Fiction
Air, Udara, Api, Tanah [10]

21 May 2012


“Cinta yang sempat tumbuh di hatiku untukmu sudah cukup memberikan warna dalam hidupku.”


Cintaku tidak pernah berakhir, Ton. Karena cinta tidak memiliki akhir. Karena, cinta hanya bisa melalui proses metamorfosis menjadi sesuatu yang lebih indah, seperti kepompong jelek yang melahirkan kupu-kupu yang cantik. 
Warna langit yang menua menyadarkan mereka untuk pulang sebelum senja menapakkan kakinya di tanah.

Seorang pria menunggu di depan pintu apartemennya. Ia duduk tepekur, seolah-olah menikmati kesendiriannya.

“Ada perlu apa?” nada suara Fe terdengar kering. Sekering tanah yang tak pernah dilewati air. Mereka seperti dua orang asing yang baru bertemu. Bukannya dua manusia yang pernah menghabiskan malam dengan api gairah yang memabukkan.

“Apa yang ingin kaukatakan?” tanya Fe.

“Izinkan aku bertemu orang tuamu, Fe.”

Fe membelalakkan matanya. “Untuk apa?”

“Aku ingin melamarmu.”

“Atas dasar apa kau melamarku? Kau, toh, tidak mencintaiku?”

“Aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu ketika kita bergenggaman tangan untuk yang pertama kalinya.”

“Bukan. Kau melamarku karena kau sudah memiliki tubuhku. Kau takut aku hamil. Benar, ’kan? Nah, aku tidak hamil. Habis perkara. Kalaupun aku hamil, aku tidak akan meminta pertanggungjawabanmu kalau begitu.”

“Tidak mungkin. Aku ingin kau melahirkan anak-anakku.”

Pagi itu, Fe merasa, ada sesuatu yang akan menghambat aliran airnya. Riaknya cukup besar untuk sejenak menghentikan aliran air itu. Ketika ia keluar dari kamar apartemennya, seluruh penghuni apartemen berkumpul.

Tina menghambur ke arah Fe. “Mengerikan, Fe!” katanya.

“Ada apa? Ada sesuatu terjadi di apartemen Orien?”

“Sejak kemarin sore Orien tidak keluar kamar. Ketika Pak Suwa menggedor-gedor pintu apartemennya tadi pagi, karena ada paket untuknya, ia tidak muncul-muncul!”

Sebersit perasaan tak enak kembali mengusik. Bayangan mimpi itu datang sekelebat. 

“Saya tadi panggil polisi. Takut ada apa-apa,” kata Pak Suwa.

Ketika polisi datang beberapa menit kemudian, Pak Suwa sudah berhasil mencongkel pintu apartemen itu. Keadaan ruangan apartemen Orien masih sama dengan waktu Fe berkunjung dulu. Bu Elly mengernyit jijik melihat sisa-sisa makanan yang belum sempat terbuang. Mrs. Warren menyingkirkan kaus-kaus yang berserakan di lantai. Tina menyembunyikan baju-baju dalam Orien yang terserak di bawah sofa, sebelum mata Pak Suwa terpesona melihatnya.

Fe mengetuk pintu kamar Orien. Tak ada jawaban.

Pemandangan di depannya terlihat begitu mengerikan. Sama persis seperti mimpi yang sempat menghantuinya malam itu. Tubuh Orien terbujur kaku melintang di atas tempat tidur. Darah berceceran di sekitar tubuhnya.

Hasil autopsi beberapa hari sesudahnya menunjukkan bahwa gadis itu dianiaya, sehingga mengalami perdarahan yang hebat pada alat kelaminnya dan tidak segera ditolong. Tak seorang pun menyangkal kenyataan itu. Yang mereka tidak tahu adalah surat yang ditinggalkan Orien untuk Fe.

Lewat surat singkat itu, Orien menceritakan tentang seorang pria yang tak pernah mencintainya, tapi selalu mendambakan tubuhnya. Seorang pria yang karena tidak bisa mendapatkan keinginannya, akhirnya membunuh Orien. Satu keinginan Orien, yaitu membawa pria itu ke polisi.

Bagaikan disambar petir, surat itu melayang jatuh ke tanah. Dekat pusara Orien. Tony. Tony Ariesta. Nama yang terukir indah di dinding hatinya. Yang ia simpan rapi dengan label ‘cinta pertama’ dalam kotak kenangan.

Angin membawa surat itu melayang. Dengan segera Fe lari mengejarnya. Di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang melayat, surat itu melayang di bawah kaki seseorang. Pria. Ia memungutnya. Tony! Segera ia menyambar surat itu.

Napas Fe memburu melihat Tony berdiri di hadapannya. 

“Mengapa kau ada di sini?”

Tony terlihat salah tingkah. “Ia kenalanku.” Ia membetulkan letak kacamatanya. Gugup. 

Fe menatap pusara di hadapannya dengan pedih. Ia berjongkok dan meremas tanah yang masih basah itu. Di dalamnya tergolek tubuh wanita yang belum sempat menyesap manisnya kehidupan di dunia. Belum sempat meninggalkan jejak-jejak sejarah. Hanya karena korban keganasan pria.

Pandangannya tertumbuk pada pria yang duduk di bawah pohon dengan wajah tertutup topi, tak acuh pada keadaan sekitar. Setengah berlari, ia menghampiri pria itu.

“Bas!” Fe menarik tangannya. “Aku butuh bantuanmu!”

Dengan bantuan Mrs. Warren, dan surat yang ditinggalkan Orien, polisi berhasil menjebak Tony untuk mengakui perbuatannya. Tony dibuat mabuk dan mengakui semua yang sudah dilakukannya. Ia tidak kelihatan menyesal.

Fe menahan tangis. Sebastian memeluk bahunya. Suatu guncangan yang berat ketika melihat sahabatnya masuk ke suatu tempat yang akan mencengkeram sayapnya kuat-kuat.

Ketika Fe berada di pusara Orien, tetesan air matanya membasahi tanah. Fe memutuskan, tanah di hadapannya ini benar-benar tanah dengan seonggok kenangan yang tersisa. Ia lebih suka mengubur mereka yang pergi di relung hatinya karena mereka akan terus ada di sana, utuh dan tak berubah.

Manusia berasal dari tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Tanah yang melahirkan benih kehidupan, menumbuhkan, meraciknya kembali menjadi tanah. Siklus kehidupan yang tak pernah berhenti sampai dunia kiamat nanti.

Bulan kedua setelah kematian Orien, ia merasakan perubahan dalam tubuhnya. Naluri kewanitaannya mengatakan, ada kehidupan lain yang sedang ditenun dalam tubuhnya. Ia ke dokter. Positif. Sudah enam minggu. Ia tahu siapa ayah bayi ini, tapi ia menyimpan semuanya sendiri.

Tak ada sepetik pikiran muncul untuk menggugurkan bayi itu. Ia tidak mau dosa yang sudah ia perbuat ditutup dengan dosa lain. Lagi pula, ia telanjur cinta pada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Hanya kepada Bu Nana ia menceritakan semuanya. Bu Nana memberikan izin cuti sampai ia melahirkan dan kembali bekerja setelah bayinya lahir.

“Kau tak ingin memberi tahu Sebastian?” tanya Bu Nana.

Fe menggeleng. “Saya sudah memutuskan. Saya ingin merawat anak ini sendiri. Saya akan membesarkannya dengan cinta.”

“Orang tuamu?”

“Saya akan memberi tahu mereka setelah bayi ini lahir, Bu. Sebelum mereka menyuruh saya membunuhnya.”

Fe tersenyum. Bu Nana menghela napas. “Aku akan menugaskan Sebastian ke kantor majalah kolegaku di kota lain supaya ia tidak perlu tahu akan kehamilanmu.”

Malam itu adalah malam terakhir Sebastian di kota tempat tinggal Fe. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya tentang bayi mereka yang kini terlindung nyaman dalam perut Fe.

“Fe, maukah kau menikah denganku?

Fe menghela napas. Membiarkan keheningan merayap. Ia tak menyangka bahwa waktu bisa mengubah perasaan seseorang. Apa yang ia rasakan saat ini terhadap pria di hadapannya itu benar-benar cinta. Perasaan ini sangat kuat. 

Fe menggeleng. “Tidak ada yang terjadi, ’kan? Pergilah.”

Dan, Fe cuma bisa menahan tangis saat bibir pria itu mendarat di keningnya dengan lembut.

Sembilan bulan hampir berlalu. Perutnya yang menggelembung tidak memudarkan kecantikan Fe. Wajahnya bercahaya. Jauh dalam hatinya, ia yakin bayinya perempuan. Karena itu, ia menyiapkan boks untuk bayi perempuan. Membeli baju-baju bayi perempuan. Segala peralatan ia beli dengan warna yang sama. Warna feminin. Merah muda. 

Fe masih mengalir seperti air. Dan, masih merasakan udara di sekitarnya. Dan, semangat untuk melahirkan bayi masih terasa panas, bagaikan api dalam dirinya. Sebentar lagi bumi akan melahirkan sebuah kehidupan lagi.

Sore itu ia merasakan kontraksi pertama. Ia duduk dan mengambil napas selama beberapa menit. Ia sedang membenahi tempat tidurnya ketika kontraksi kedua terjadi. Pinggulnya terasa sakit dan perutnya seperti diaduk-aduk. Ketika air ketubannya pecah, ia segera menekan nomor telepon Mrs. Warren, yang segera membawanya ke rumah sakit.

Napas Fe tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya basah karena keringat. Ia bahkan tak sadar sudah sampai di ruangan bersalin. Ia merintih. Berusaha mengambil sisa-sisa udara yang tersedia. Airnya bergejolak hebat. Api makin berkobar. Fe menjerit.

Fe terus menjerit, menahan rasa sakit yang tak terperi. Sampai pria itu masuk. Awalnya, ia tidak dapat melihat dengan jelas siapa yang datang. Wajahnya buram tertutup air mata karena merasakan rasa sakit yang tak tertahankan. Tapi, kata hatinya membisikkan sebuah nama.

Pria itu menggenggam tangannya. Fe tersenyum, lalu mengerahkan seluruh tenaganya. Ia ingin anaknya melihat keindahan dunia dan menyesap manisnya hidup. Suara tangisan keras membuatnya merasa sebagai wanita sempurna. Ia tidak kuat. Hanya menunggu waktu. Waktunya tak banyak.

“Anak kita perempuan, Fe!” kata Sebastian, dengan gembira.

“Aku ingin melihatnya, Bas. Anakku.”

“Anak kita.” Sebastian memperlihatkan bayi merah itu.

Fe merintih. Sekelumit perasaan tak enak muncul di hati Sebastian. Ia menyerahkan bayinya untuk diurus perawat.
“Bas, jaga dia baik-baik, ya. Aku sudah tak kuat. Bas, beri nama Orien untuk anak kita.”

“Tidak. Kau tidak boleh meninggalkan aku.”

Air mata Sebastian meleleh. Ia mengecup tangan Fe lama. Ia sadar tidak punya banyak waktu.

“Fe, aku merindukanmu, Sayang.”

Fe tersenyum. Senyum yang selalu menggetarkan kalbu Sebastian. Kemudian, ia kembali merintih.

“Cium aku, dengan ciuman yang membuat aku mabuk.”

Sebastian menundukkan kepalanya meletakkan bibirnya di atas bibir Fe dan mengusapnya perlahan.
Dan, manusia yang terbuat dari debu. Berasal dari tanah. Dilahirkan oleh tanah. Dibesarkan di atas tanah. Akan kembali pula menjadi menjadi tanah. Membiarkan siklus kehidupan terus berputar, berputar, dan berputar, bersama tiga elemen lain. Air, udara, api, dan tanah. Tamat


Penulis: Jessie Monika 
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?