<<< Cerita Sebelumnya
“Sebenarnya aku juga tidak tahu pasti, karena tiap kali diajak konseling Adam selalu diam. Kalaupun bicara, dia sering tidak terarah pada pertanyaan yang diajukan. Baru kali ini aku mendapat cukup banyak informasi darimu, dan itu sangat membantu. Aku menduga kalau Adam mengalami dualisme. Di satu sisi ia begitu menyayangi ibunya yang cantik, mendambakan kasih dan belaian yang sedari kecil belum pernah ia dapatkan, dan berharap ibunya mau memaafkan dan menerima kehadirannya. Di satu sisi yang lain, ia membenci ibunya amat sangat, karena sudah mencampakkan, menolak, dan berkhianat pada keluarga. Melihat sendiri adegan penyelewengan ibunya, sangat membuat Adam terguncang. Walaupun neneknya bercerita tidak ada keganjilan pada Adam, guncangan itu pasti ada,” tutur Rena sambil memandangku lekat.
“Tentang pemukulan Sally itu, bagaimana?” tanyaku lagi.
“Kalau aku tidak salah tangkap mendengar ceritamu, sepertinya Adam itu sedang memasuki usia puber. Jangan lupa, dia sudah 13 tahun, dan mulai menyenangi lawan jenis. Kali ini gadis pilihannya jatuh pada Sally. Di benaknya, Sally yang cantik itu mirip dengan sang ibu. Ia ingin bisa lebih dekat dengan Sally, sama seperti ia ingin lebih dekat dengan ibunya sendiri. Karena itu bisa dimaklumi kalau ia sangat marah melihat gadis pujaannya dekat dengan lelaki lain, di depan matanya. Bayangan penyelewengan ibunya lima tahun yang lalu, begitu kuat mencengkeram sehingga ia sukar membedakan apa, siapa, dan kenapa. Secara refleks Adam bertindak, dan memukul Sally. Bentuk pelampiasan kemarahannya pada sang ibu ditujukan pada gadis itu, tapi itu tidak berani ia lakukan pada ibunya sendiri.”
“Jadi sebetulnya, dia itu cinta sekaligus benci pada ibunya?”
Rena mengangguk,”Kurang lebih begitu.”
“Aneh.”
“Hubungan Adam dengan orang rumah lainnya, bagaimana?” tanya Rena.
“Ayahnya? Tahu sendirilah. Tipe ayah yang tidak mau tahu perkembangan anaknya, sibuk cari uang dari pagi sampai malam. Tidak heran kalau Adam sangat kacau dalam pelajaran. Di rumahnya tidak ada yang menolong dia belajar. Neneknya sama juga. Kasar, pemarah, dan juga tidak bisa mengawasi cucu-cucunya setiap hari. Paling dia hanya mampir untuk memasak makanan, selebihnya urusan pembantu.”
“Produk keluarga masa kini,” cetus Rena lalu kembali menyendok makaroni di piring. “Tambah lagi, nih! Masih banyak di dapur,” katanya. Hm…tawaran yang sulit ditolak. Aku beringsut maju dan mengambil lagi sepotong.
“Pulang dari sini, siap-siap jalan kaki untuk membakar kalori dari makaroni yang kau makan,” seloroh Rena yang tahu aku paling ribut kalau perutku maju.
“Kemarin waktu aku tanya, apa yang dia sukai di sekolah ini jawabnya karena dia suka dengan teman-teman. Kalau memang dia suka, kenapa dia selalu cari ribut, ya? Itu kan malah bikin semua orang sebal sama dia.”
“Mungkin karena dia ingin cari perhatian. Dia ingin punya banyak teman, tapi tidak tahu caranya. Jadi dipakailah cara-cara yang konyol seperti itu, membuat sesuatu yang dia pikir sangat lucu, tapi buat orang lain sangat menjengkelkan.”
“Adam itu idiot ya, Ren?”
“Bukan idiot, tapi kurang cerdas. Kalau anak biasa sanggup mengerjakan soal 5 menit, dia harus diberi waktu beberapa kali lipat.”
“Soal bicara dan gaya jalannya yang seperti bencong itu….”
“Perlu lebih banyak observasi lagi,” tukas Rena lalu menoleh ke dinding.
“Mau pergi, ya?”
“Ada janji makan siang dengan teman,” Rena meraih sisir dan menyikat rambut panjangnya.
“Wah, kemajuan sekarang. Biasanya kalau hari Minggu begini, acaramu cuma baca buku dan memasak,” usikku sambil turun dari ranjang.
“Jangan cerewet! Bawa pulang semua, tuh, makaroninya!”
“Ren, aku minta tolong sekali lagi.”
“Apaan?”
“Soal keluarnya Adam dari sekolah. Rapat guru Senin besok akan memutuskannya.”
“Terus?” Rena asyik mematut diri di depan cermin.
“Biasanya Pak Suryo paling suka mendengar saranmu. Bisakah kau memintanya untuk….ehm, maksudku begini. Terus terang, aku tidak tega melihat Adam dikeluarkan dari sekolah untuk yang kesekian kalinya. Aku melihat kegembiraan yang besar waktu aku membohonginya kemarin.”
Alis Rena terangkat,”Maksudmu?”
“Aku belum menyerahkan surat dari Pak Suryo kemarin. Di rumahnya tidak ada siapa-siapa, masa aku harus menyerahkan surat sepenting itu pada neneknya yang tidak simpatik? Mestinya kau lihat sikap Adam kemarin, Ren. Dia begitu gembira waktu aku meyakinkan bahwa dia tidak dikeluarkan. Dia melompat, dia memegang tanganku, dia berlari dan berteriak! Begitu gembiranya. Aku tahu bahwa sekolah mempunyai nilai yang besar untuk Adam, dia senang tetap sekolah lagi. Dan aku pikir, kau dan aku bisa membuat keinginannya itu tercapai. Kau tadi bilang kalau jiwanya terguncang, dan aku yakin soal tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah itu juga punya andil besar bagi keguncangan jiwanya. Apakah sekarang kita harus menambah lagi luka batinnya, Ren, setelah semua kepahitan yang dia alami? Apakah kita tega mengambil harapannya yang cuma sedikit itu, dan melihatnya kembali terpuruk?”
“Apa yang bisa kita lakukan, Agnes sayang? Bukan aku yang jadi penentu. Aku tahu dedikasimu, keloyalanmu, perhatianmu untuk murid, tapi… aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sorry,” Rena mendekatiku dan mengusap bahuku perlahan.
“Sebelum rapat Senin nanti, kita bisa menghadap Pak Suryo dan menceritakan apa yang kita tahu. Kau harus membantu Adam, Rena! Cuma omonganmu sebagai konselor sekolah yang mau didengar Pak Suryo. Setelah itu, kita minta supaya Adam diberi waktu beberapa bulan agar kita bisa mendekatinya. Syukur kalau kita bisa menolongnya agar kelakuannya berubah. Dia butuh pertolongan, Rena, itu yang dia butuhkan! Bukan surat pemecatan sekolah!”
“Aku tidak tahu apakah….”
“Ayolah, Ren! Kamu tahu bagaimana rusaknya kondisi Adam, kau lebih tahu dari aku. Apakah kau bisa menyaksikan orang yang sudah jatuh tertimpa tangga pula? Keluar dari lubang singa masuk ke mulut harimau? Cuma itu yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan Adam di sekolah kita, Ren!”
Rena terdiam lalu meghela napas. “Kenapa sih kamu ngotot betul? Kenapa dia jadi begitu istimewa buatmu?”
Aku mengambil tas sambil menggelengkan kepala, aku juga tidak tahu kenapa. Mungkin mimpi beberapa malam kemarin sangat membekas dan mempengaruhi penilaianku pada Adam. Lalu kuceritakan sekilas tentang mimpi itu.
“Bukan aku menjadikannya istimewa. Pertama kali aku juga bersikap seperti kebanyakan guru lain, jengkel dan muak. Tapi lalu aku sadar, itulah alasan kenapa aku ingin menjadi guru. Untuk menunjukkan kepada murid-muridku hal yang benar dan tidak, bukan cuma ilmu hitung atau baca tulis agar mereka jadi sarjana. Juga untuk memberikan bekal supaya mereka punya nilai lebih di masa depan. Bisakah kau bayangkan, nilai lebih apa yang bisa Adam raih kalau setiap kali ia harus dibuang oleh sekolah yang berlainan, karena orang beranggapan dia adalah sampah. Bagaimana dengan masa depannya, yang tanpa ia sendiri minta sudah terluka karena kondisi keluarganya? Alangkah berdosanya kita Rena, yang tahu sesuatu tapi tidak melakukan apa-apa untuk membantunya….” aku menatap Rena yang berdiri mematung.
“Kau memang guru yang baik, aku akui itu. Oke, temui aku di ruang konseling Senin nanti sebelum rapat mulai. Aku akan menemanimu menghadap Pak Suryo. Oke Nona manis, puas? Sekarang kau bisa membiarkan aku dandan dengan tenang, ‘kan?”
“Thanks, Ren! Kamu memang bisa diandalkan!”
Dengan mengerahkan segenap kosakata yang dimilikinya, Rena membantuku berusaha meyakinkan Pak Suryo tentang kondisi Adam. Senin pagi itu, sekolah diliburkan karena ada rapat guru. Selain membahas materi kurikulum baru, salah satu agenda pentingnya adalah membicarakan tentang keputusan apakah Adam tetap berstatus sebagai murid SD Karunia atau tidak.
Pak Suryo mendengarkan dengan tenang, sambil sesekali menyeling dengan pertanyaan. Raut mukanya tak bisa kubaca.
“Jadi yang kalian usulkan adalah....”
“Sekolah memberikan kesempatan beberapa waktu lagi kepada Adam untuk memperbaiki diri, mungkin dengan beberapa pendekatan kita bisa membantunya bersikap lebih baik,” aku langsung menyambar.
“Berapa lama? Kalian sendiri tadi mengatakan kalau luka kejiwaan yang dialaminya mungkin sudah mengendap bertahun-tahun dan cukup berat, dan tidak cukup waktu sebulan dua bulan untuk memulihkannya. Dan selama waktu itu pula, Adam tidak bisa diharapkan 100% tidak membuat keributan seperti yang sudah-sudah. Apakah kalian sudah siap dengan konsekuensinya? Berarti masalah akan terus timbul, ‘kan? Bagaimana dengan murid-murid Anda, Bu Agnes? Mereka pasti terganggu dan akan telantar karena Anda harus bolak-balik mengurusi Adam. Bagaimana dengan guru-guru yang lain? Mereka juga membutuhkan suasana yang tenang untuk mengajar. Lagi pula kalau memang sudah kalian analisis masalahnya, tinggal beri tahu saja orang tuanya untuk membawa Adam periksa ke psikolog atau apalah itu. Bukan kita yang harus repot-repot, ‘kan?”
Aku dan Rena saling berpandangan, lalu aku berujar pelan, “Tapi di sekolah, Adam milik kita, Pak. Kita yang harus merawat dan membesarkannya sebagai anak. Ehm, saya rasa, kita harus berani mencobanya, berani memberinya kesempatan. Anak itu sekarang butuh dorongan dan kepercayaan, bukan penghakiman seperti yang sudah diterimanya selama ini. Dan usaha untuk membantunya membutuhkan kerja sama di antara kita, karena ia murid yang dititipkan kepada kita, Pak.”
Pak Suryo membutuhkan waktu beberapa menit untuk mencerna tawaran kami, lalu katanya, ”Tiga bulan saya pikir cukup sebagai bentuk toleransi sekolah. Setelah itu, saya akan mengevaluasinya berdasarkan laporan Anda sebagai guru kelasnya.”
Tak ada kegembiraan yang melebihi rasa gembiraku saat ini. Tanpa sadar aku berdiri lalu menyalami tangan Pak Suryo sampai berguncang-guncang sebagai tanda terima kasih. Akhirnya aku bisa memberitakan kabar baik itu kepada Adam hari ini.
Sepulang sekolah, kuhampiri Adam yang sedang menunggu di pelataran parkir.
“Hei Adam, tunggu dijemput, ya?” sapaku.
Adam tampak terkejut, kepalanya sedikit mengangguk.
“Hari ini kamu pendiam sekali di kelas, kenapa? Sedang tidak enak badan?”
Adam hanya diam. Beberapa pertanyaan basa-basi kuajukan lagi, tapi jawabannya juga anggukan atau gelengan saja.
“Es krim yang kemarin itu enak sekali, ya? Ibu jadi kepingin lagi.”
“Memang enak, Bu. Makanya Ibu Agnes main lagi saja ke rumah Adam,” katanya dengan mimik berharap. Nah, ini dia, jawaban panjang yang akhirnya keluar juga dari mulutnya.
“Memang Ibu boleh sering-sering main?” tanyaku balik, sambil menawarkan cokelat. Diambilnya sepotong.
“Boleh, dong! Nanti kita makan es krim lagi, sekarang es krim rasa vanilla, Bu! Kan kemarin es krim cokelat. Kapan Bu, nanti sore, ya? Nanti Adam kenalin sama Hans, adik Adam yang masih TK.”
Aku tersenyum lalu menjabat tangannya tanda setuju. Adam melambaikan tangannya dengan bersemangat, lalu berseru sambil naik ke mobil, ”Betul ya, nanti sore!”
Aku harus mulai belajar mendekatkan diri dengan Adam, keputusan yang kuambil setelah mengonsultasikan masalah ini lebih lanjut dengan Pak Suryo dan Rena. Di luar dugaanku, Pak Suryo cukup tanggap dan mendorongku untuk lebih aktif masuk dalam kehidupan Adam. “Dia sudah percaya kepada Ibu Agnes. Satu hal yang tidak bisa dia lakukan pada orang lain,” kata Pak Suryo tadi.
Yang kupikirkan, bagaimana aku menolongnya supaya beban jiwanya bisa diperingan. Aku bukan orang yang paham tentang ilmu jiwa, tapi menganjurkan ayah Adam untuk membawa anaknya berkonsultasi dengan psikolog tentu merupakan hal yang memalukan bagi keluarga itu. Maaf Pak Anton, sebaiknya Adam diperiksa oleh psikolog karena gangguan jiwa yang dideritanya. Sebuah pukulan telak. Jadi sementara ini satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah dengan mengambil posisi menjadi sahabat Adam yang bisa dipercaya. Rena juga sudah menjadwalkan pertemuan rutin dengan Adam dua kali seminggu, khusus untuk memantau perkembangannya.
Bulan-bulan berikutnya, ia sudah bisa lebih terbuka padaku. Mulai banyak bercerita tentang pelajaran, makanan kegemaran, adik Hans, atau hobinya bermain komputer. Tapi tak ada satu pun cerita tentang mama dan papanya. Kelakuannya agak berubah dan lebih bisa dikendalikan, walaupun begitu sebagian besar teman sekelasnya masih enggan untuk mendekat. Memang ia masih sering berbuat jail, tapi kadarnya sudah tidak separah dulu. Keluhan dari guru lain juga mulai berkurang.
Tak terasa waktu tiga bulan yang diberikan Pak Suryo sudah lewat beberapa hari. Ketika aku dan Rena melaporkan evaluasi terakhir kami, beliau tersenyum. “Usaha keras kalian membuahkan hasil. Sudah lama ia tidak membuat keributan lagi, kan?”
Suatu sore ketika kami sedang duduk di taman dekat rumah Adam, ia bertanya,”Ibu Agnes, kenapa Ibu mau jadi teman Adam? Padahal, di kelas Adam tidak punya teman, tidak ada yang mau ngomong sama Adam. Kenapa, Bu?”
Aku terpana, sama sekali tidak siap dengan pertanyaan itu dan lebih tidak siap lagi untuk memberikan jawabannya.
Penulis: Ruddy Raharjo