Fiction
Ambisi Berbisa [4]

23 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

“Mau didemosi dengan hormat menjadi office girl, atau mengundurkan diri? Ingat, perusahaan jadi tidak perlu membayar uang pesangonmu. Atau, kalau kamu menolak semua pilihan itu, perusahaan akan menuntutmu.”

“Untuk apa Ibu berbuat seperti ini? Toh, pernikahanmu dengan Reza juga hanya sebuah kebohongan! Dan Ibu tahu bahwa hasil pekerjaan saya tidak ada yang cacat!”

Kisah Sebelumnya:
Lisa, seorang eksekutif sebuah perusahaan distributor yang kariernya bersinar. Dia mau melakukan apa pun untuk  mencapainya. Tak terkecuali ketika ia harus merelakan perkawinannya hancur dan kedua anaknya menjauh karena dia nyaris tak punya waktu buat mereka. Bahkan, Lisa pun rela menjalin hubungan mesra dengan bosnya, Reza. Di satu sisi, ada anak buahnya, Anto, yang selalu meneropong gerak-geriknya. Suatu kali, tanpa diduga, Lisa dipanggil oleh istri Reza. 

Biasanya, kalau ada panggilan dari ruangan Reza, Lisa pasti akan menyetop apa pun yang ia kerjakan, dan langsung menuju ke sana. Tapi, kali ini, entah kenapa, firasatnya agak sedikit berbeda.

Lulu berdiri dengan cepat ketika Lisa melewati mejanya. “Langsung masuk saja, Bu Lisa. Sudah ditunggu Bapak dan Ibu sedari tadi.”

“Terima kasih, Lu,” sahut Lisa, berusaha tenang, walaupun rasanya sedang ada kudeta di dalam perutnya, seluruh isinya protes mengancam untuk keluar. Kuasai dirimu sendiri, Lisa! Ini bukan pertama kali ia bertemu dengan Monika Widjojo. Kenapa ia tiba-tiba gugup begini, sih?
Ia tahu jawabannya. Karena ini pertemuan pertamanya dengan wanita itu, setelah Lisa berselingkuh dengan suaminya.

“Selamat siang, Bu Monik.” Lisa mengangguk hormat ke arah wanita separuh baya itu. Matanya melirik cepat sosok yang sangat familiar yang sedang duduk di balik meja mahogani itu. “Pak Reza,  Anna tidak mengatakan meeting ini mengenai apa, jadi saya tidak membawa berkas-berkas klien….”

Kalimatnya terhenti. Monik mengangkat tangannya, angkuh, menyuruhnya berhenti berbicara.
“Tidak usah khawatir. Tunggu sebentar lagi, masih ada satu staf yang saya minta ikut hadir juga.”
Lisa menarik napas panjang. Ada sesuatu yang aneh di ekspresi wanita itu. Ekspresi berbahaya, seperti induk beruang yang hendak melindungi anaknya.

Jangan-jangan….

Lisa melemparkan lirikan cepat ke arah Reza, mencoba mengirimkan sinyal-sinyal telepati agar pria itu bisa membaca pikirannya. Tidak mungkin kan, Monik tahu mengenai hubungan mereka? Ia menggigit bibirnya. Tapi, so what? Kalaupun tahu, Monik juga tidak peduli. Toh, ia sendiri juga sibuk dengan pria-pria mainannya di luar sana, ‘kan?

Sambil menunggu, ia mengamati Monik. Wajah yang biasanya segar dan penuh polesan kosmetik itu, hari ini kelihatan tirus dan agak pucat. Reza memang pernah bilang, istrinya sedang menjalani pengobatan untuk sebuah penyakit, tetapi ia tidak pernah bercerita lebih lanjut. Dan Lisa juga merasa tidak perlu bertanya.

Ditariknya napas panjang, untuk mencoba menenangkan pikirannya. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan.

Tidak lama, pintu ruangan terbuka lagi, dan air muka Lisa memucat ketika melihat Anto melangkah dengan mantap memasuki ruangan. Tangannya memegang sebuah amplop putih tebal. Ia melirik Lisa sekilas, kemudian tersenyum dan memusatkan perhatiannya kepada Monik.
“Semua sudah di sini. Kita to the point saja, Lisa.” Monik berdiri, dan dengan menyilangkan tangannya di dada, berjalan menghampiri Lisa.

“Saya memanggil kamu dan Anto hari ini ke sini, karena ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Sesuatu yang sangat serius, yang menyangkut masa depan perusahaan ini.”
Lisa hanya mengangguk, otaknya masih terus berputar, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan wanita ini.

“Sebelum kita mulai, Anto, kamu punya sesuatu yang ingin kamu bagi dengan kita semua?”
Anak buah Lisa itu mengangguk, sebuah senyuman lebar menghiasi wajahnya.
Dasar carmuk, geram Lisa dalam hati. Tunggu nanti kalau aku sudah menjadi pemilik perusahaan ini … nanti giliranmu untuk carmuk kepadaku!

Belum sempat Lisa merencanakan apa saja yang akan ia lakukan kepada Anto, otak Lisa mendadak kosong di menit selanjutnya, ketika Anto mengeluarkan berlembar-lembar foto hitam-putih dari amplop yang digenggamnya. Foto-foto dirinya dan Reza. Dalam berbagai posisi, di berbagai tempat. Di restoran, di lobi hotel, saat makan siang. Berpelukan, bergandengan, tertawa mesra.

Kudeta di perutnya seketika hilang, digantikan dengan perang di otaknya.
“Ini foto-foto yang diambil teman Andre,” desis Lisa, marah. Dipelototinya Anto, geram. “Kamu dapat dari mana foto-foto ini?” 
“Dapat dari mana, itu tidak penting.” Jawaban tajam Monik membuat tangan Lisa mendadak dingin. “Tapi, kalau memang kamu benar-benar ingin tahu, foto-foto itu diberikan kepada Anto oleh suamimu sendiri, sewaktu ia menghubungi suamimu dua minggu yang lalu. Atau mungkin sekarang lebih tepat disebut mantan suamimu?”

Mulut Lisa hanya bisa membuka, kemudian mengatup lagi. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Lalu ada lagi ini.” Monik mengambil setumpuk kertas dari atas meja Reza, dan melemparnya ke depan Lisa. “Hasil print semua e-mail di antara kalian berdua. Saya tidak tahu, ternyata suami saya sebegitu romantis! Kenapa kamu tidak pernah semesra itu ke aku, Reza?”
Yang ditanya hanya membisu.

“Pikiran pertama saya adalah, tentu saja, memberhentikan kamu, dan menceraikan suami sialan yang kurang ajar ini.” Monik berdiri, menjauhi Lisa, dan berjalan mendekati suaminya, tangannya tersilang di dada. “Tapi, terus saya pikir, terlalu mudah, ya? Jadi, setelah saya timbang-timbang lagi, saya punya ide yang lebih bagus.”

Ia terus berjalan, dan berhenti di depan Anto. “Efektif mulai hari ini, Anto akan menggantikan posisi kamu sebagai GM di Widjojo Group. Sedangkan kamu, kamu boleh pilih,” Monik tertawa sinis, penuh kepuasan, “mau didemosi dengan hormat menjadi office girl, atau bersedia mengundurkan diri secara sukarela. Ingat, perusahaan jadi tidak perlu membayar uang pesangonmu, atau, kalau kamu menolak melakukan salah satu pilihan yang baru saja saya sebutkan itu, perusahaan akan menuntutmu. Membawamu ke pengadilan, atas tuduhan menggelapkan uang perusahaan sebesar sepuluh miliar rupiah.”

Mata Lisa membulat, marah. “Tunggu dulu, Ibu tidak bisa seenaknya....”
“Tidak akan ada orang yang bisa membuktikan bahwa kamu tidak pernah menggelapkan dana itu,” lanjut Monik tenang, sementara seringai di muka Anto bertambah lebar, dan wajah Reza berubah pucat pasi. “Saya yakin, zaman sekarang, mudah sekali untuk mengubah data keuangan perusahaan. Dan dijamin, tidak akan ada yang berani protes kalau saya menginstruksikan staf accounting kita untuk sedikit menyulap data-data, sehingga kelihatan seperti ada dana keluar dari bank account perusahaan … bukti cukup untuk menyeret kamu ke pengadilan.”

“Kalau saya menolak untuk melakukan semuanya?” tantang Lisa.
Monik tersenyum tipis. “Ayah saya punya banyak koneksi penting, Lisa. Jangan bodoh.”
 Lisa terdiam. Bayangan jeruji penjara memenuhi otaknya, membuatnya merasa ingin muntah. Ia melirik ke arah Reza. Kekasihnya itu tetap duduk terdiam, mukanya pucat, pandangannya kosong.
“Reza,” sentaknya marah. “Kenapa kamu diam saja? Kamu tidak akan membela saya sama sekali? Ini semua kamu yang mulai! Kalau kamu tidak mulai duluan menggoda saya, ini semua tidak akan pernah terjadi!”

Kemarahan Lisa berubah menjadi ketakutan yang luar biasa ketika Reza hanya menatapnya dengan pasif.

“Maafkan aku, Lis. Aku banyak berutang budi pada keluarga Widjojo. Tidak mungkin aku membalas kebaikan mereka dengan cara meninggalkan perusahaan ini.” Reza menggeretakkan giginya. “Ataupun meninggalkan Monik. Aku tidak bisa membantumu.”
“Apa?” Lisa melotot. “Omongan apa itu? Bukannya kamu pernah bilang, kamu mau meninggalkan dia untuk aku? Mau punya anak dan membangun keluarga bersamaku? Buktikan sekarang!”
Reza hanya menggelengkan kepalanya, matanya menghindari tatapan Lisa yang menuduhnya.
“Oh, ya, saya lupa bilang,” suara Monik memecah keheningan, seolah-olah ia tidak mendengar percakapan Lisa dengan suaminya barusan. “Kalau kamu memilih untuk mengundurkan diri, Lisa, perlu diketahui bahwa kenalan dan koneksi keluarga saya itu banyak. Sangat, sangat banyak. Jadi, saya juga akan menyebarkan berita ke perusahaan lain di industri ini, bahwa selama kamu bekerja di sini, kamu banyak merugikan perusahaan. Perundingan  dengan calon klien besar yang tidak berhasil gol, misalnya. Atau klaim pengeluaran yang jumlahnya terlalu besar, yang jumlahnya mencurigakan. Tebak apa yang akan terjadi, Lisa. Kamu tahu?”

Mulut Lisa menganga lebar. Ya Tuhan, mengapa bisa jadi begini? Bagaimana mungkin, sejam yang lalu, hidupnya serasa berada di puncak dunia, dan sekarang, semuanya jungkir-balik tidak keruan?
 “Betul sekali! Tidak akan ada lagi perusahaan lain yang mau mempekerjakanmu sebagai karyawan!”
Gelak tawa Monik dan Anto terdengar seperti bunyi petasan di telinga Lisa.

****
Apa pun yang Monik katakan setelah itu, Lisa sudah tidak mendengarkan. Pikirannya hampa. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Habis semuanya. Kariernya hancur, perkawinannya juga sudah tamat. Apa lagi yang ia miliki sekarang? Hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. Apa yang harus ia lakukan?
“Kenapa?” sergah Lisa ke arah Monik. “Untuk apa Ibu berbuat seperti ini? Toh, pernikahanmu dengan Reza juga hanya sebuah kebohongan! Dan Ibu tahu bahwa hasil pekerjaan saya tidak ada cacat! Tunggu saja sampai dia...,” Lisa mengacungkan jari telunjuknya ke arah Anto, “menghancurkan semua kerja keras yang sudah saya bangun untuk perusahaan ini!”
Monik mendekati Lisa, hidungnya hanya berjarak beberapa senti dari hidung Lisa. “Kamu mau tahu kenapa? Karena,” ditepuknya pipi Lisa dengan tenang, “Tidak ada yang boleh mempermalukan Monika Widjojo dan bisa lolos begitu saja.”

Ia melangkah mundur, matanya memicing, menatap Lisa penuh kebencian. “Sekarang juga, kamu kembali ke ruanganmu, bereskan barang-barangmu, dan saya akan minta sekuriti untuk mengantarmu keluar gedung. Surat pengunduran dirimu sudah siap, ada di Anna, tinggal kamu tanda tangani saja. Jangan pernah kembali lagi ke gedung ini, ataupun mencoba menghubungi Reza lagi. Kamu mengerti?”

Panik, Lisa menggelengkan kepala. “Tidak, tidak bisa. Tunggu dulu....”
“Sekarang, Lisa. Kamu tidak punya pilihan lain.” Ia menoleh, memfokuskan pandangannya ke arah suaminya. “Dan kamu,” desisnya geram, “kamu akan menyesal sudah mempermainkan aku. Kamu akan menyesal kamu pernah dilahirkan.”

**********

“Kamu sudah dengar kabar terakhir, Li?”
“Hebat benar kamu, Lu,” sahut yang ditanya, sambil celingukan ke sekeliling mereka, memastikan tidak ada mata-mata yang bisa menguping pembicaraan mereka. Sejak ada kejadian yang menghebohkan kantor empat bulan yang lalu itu, Erli memegang teguh prinsip, lebih baik ekstra berhati-hati daripada menyesal di kemudian hari! “Belum kayaknya. Kabar yang mana lagi?”
“Bosmu tuh, An, si Anto, sekarang dia terang-terangan jalan sama Bu Monik. Gila, ya?” Lulu menunduk, separuh berbisik.

“Dan, yang aku dengar dari Pak Andre, waktu kemarin lusa dia datang untuk mengambil sisa barang-barang Bu Lisa, polisi masih belum menemukan tubuh Bu Lisa. Padahal, sudah hampir sebulan mereka mencari. Seluruh daerah Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Jakarta Pusat sudah diubek-ubek dari atas sampai ke bawah. Masih belum ketemu juga.”
“Ih, serem banget. Kamu dengar dari siapa, Lu? Memangnya yakin gitu, sudah pasti Bu Lisa bunuh diri?” Anna bergidik, mengingat mantan bosnya itu. Siapa sangka, ia dulu bekerja untuk seorang psikopat?

Lulu mengangkat bahunya, jelas menikmati perhatian yang dilimpahkan oleh rekan-rekan kerjanya. “Yah, mana ada yang tahu? Kalau menurut pesan terakhir yang ditinggalkan, sih, kayaknya Bu Lisa memang berencana mengakhiri hidupnya. Hih, tragis, ya? Aku nggak habis pikir, kenapa  sampai bisa ada orang berbuat senekat itu, hanya gara-gara kehilangan pekerjaan.”

“Bukan cuma pekerjaan, Lu,” kata Erli, ikut  menimbrung. “Itu kan hitung-hitung Bu Lisa kehilangan segalanya. Kerjaan juga, suaminya juga, anak-anaknya juga. Kehilangan rumah barunya, yang harus dijual buat bayar  utang- utangnya. Belum lagi kehilangan pacar gelapnya. Sudah begitu, yang aku dengar juga, pas dia minta balik ke Pak Andre, ditolak mentah-mentah. Siapa yang nggak putus asa, coba?” Erli mengangkat kedua tangannya dengan gesture seolah menyerah.

“Amit-amit, deh, ketok meja tiga kali. Jangan sampai kejadian kayak begitu menimpa kita!”
“Tenang, Li. Makanya, hidup yang normal-normal sajalah. Jangan pakai bikin dosa, jangan pakai selingkuh, jangan aneh-aneh. Dijamin pasti aman dan tenang, nggak akan ada drama seperti ini.” Anna menurunkan nada suaranya. “Yang aku paling kasihan, sih, Pak Reza. Bayangkan saja, dari jabatan supertinggi, suami bos, kaya bukan main, sekarang turun pangkat begitu jauh! Kalau aku jadi dia, malunya bukan main.”

“Iya, kasihan banget memang,” ucap Lulu, menggelengkan kepalanya sedih. “Padahal, dari semua atasan yang aku pernah kerja, Pak Reza itu salah satu yang paling baik, lho. Bu  Monik itu benar-benar kejam, ya. Padahal, sudah sakit-sakitan terus, tapi, kok, masih saja jahat begitu. Entah apa yang dicari. Masa menceraikan suaminya saja nggak cukup?” Wanita itu mendecakkan lidahnya. “Bayangkan saja, Pak Reza, ganteng begitu, pintar dan baik pula, kerjaannya cuma nganter-nganterin istrinya ke mana-mana. Apa nggak kelewatan, tuh?”

“Aku nggak ngerti. Kenapa Pak Reza nggak berhenti saja?” tanya Erli, bingung.
“Yang aku dengar, sih, keluarga Pak Reza banyak ditolong oleh keluarga Pak Widjojo,” bisik Lulu. “Adik-adiknya Pak Reza, semua disekolahkan ke luar negeri sampai lulus dan jadi orang. Waktu ayah Pak Reza sakit, sampai meninggalnya, semua biaya pengobatan ditanggung oleh keluarga Widjojo juga. Jadi, aku rasa, dia tidak bisa lepas, tidak bisa ke mana-mana. Utang budinya terlalu banyak ke keluarga ini.”
“Anna!”

Bentakan bersuara berat itu membuat ketiga wanita itu terlompat.
“Sudah selesai nggosip-nya?” Anto mendekati wajah-wajah gugup itu dengan tenang. “Kalau sudah, kembali ke tempat masing-masing, sekarang. Perusahaan tidak menggaji kalian untuk membicarakan urusan orang lain. Anna, mana draft surat untuk Mackintosh Foods yang saya minta setengah jam yang lalu? Kalau kamu masih mau punya pekerjaan, surat itu harus ada di meja saya sepuluh menit lagi.”

Ketiga wanita itu sontak melarikan diri sebelum diamuk Anto lebih lanjut. Pria itu tersenyum tipis,
dan meneruskan berjalan kembali ke ruangannya, sambil bersiul-siul pelan.
Hidup ini memang indah. Siapa bilang hidup ini tidak adil?

Ia berhenti di depan salah satu pigura yang tergantung memenuhi dinding di sepanjang lorong itu.
Foto perayaan ulang tahun perusahaan, foto pemberian penghargaan ke Widjojo Group sebagai distributor terbaik tahun 2009, foto outing perusahaan. Tangannya naik, dan mengelus pelan wajah salah satu wanita yang sedang tertawa gembira di foto itu, rambutnya tertiup angin, wajahnya memerah penuh kebahagiaan.

Lisa, jika aku tidak bisa memiliki kamu, maka orang lain juga tidak bisa.
Anto tertawa kecil, dan kembali berjalan sambil terus bersiul-siul. (Tamat)


Penulis: Cynthia Marceline


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?