku? Kemungkinan itu begitu menakutkan, karena aku dihadapkan pada kenyataan yang memaksaku mengakui, aku dulu telah salah menolaknya.

Aku baru berani mendekati lift lagi, ketika menunggu cukup lama. Dalam keheningan ia membawaku naik ke atas. Kantor masih sepi. Sesampainya di mejaku, kuempaskan semua beban dengan lemparan tas kerjaku di kursi.

“Hai, Rere, tumben datang pagi!”

Astaga, Deden! Kehadirannya lebih menyebalkan daripada bakteri atau virus. Mereka bisa dengan mudah dibasmi dengan antibiotik. Tapi, semua omongan sok tahumu sering membuatku gusar berhari-hari, walau wujud fisikmu telah enyah entah ke mana.

“Ini buku yang kemarin aku pinjam. Aku kembalikan! Buang-buang waktu saja membaca buku setebal itu. Kenapa, sih, semua pengarang sok tertele-tele seperti itu. Paling inti bukunya cuma 1 halaman. Re, kamu rangkumkan saja untukku, biar aku gampang berdiskusi dengan kamu.”

Penulis: Elvi Fianita



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?