Fiction
Akhirnya Senja [6]

30 May 2012

<< cerita sebelumya

Akhirnya, Fatimah memberanikan mengetuk rumah-rumah yang di dekat meunasah. Ia mengetuk pintu rumah itu seperti kesetanan. Ia sudah tak peduli jika pemilik rumah akan keluar dan memarahinya, memperlihatkan wajah yang padam dengan mata yang merah seperti saga.

Tapi, tetap tak ada yang keluar. Hingga Fatimah menjerit di tengah halaman meunasah sejadi-jadinya.

“Hei, para lelaki, ke mana kalian bersembunyi?”

Saat itu, Fatimah terlihat sangat tegar.

“Tidakkah kalian harus memperlihatkan kekuatan kalian? Apakah kalian tak sadar akan kejantanan kalian?”
Kata-kata yang keluar dari mulut Fatimah, makin tak terkontrol.

“Lihat diri kalian! Lihat! Di mana tanggung jawab kalian untuk melindungi wanita gampong?”

Fatimah tak berhenti berteriak lantang. Tapi, tak ada orang-orang yang keluar dari rumahnya yang terkunci rapat.

Gampong itu seperti kehilangan kekuatan. Tak ada juga keberanian dari keusyik (kepala kampung), yang sudah mengundurkan diri beberapa waktu lalu, karena tak berani bertanggung jawab atas keselamatan orang-orang di gampong. Zaman buruk, katanya, sangat membahayakan jiwa siapa saja.

Setelah mundurnya keusyik, tak ada lagi yang memimpin gampong ini. Akhirnya, jabatan keusyik dipegang oleh camat di kecamatan.

Tak ada laki-laki yang keluar, ketika Fatimah menjerit-jerit. Tak ada wanita yang keluar, ketika Fatimah menjerit-jerit.

Ketika itu, Fatimah terlihat benar-benar seperti orang lemas. Ia terduduk di halaman meunasah yang berumput tebal dengan dikelilingi kotoran lembu.

Tak berapa lama, seorang wanita muda mendekati Fatimah. Ya, Suhaibah namanya. Ia baru pulang dari meudagang (memperdalam ilmu agama di pesantren). Wajahnya tak begitu kokoh seperti raksasa yang akan melawan siapa saja.

Dipegangnya tangan Fatimah untuk bisa berdiri tegak. Mereka berdua menatap dinding-dinding langit. Tiba-tiba, Samiun berhenti menangis. Hari sudah sore. Suhaibah menuntun tangan Fatimah untuk pulang ke rumah, yang halamannya sudah kembali penuh dengan ceceran daun cokelat, setelah pagi tadi disapu sampai bersih.

“Kita harus kuat!” kata Suhaibah, pendek.

Suhaibah, membelakangi Fatimah. Ia meninggalkan rumah Fatimah bersama Samiun yang sudah diam.

Saat itu, jingga langit di balik bukit sebelah barat sudah merekah. Itu sebagai pertanda semua orang gampong harus mengunci pintu rumahnya rapat-rapat, karena masa itu adalah zaman buruk.

Fatimah masih sedang menyapu halaman pada Jumat pagi itu. Seorang anak gampong dengan tergesa menjumpainya.

“Cutma… Cutma… Polem (panggilan untuk orang yang lebih tua) Balah, Cutma, Polem Balah….”

Napas anak itu tampak terengah-engah.

“Kenapa dengan polem-mu?”

“Polem Balah… Polem Balah….”

Anak itu langsung berlari menuju rumahnya di ujung lorong. Fatimah belum tahu apa yang disampaikannya. Ia kembali melanjutkan membersihkan halaman. Tapi, pikirannya mulai tak tenang. Gelembung gundah tiba-tiba mengkristal. Segera ia menyelesaikan pekerjaannya itu.

Tak berapa lama, seorang penduduk gampong datang menjumpai Fatimah. Tapi, ia juga tak memberitahukannya dengan jelas. Ada seseorang yang memberitahukan kepadanya, bahwa seseorang sedang berada di kebun pinang Cot Me.

Lelaki itu adalah Bardan, keusyik yang sudah mengundurkan diri. Tapi, ia sendiri tak tahu, siapa yang bilang dan perihal siapa yang dimaksud dengan seseorang di kebun pinang.

Bardan mengetahui dari desas-desus bahwa Sabalah tak ada lagi di rumah. Ia mendengar, Sabalah sudah dibawa oleh rombongan tamu.

“Apakah mencari Polem Sabalah?” tanya Bardan.

Ketika Fatimah tak menjawab, Bardan juga meninggalkan Fatimah yang sedikit bengong di halaman rumahnya.

Seburuk inikah zaman ini, pikirnya.

Dengan cepat Fatimah langsung naik ke rumah. Sesampai di sana, ia melihat Samiun yang masih terlelap. Berkali-kali ia mengelilingi rumah dan tak tahu apa yang mau dikerjakan.

Fatimah benar-benar terlihat bingung.

Ia juga beberapa kali membuka gua kecil dan menatap ke bawah. Ia membayangkan Sabalah sedang mengayunkan tubuhnya naik ke rumah.

“Ke mana engkau, Cutbang?” gumamnya.

Suhaibah yang datang tanpa mengetuk pintu, begitu mengagetkan Fatimah. Ia terkejut hebat.

“Astaghfirullah….”

“Kita harus pergi ke sana!” tegas Suhaibah.

Tiba-tiba, saat pagi datang, Suhaibah mendengar kabar seseorang itu. Karena itu, ia segera menuju rumah Fatimah.

“Tapi, aku gelisah. Sangat gelisah.”

“Siapa yang tak gelisah? Tapi, sepertinya kita harus kuat!”

Suhaibah turun ke bawah dan hilang dalam sekejap.

Rupanya, ia pergi mengetuk beberapa rumah tetangga dengan pelan, memberi salam, mengucapkan assalamualaikum, lalu me­ngajak mereka ramai-ramai pergi ke Cot Me. Hanya Jamilah dan Habsah yang mau. Jamilah adalah istri Bardan, sedangkan Habsah, istri Teungku Jafar, teungku di gampong yang akhir-akhir ini juga memilih berdiam diri di dalam rumah yang terkunci.

Matahari belum tinggi saat mereka berempat memutuskan untuk pergi ke Cot Me untuk melihat seseorang. Ya, melihat seseorang, yang informasi tentangnya diberikan oleh seseorang. Mereka tidak ditemani oleh lelaki siapa pun. Fatimah membawa serta Samiun yang masih terlelap.

Ketika memutuskan untuk berangkat, wajah mereka tak terlihat pucat. Memulai berjalan, anak di gendongan Fatimah itu terjaga.

Di jalan, mereka sama sekali tak sempat berpikir, bagaimana bila berpapasan dengan orang lain. Tak berpikir. Padahal, kepengecutan lelaki di gampong itu muncul karena bayangan akan bertemu muka dengan orang-orang, yang kebetulan sedang melintasi jalan mereka.

Mereka harus berjalan ke tepi gampong, sebelum melalui jalan setapak yang sudah sunyi. Tapi, gampong juga sudah seperti mati.

Suara jangkrik seperti mengikuti irama langkah mereka yang tak teratur. Dalam genangan air di kanan-kiri jalan setapak menuju Cot Me, masih terdengar bunyi kodok yang sedang berdendang.

Fatimah tak membawa apa-apa, selain sehelai batik baru yang dibungkus dalam kain sarung gendongan anaknya.
Perjalanan tersebut hanya dua kilometer dari gampong. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana. Tapi, ketika zaman buruk, tak ada seorang gampong pun yang pergi ke bukit, karena diyakini bisa berakibat fatal.

Kini, Bardan memberitahukan ada seseorang di bukit Cot Me yang diberikan oleh seseorang. Fatimah merasa sangat gundah. Karena itu, ia ingin menemui Sabalah, yang tak mengetuk gua sembilan kali selama dua senja yang sudah lewat.

Hanya karena itu, Fatimah seperti memiliki kekuatan, walau mungkin Sabalah ada di bukit, ada di tempat yang berbahaya. Maka, Fatimah, bersama dengan tiga wanita lain datang menjemputnya. Tiga wanita perkasa yang menemaninya ke sana.

Barangkali benar, harapnya.

Fatimah tidak bisa berjalan cepat lagi. Ia sudah berumur. Apalagi, zaman buruk sangat menguras kondisi psikologisnya. Ia tampak lebih tua dua kali lipat dari umur aslinya.

Tak seorang pun ditemui dalam perjalanan itu. Tak ada siapa-siapa yang berpapasan muka. Jalan setapak yang dulu bersih, kini sudah dipenuhi semak, karena tak ada orang yang melaluinya.

Beberapa kali mereka harus membersihkan rumput gajah yang selutut, yang sudah menutupi jalan setapak.

“Jalan saja, tak perlu menoleh kanan-kiri,” tegur Habsah.

“Ya,” jawab Suhaibah.

Habsah melihat Suhaibah yang berjalan tak tenang, karena kondisi jalan yang begitu sepi. Tak ada siapa-siapa.



Penulis: Sulaiman Tripa
Pemenang Ketiga Sayembara Mengarang Cerber femina 2006


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?