Fiction
Air, Udara, Api, Tanah [4]

21 May 2012


Fe menghabiskan jam-jam kantor dengan menulis apa yang muncul dalam benaknya, menerjemahkannya dalam bentuk kerangka, dan mencari-cari berbagai informasi yang ia perlukan. Ia cuma sempat makan hamburger yang dibelikan Sovie. Entah malaikat mana yang merasuki pikiran Sovie sehingga ia membelikan makanan untuk Fe. Airnya mengalir nyaman, hanya sesekali riak-riak kecil datang.


“Fe, ada waktu?” suara Mala mengagetkannya. Fe mengangguk. 

Mala meremas-remas tangannya. “Kau mau menolongku, Fe? Tolong temani aku ke kantor polisi.”

Fe mengerutkan keningnya. “Kau melakukan sesuatu?”

“Tidak!” jawab Mala cepat.

Fe mengembuskan napas lega, lalu mengajak Mala duduk di kursi ruang tamu kantor. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Fe. Ia hanya menunggu. Menunggu cerita Mala. Ia tidak ingin memaksa seseorang untuk bercerita sesuatu jika orang itu tidak menghendakinya. Ia tidak suka memancing-mancing hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu sehingga membuat orang lain tidak nyaman.

Mala mulai bercerita. “Kau tahu adikku, ‘kan? Ade. Bulan ini sudah tiga kali ia dipanggil kepala sekolah karena berkelahi dan merokok.”

Fe mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia paham benar tentang seni mendengarkan. Bertahun-tahun ia belajar mendengarkan orang lain, selain mendengarkan dirinya sendiri. Ia hanya perlu menyediakan telinga dan sedikit waktu untuk sekadar mendengarkan masalah teman-temannya. Kemudian, ia menyimpan cerita mereka rapat-rapat dalam buku kehidupannya karena cerita itu memberi arti tersendiri dalam diri Fe.

“Ia tidak pulang semalaman. Ibu sangat cemas memikirkannya. Kau tahu sendiri betapa sayangnya ibuku pada Ade. Pagi tadi dua polisi datang ke rumah dan melaporkan bahwa adikku ditahan di kantor polisi karena berkelahi sehingga lawannya terkena gegar otak ringan. Aduh, Fe, aku tak menyangka Ade bisa melakukan itu. Ibu langsung pingsan dan aku tak mungkin membawanya ke kantor polisi. Aku….”

“Kau ingin aku menemanimu?” tanya Fe, hati-hati.

Mala mengangguk. Fe tersenyum. Senyum yang memberikan kehangatan tersendiri dalam hati Mala. Membuatnya lega dan menyadari bahwa dia tidak sendirian.

Bagi Fe, kantor polisi hanya tempat persinggahan orang-orang, yang menurut hukum telah melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat dan hukum itu sendiri. Tempat persinggahan sementara, untuk menunggu apakah ia akan dikembalikan ke tengah masyarakat atau dilempar ke tempat yang bisa merenggut kebebasannya. 

Saat mereka tiba di kantor polisi, tidak ada kegaduhan atau kesibukan seperti layaknya kantor polisi. Beberapa petugas polisi terlihat menonton televisi yang menayangkan acara kuis dan seorang polisi mengisi TTS di mejanya. Mungkin, karena magrib menjelang, kantor itu jadi sepi.

Untung saja, seorang polisi membantunya dengan senang hati. Ia cukup mengenal Ade, yang sering terlibat dengan perkelahian di sekolah atau antargeng di luar sekolah. Karena mendapat perlakuan ramah, pikiran jelek yang hinggap dalam otak Mala tentang kantor polisi seperti terbang ditiup angin.

Hari itu belum berakhir. Fe masih mengalir seperti air. Ia sadar ia sudah membuat keputusan tepat dengan menemani Mala ke kantor polisi. Kadang-kadang, kehadiran terasa lebih manis dibandingkan segala macam nasihat. Fe hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan.

Baru beberapa menit berlalu, serombongan orang menyeruak ketenangan dalam kantor polisi itu. Mereka membawa seorang anak laki-laki, yang wajahnya sudah memar, berdarah.

“Ada apa ini?” seorang petugas polisi menghampiri orang-orang itu.

“Anak ini mencuri, Pak! Ketahuan mencuri ayamnya Pak RT!” sahut seorang bapak berkumis. “Anak ndak tahu diuntung! Pak RT itu sudah baik sama ibunya!”

“Ampun, Pak.” Anak laki-laki kurus itu terlihat tak berdaya. Wajah tirusnya memperlihatkan ketakutan yang amat sangat. Fe yakin, dia baru pertama kali datang ke kantor polisi dengan tuduhan pencurian. Fe juga yakin, dia sudah mendapat hukumannya sebelum dibawa ke kantor polisi.

Fe mendesah melihat orang-orang yang begitu bernafsu menghukum anak laki-laki itu. Di luar sana, ada banyak orang yang mencuri dan merampok sejumlah besar uang. Mencuri waktu di sela-sela pekerjaan untuk memberi keuntungan untuk diri sendiri, tanpa memikirkan nasib orang lain. Pencuri-pencuri dengan label nama dan jabatan terhormat, tapi sesungguhnya memiliki nurani membusuk, usang, dan keropos dimakan keserakahan.

Hati Fe seperti disayat tatkala melihat wajah anak laki-laki itu ditampar oleh seorang bapak. Dan, petugas polisi itu membiarkannya, seolah-olah anak itu bukan manusia. Anak laki-laki ini mungkin ketahuan mencuri ayam. Mencuri ayam! Fe yakin, penyesalan anak laki-laki ini jauh lebih dalam ketimbang orang-orang di luar sana, yang menebarkan janji manis. Mereka mencuri hati masyarakat dan menelantarkannya begitu saja, setelah tidak diperlukan. 

“Fe? Kita pulang, Fe.”

“Bagaimana dengan adikmu?”

Mala menggeleng. “Ade harus menginap di kantor polisi. Tiga hari. Untung saja orang tua anak yang gegar otak itu mencabut tuntutan mereka, dengan syarat Ade tidak boleh dekat-dekat lagi dengan anak itu. Aku harus memberi tahu Ibu.”

“Perlu kutemani?” tanya Fe.

Sekali lagi Mala menggeleng. “Terima kasih, Fe. Aku sudah cukup merepotkan. Aku tidak mau mengganggumu lagi.”

Saat mereka melangkah keluar dari kantor polisi malam itu, sekali lagi Fe menoleh, mencoba mencari anak laki-laki tadi. Tapi, Fe tidak melihatnya. Matanya sampai pedas mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kantor itu.

“Semoga kau baik-baik saja, siapa pun kamu,” gumam Fe.


                                                              cerita selanjutnya >>


Penulis: Jessie Monika
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?