Fiction
1001 Hari di Hong Kong [8]

25 May 2012

<< cerita sebelumnya

Tina Ng, Febuari 2006, Cep Lap Kok
Banyak yang terjadi di dalam hari-hariku selama di Hong Kong. Hari-hari penuh mimpi, penuh harapan, penuh kepenatan. Sulit kupercaya, tapi nyata.

Ini sungguh mimpi di atas mimpi!

Bulan Maret tahun lalu, Yau Man menikah dengan Wenny Yeung.

Wenny Yeung tampak anggun dengan gaun pengantin ala Eropa berwarna gading dan shanghai dress berwarna merah. Kulitnya makin tampak putih dengan rona kemerahan yang alami di pipinya. Mata sipitnya seakan dipenuhi bintang. Cantik sekali. Semua media dan televisi meliput pernikahan model terkenal Hong Kong itu.
Mereka benar-benar pasangan yang serasi!

Aku masih tinggal bersama mereka, ketika Wenny Yeung melahirkan bayi laki-laki yang montok. Rumah menjadi meriah karena tangis bayi. Bobo Ng gembira sekali. Ia kerap menyuruhku meletakkan cucu laki-lakinya di pangkuannya, lalu kembali berujar “uh… uh…”. Tapi, sudah tentu, arti “uh… uh…” itu sungguh berbeda. Tidak lagi bernada tinggi, tapi diiringi senyum lebar. Jika cucu laki-lakinya itu ngompol di pangkuannya, seluruh pakaian Bobo Ng akan basah. Sehingga, tugasku akan menjadi lebih banyak. Bukan saja mengganti celana Vincent Ng, tetapi juga pakaian Bobo. Tapi, sungguh, aku melakukannya dengan suka hati. Sama sekali tidak merasa sebagai beban, karena aku merasakan kebahagiaan yang sama seperti anggota keluarga lain.

Yau Man memberikan kebebasan ruang gerak yang cukup luas untukku, sehingga aku banyak mengisinya dengan berorganisasi di banyak kegiatan. Ada kegiatan seni dan teater, sampai aku aktif di LSM di Hong Kong.

Terakhir, Yau Man merekomendasikan aku pada seorang pemilik tabloid yang beredar di Hong Kong. Aku diterima bekerja sebagai korespondennya untuk wilayah Hong Kong. Yang lebih istimewa, aku dianggap keluarga sehingga diberi marga Ng. Sehingga sekarang namaku lebih dikenal sebagai Tina Ng.

Sebelum mulai bekerja di sana, aku menyempatkan diri untuk pulang ke Wonosobo, melihat impianku. Kudengar dari Ibu, banyak yang berubah di rumah. Impianku bukan sekadar mimpi.

Sewaktu aku pamit pulang, Yau Man dan Wenny Yeung menitipkan sebuah tas tangan yang sangat cantik untuk ibuku. Baby Vincent Ng menjerit-jerit riuh, bersaing dengan suara burung-burung di sangkar, seakan tahu bahwa aku akan meninggalkan mereka. Aku tidak bisa menahan titik air mataku, ketika Bobo memelukku dengan tangan kirinya, seraya berkata “uh… uh…” seperti biasa.

Entah apa yang dikatakannya. Tapi, seperti biasa, aku selalu menyahuti “uh… uh…” itu.

“To che (terima kasih banyak), Bobo.” Entah berterima kasih untuk apa. Yang pasti, untuk semua hari yang kulalui bersamanya dan bersama mimpi-mimpiku selama di Hongkong.

Aku bukan sekadar mengisi hari-hariku dengan mimpi, membelikan Ibu sebuah sepeda motor, supaya tidak lelah berjalan menuruni jalanan terjal berbatu di desa, atau membangun sebuah rumah dengan genteng untuk mengganti atap rumbiaku, atau bahkan berpanas-panas di depan oven batu Pak Min untuk mengangkat loyang pipih berisi kue kering.

Karena, sesampainya di rumah, aku sudah mendapati istana rumbiaku sudah menjadi rumah permanen yang hangat untuk Ibu dan adik-adikku. Tidak ada lagi angin dingin yang menyelip di sela-sela ketiak dinding bambu. Walaupun tidak semegah rumah-rumah konglomerat atau pejabat di kota-kota besar, rumahku sungguh-sungguh terlihat seperti istana. Ibu sudah punya sepeda motor. Adik laki-lakiku sekarang setiap hari mangkal di depan jalan raya untuk menarik ojek dengan sepeda motor itu. Setiap hari dapur kami hangat. Bukan saja karena selalu mengepul nasi, yang baru ditanak dari rice cooker yang kubeli di pasar Wonosobo, melainkan karena Ibu selalu gembira memasak di dapur yang penuh seperangkat alat dapur modern. Bukan itu saja. Ibu juga membangun sebuah bilik kecil di depan rumah, yang dipergunakan untuk wartel bagi seluruh penduduk desa. Sekarang, ibu sudah tidak usah bingung memikirkan uang sekolah adik-adikku.

Satu bulan penuh aku di desa. Terakhir, aku sempat bertemu Mas Wawan. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya. Sekarang, ia mengelola kolam pembibitan lele dumbo milik ayahnya. Kulihat, petak-petak kolamnya makin banyak. Ia mengajakku jalan-jalan ke alun-alun Wonosobo. Kami duduk memandang lapangan luas, sambil bercerita banyak tentang rencana masa depan.

“Nduk…, di desa saja, ya. Ndak usah kembali ke Hong Kong,” katanya.

“Bulan depan aku sudah diterima bekerja di sebuah tabloid di Hong Kong. Aku juga aktif di berbagai organisasi di sana, yang menyangkut kesenian dan pekerja Indonesia. Kalau sekarang aku harus di desa, apa yang harus kukerjakan?” Aku ingat, itu kebalikan dari pertanyaanku dulu, ketika Bulik Katmi mengajakku ke Hong Kong, “Apa yang bisa kukerjakan di Hong Kong?”

“Nduk… kita bisa mengelola kolam pembibitan lele dumbo bersama. Aku kepingin mengelolanya bersamamu sampai tua.”

Aku terperangah. Aku tidak terlalu bodoh untuk mengerti ungkapan perasaan seperti itu.

“Mas… bukankah Bulik Katmi….”

“Nduk… sejak dulu aku suka padamu. Tapi, susah sekali bisa bicara denganmu. Kamu selalu sibuk bekerja. Aku dekat dengan Katmi, justru ingin mendekatimu. Tapi, kamu sudah keburu berangkat ke Hong Kong.”

Dadaku terasa sesak mendadak. Ini tidak sama dengan sesak yang kurasakan ketika Bobo mendelik dan ‘mengomel’ panjang lebar.

“Sekarang, kamu sudah pulang. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku tidak mau kehilangan kamu lagi, Nduk….”

Sekarang, dadaku membuncah. Buncahan yang lebih hebat daripada ketika Yau Man memberi kabar bahwa aku diterima bekerja sebagai koresponden di tabloid itu.

“Aku ingin kamu memikirkannya, Nduk….”

Kalau akhirnya aku bertunangan dengan Mas Wawan, sebelum berangkat kembali ke Hong Kong, itu juga salah satu hasil pemikiranku. Aku meminta pengertiannya karena aku sudah telanjur berjanji bekerja di tabloid itu. Dan, aku tidak mungkin mengecewakan Yau Man yang merekomendasikan aku. Aku meminta Mas Wawan memberiku waktu dua tahun lagi untuk pulang dan menikah. Aku masih ingin belajar banyak, sehingga mempunyai banyak ilmu untuk dibawa pulang membangun desa.

Dan, sekarang, aku duduk di Bandara Cep Lap Kok, dipenuhi jutaan manusia yang keluar-masuk Hong Kong, menunggu pesawat yang akan membawaku ke Korea.

Aku ke Korea memenuhi undangan sebuah organisasi, yang tertarik pada tulisan-tulisanku mengenai labour issue untuk pekerja-pekerja Indonesia, Thailand, dan Filipina. Aku diminta sebagai narasumber dan sebagai penulis. Karena, aku pernah menjalani hari-hari sebagai pekerja imigran di sana.

Aku bangga sekali.

Sambil menunggu, aku masih merasa seperti bermimpi. Tapi, kali ini bukan mimpi ingin mengganti atap rumbia dengan genteng atau membelikan sepeda motor untuk Ibu. Aku tidak pernah berani memimpikan hari-hariku selanjutnya akan seperti apa. Aku hanya ikut mengalir seperti air. Mengisi semua tempat. Di laut, di pantai, di sungai, di danau, sampai di dalam hati setiap yang orang yang kutemui.

Tapi, ada satu yang bukan mimpi.

Bagaimana pun aku, siapa pun aku, paspor di tanganku tetap bertuliskan Ngatinah!
(Tamat)

Penulis: Lan Fang
Pemenang Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?