Fiction
Air, Udara, Api, Tanah [5]

21 May 2012


Fe tiba di apartemennya malam itu dengan tubuh lelah. Di bawah tangga, Bu Elly, si empunya gedung, sedang menceritakan sesuatu, yang sepertinya seru, kepada nyonya muda Amadeus. Fe tersenyum geli.


“… si Orien itu. Saya juga baru tahu bahwa dia itu wanita panggilan. Saya ndak nyangka kalau mahasiswa universitas elite seperti dia bisa punya profesi wanita panggilan. Pantesan dia bisa beli baju-baju bagus. HP-nya ganti-ganti melulu! Bagus-bagus lagi! Pasti mahal, deh! Dulu dia sering nunggak bayar apartemen. Pernah sampai dua bulan ndak mbayar! Sekarang dia selalu bayar tepat waktu. Tadinya saya heran, kok, tumben dia tepat waktu. Eh, ternyata…,” Bu Elly bercerita.

Sebelum kaki Fe sampai di ujung tangga, Orien muncul. Dandanannya malam itu cukup luar biasa. Kaus yang menempel ketat pada tubuhnya, menunjukkan belahan dada yang menggiurkan. Ia naik, tanpa berkata apa-apa pada Fe, Bu Elly, maupun nyonya muda Amadeus itu.

Kemudian, lidah Bu Elly bergerak lagi. Lebih tajam, sehingga telinga Fe merah mendengarkannya. Karena itu, ia memutuskan untuk cepat-cepat naik. Ia tidak mengerti, kenapa bagi sebagian orang, membicarakan apa yang menurut mereka buruk dan berdosa menjadi kenikmatan tersendiri. 

Kadang-kadang Fe tidak peduli pada pendapat masyarakat. Mereka cuma bisa bicara, bergosip, menyebarkan cerita yang belum tentu benar. Mereka cuma bisa mencela, tanpa punya keinginan untuk mencari tahu yang sebenarnya. Omongan mereka, toh, tidak bisa memberinya makan. Hanya mengurangi jam tidurnya saja. Dan, Fe sama sekali tidak mengizinkan siapa pun menghambat aliran airnya. Riak-riak dan gejolak yang sesekali ia biarkan datang, hanyalah riak-riak yang membuat aliran airnya menjadi tidak membosankan.

“Kau tidak ikut bergosip?” 

Fe menghentikan langkahnya. Di hadapannya berdiri Orien dengan tatapan terluka yang mengiris hati Fe.

“Tidak,” jawab Fe.

Orien mendesah. “Syukur masih ada yang berakal sehat.”

Sebelum Fe menanggapinya, gadis itu sudah masuk ke dalam apartemennya. Meninggalkan Fe sendirian.

Fe melihat sepotong luka dalam diri Orien. Ia tidak tahu mengapa saat itu ia ingin menerobos masuk ke dalam apartemen Orien. Hanya untuk menenangkan gadis itu, mengatakan padanya bahwa masih ada orang yang menerima dia apa adanya.

Tapi, Fe meneruskan langkahnya dan masuk ke apartemennya sendiri. Ruang apartemennya yang nyaman. Yang meskipun kecil, mampu membuat dirinya bernapas lega dan bersyukur karena raganya punya tempat untuk berlindung dan selama beberapa waktu ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri.

UDARA
Pagi itu, Fe membuka mata dengan berbagai perasaan berkecamuk. Ia tahu, ada sesuatu akan terjadi pada hari itu, tapi entah apa. Dan, ketidaktahuan selalu membuatnya tegang. Gadis itu bangkit dari tempat tidur, melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul lima lebih sedikit. Matahari masih pelit memancarkan cahaya. Sesekali hanya terdengar kicau burung bersahutan. Salah satu yang ia sukai tinggal di gedung itu adalah ia tidak perlu mendengar suara derum kendaraan bermotor atau raungan mesin mobil, seperti yang ia dengar di jalan-jalan pusat kota. Orang-orang yang tinggal di sini menyukai ketenangan.

Ia membuka tirai dan daun jendela, membiarkan udara pagi menyusup masuk ke dalam kamarnya. Ia menghirup udara yang masuk, mengisi paru-parunya dengan udara segar, dan sekali lagi bersyukur ia masih boleh menikmati pagi yang baru.

“Selamat pagi, Fe!” sapa Pak Tua Lodo, yang setiap pagi lewat di bawah jendela kamar apartemen Fe.

“Selamat pagi, Pak! Jalan-jalan?” sahut Fe, membalas sapaan Pak Tua itu dengan senyuman. Ia tahu, senyuman dapat memberi banyak arti pada sebagian orang. Fe yakin, hanya dengan sebuah senyum, seseorang dapat mengubah dunia. Dan, kalau itu bisa membuat dunia menjadi lebih baik, kenapa tidak?

Pak Tua Lodo itu mengangguk dan membalas senyum Fe. Fe tidak bisa menerka berapa umur Pak Tua itu. Baginya, Pak Tua Lodo adalah seorang pria dengan sisa-sisa kejantanan masa lalu, yang masih menempel dalam jiwanya, dan juga seseorang yang menyenangkan untuk dikenal.

Kemudian, pria tua itu melambaikan tangan dan melanjutkan aktivitasnya. Hanya ada udara sebagai orang ketiga saat percakapan itu berlangsung. Sekali lagi, Fe menghirup udara sebanyak-banyaknya, seolah-olah hendak membersihkan ruang kotor dalam paru-parunya. Lalu, ia melangkah masuk kamar mandi.

Harinya baru akan mulai.

Fe mempersiapkan paginya dengan cermat. Awal yang baik membuahkan hasil yang baik. Begitulah Fe menghadapi hari-harinya. Lorong yang sama, tetangga-tetangga satu tingkat yang sama, kebiasaan yang sama, dan udara yang sama. 

“Hai, Fe,” sapa Tina, ketika mereka bertemu pagi itu. Dandanannya modis. Fe selalu senang melihat penampilan Tina. Rasanya, baju apa pun selalu pas di tubuhnya. Dan, ia tak pernah kehabisan ide untuk mengubah gaya penampilannya. Dari celana tahun 60-an sampai baju model terbaru. Dari warna pastel sampai warna mencolok. 

“Berangkat pagi?” tanya Fe, sambil memasukkan kuncinya ke dalam tas.

Tina mengangguk. Dari gerak-geriknya, Fe tahu, ia sedang terburu-buru. “Aku berangkat dulu, Fe!” katanya, kemudian setengah berlari menuruni tangga. Baru beberapa detik, tiba-tiba ia mendengar suara gaduh anak tangga.

“Disketku ketinggalan!” teriak Tina, sambil segera memasukkan anak kuncinya dengan gugup, kemudian menghambur masuk ke dalam apartemennya.

Fe hanya mengulum senyum. Sudah paham atas kebiasaan Tina. Sudah tidak heran. Tapi, mungkin, di situlah daya tarik Tina. Entah sudah berapa pria yang ia tolak, sampai ia benar-benar menambatkan hatinya pada seseorang yang ia cintai, yang mampu mengimbangi kecerobohannya.

“Aku duluan!” sekali lagi Tina membuat gaduh. Segaduh dan seceroboh apa pun gadis itu, Fe tidak pernah terganggu oleh sifatnya. Itulah Tina. Dan, tanpa sifat-sifatnya itu, Tina bukanlah Tina yang menarik.

Fe berhenti sejenak di depan pintu apartemen Orien. Teringat kembali pertemuannya kemarin dengan Orien. Wajah Orien yang menunjukkan perasaan terluka. Kata-kata Bu Elly yang mengiris hati. Selama beberapa detik ia merasa harus mengetuk pintu itu pagi ini untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.

Tangan Fe sudah hendak mengetuk pintu apartemen Orien, ketika ia akhirnya mengurungkan niat. Sejak kapan ia punya rasa ingin tahu terhadap seseorang? Ia tidak pernah mau mengganggu privacy seseorang. Tapi, mengapa pagi ini terbersit keinginan untuk mengetahui keadaan Orien?

Fe kembali melangkah. Biarlah. Ia ingin menjalani hari itu seperti biasa. Meskipun, ia masih menyempatkan diri untuk menoleh sekali lagi ke arah pintu apartemen Orien. Dan, ia masih tidak tahu apa sebabnya.


                                                             cerita selanjutnya >>


Penulis: Jessie Monika
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?